jpnn.com, JAKARTA - Direktur Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian (Kementan), Suwandi meninjau lahan pertanian perkotaan seluas 26 ha yang dikelola petani muda di Kampung Rawa Lini, Teluk Naga, Tangerang, Banten, Rabu (7/11).
Lahan yang letaknya 2 kilometer dengan Bandara Soekarno Hatta (Soetta) ini ditanami dengan 30 jenis komoditas sayuran dan melon.
BACA JUGA: Kurangi Ketergantungan Gandum, Tingkatkan Pangan Mandiri
Saat melihat lahan pertanian tersebut, Suwandi memuji usaha petani muda dalam memanfaatkan lahan yang semulanya lahan tidur yaitu ditumbuhi semak belukar menjadi lahan pertanian produktif.
Karena itulah semangat seperti perlu didorong agar para pemuda tani di daerah lainnya pun bisa bangkit untuk menjadi petani sukses.
BACA JUGA: Kementan Dorong Malang jadi Penyangga Produksi Bawang Putih
"Ini luar biasa. Ada pemuda yang berhasil bertani dengan sistem modern di lahan perkotaan. Ada 30 jenis sayuran plus melon. Hasil panenya dijual di berbagai pasar tradsional Jabodetabek dan pasar ritel. Bahkan melon rencananya mau diekspor. Pasarnya sudah ada, ke Hongkong. Ini perlu ditularkan ke pemuda lain,” ucap Suwandi.
Bagas Suratman (37), adalah sosok petani muda di Tangerang tersebut. Dia mengungkapkan mulai bertani sejak 2004, di mana sebelumnya bekerja sebagai supir angkutan umum tidak tetap bahkan dikenal preman.
BACA JUGA: Indonesia Surplus Jagung 330 Ribu Ton dan Menyetop Impor
Awalnya, terjun menjadi petani hanya coba-coba tetap lambat laun usahanya menanam sayuran menghasilkan pendapatan yang cukup besar.
“Sekarang pendapatan per harinya mencapai Rp 100 juta. Pendapatan ini diperoleh dari empat supermarket seperti superindo, Alfamidi, Carrefour sebagai mitra usahanya. Sayuran juga dipasok ke berbagai pasat tradisional di Jabodetabek,” ungkapnya.
Pria yang akrab disapa Bagas ini menjelaskan sayuran yang dibudidayakan di antaranya terdapat daun pepaya, singkong, kangkung, bayam, caisim, katuk. Setidaknya ada 30 item sayur lebih di lahan 26 hektare.
Lahan tersebut milik perusahaan kemudian disewa Rp 10 juta per tahun.
"Di sini kami bermitra dengan 40 orang petani yang mengolah lahan 26 hektare. Kami panen setiap harinya untuk menyuplai empat supermarket,” jelas Bagas.
“Untuk melon, harganya Rp 10 ribu per kg. Pemasaran tidak masalah, biaya produksi Rp 150 juta per hektare. Produksi 25 ton per hektare minimal keuntungan Rp 50 juta sampai Rp 100 juta per hektare per musim. Masa tanam selama 70 hari,” tambahnya.
Adapun harga sayuran per ikat cukup kompetitif. Misalnya untuk caisim Rp 2.200 per ikat, kenikir Rp 2.500 per ikta, daun singkong Rp 1.500 per ikta, daun pepaya Rp 2.500 per ikat, daun bayam Rp 2.200, daun katuk Rp 3.000 per ikat.
"Untuk memenuhi pasokan, saya satu tahun libur hanya sehari, pas malam takbiran,” sebut Bagas.
Lebih lanjut Bagas jelaskan, setiap harinya mempekerjakan 15 orang dan kalau bulan puasa mencapai 30 orang.
Prinsipnya yaitu menggerakkan lapisan masyarakat lain, sehingga pegawai dari lingkungan setempat.
“Ini sebagai solusi pekerjaan. Ibu - ibu yang ngiketin sayur, yang laki - laki bisa packing house," jelasnya.
Bagas menuturkan awal usaha budidaya miliknya adalah melalui otodidak. Dia bergabung dengan komunitas petani lain di nusantara untuk mempelajari hal-hal seputar budidaya.
"Saya positive thinking di pertanian ini. Berawal dari kecil tapi bertahan. Sekarang meningkat lebih eksklusif di melon. Cabai dan aneka sayur lainnya sudah dicoba," terangnya.
Bagas merasakan betul dampak bertani. Sejak bertani, kehidupan ekonominya kian meningkat. Bahkan 7 orang teman supirnya kini sudah mampu memiliki mobil sendiri.
Dalam akhir pertemuan, dirinya berharap agar semakin banyak dicetak petani muda. Anak muda harus bergerak untuk berkarya membangun pertanian yang lebih maju.
“Kalau pemuda sudah bertanam maka pasokan pangan akan aman. Kami berharap pemerintah juga turut membantu,” tutupnya.(adv/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Guru Besar Unhas: Surplus Beras Bukti Nyata Kinerja Mentan
Redaktur & Reporter : Natalia