jpnn.com, JAKARTA - Kementerian Pertanian (Kementan) memprediksi harga cabai akan kembali normal pada April 2021.
Cuaca ekstrem yang menyebabkan peningkatan serangan organisme pengganggu tanaman (OPT), kerusakan tanaman, dan banjir di beberapa wilayah sentra produksi menyebabkan pasokan cabai rawit berkurang sehingga memicu kenaikan harga.
BACA JUGA: Harga Cabai Merah Keriting di Bekasi Naik Dua Kali Lipat
Karena itu, Kementan menyatakan keliru yang menyebut penyebab kenaikan dikarenakan tidak adanya produksi.
Kementan memastikan produksi tetap ada, petani menanam cabai rawit walaupun memang ada penurunan luas tanam sebagai akibat dari harga yang kurang kompetitif sepanjang 2020.
BACA JUGA: Harga Cabai Naik Drastis, Bawang Putih Langka
Sesuai arahan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (Mentan SYL) agar Kementan menjamin ketersediaan komoditas pangan strategis, Direktur Jenderal Hortikultura Prihasto Setyanto menggerakkan seluruh jajarannya untuk memonitor kondisi pertanaman cabai di lapangan.
Selain itu, juga melakukan upaya-upaya untuk meredam gejolak harga agar tidak berkepanjangan.
BACA JUGA: Produksi Naik Tiga Kali Lipat, Harga Cabai Sempat Anjlok
Anton, panggilan akrabnya, menjelaskan berdasar data series produksi 5 tahun terakhir, produksi cabai rawit pada Desember-Februari adalah bulan waspada karena cenderung menurun dibanding bulan-bulan lainnya.
Untuk saat ini, lanjut dia, dengan adanya cuaca ekstrem (la nina) makin menyebabkan produksi terganggu, seperti bunga rontok menyebabkan gagal berbuah.
Proses pemasakan buah menjadi lebih lama karena kurangnya intensitas cahaya matahari.
Masa produktif tanaman juga menjadi lebih pendek, yang biasanya 12-20 kali petik, saat ini hanya 8-12 kali petik.
Penyebabnya, pematangan buah menambah hari petik yang biasanya 4 hari bisa 7 sd 8 hari per sekali petik.
"Tak hanya itu, musim hujan juga meningkatkan serangan OPT seperti virus kuning, antraknosa, lalat buah, dan lain sebagainya," ujar Anton.
Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, serangan OPT terbanyak adalah virus kuning 26 persen, antraknosa 29 persen, lalat buah 17 persen, virus keriting 16 persen dan thrip 12 persen dari luas pertanaman yang ada.
Anton menegaskan secara nasional luas pertanaman cabai yang terkena serangan OPT saat ini sebanyak 1.152 ha dan puso 0,15 hektare
Menurutnya, virus kuning menyebabkan tanaman tidak berkembang dan tak produktif.
Jika tanaman yang terserang masih bertahan, maka produktivitasnya menurun 20 persen - 30 persen.
Serangan antraknosa dan lalat buah yang masif mendorong petani untuk memanen sebelum waktunya sehingga kualitas menjadi turun.
Cuaca eksterm ini juga menyebabkan banjir di beberapa wilayah sentra produksi cabai. Dampaknya, pertanaman rusak bahkan puso.
Berdasar data dari Direktorat Perlindungan Hortikultura total luas pertanaman cabai nasional yang banjir dan puso pada Oktober-Desember 2020 seluas 431 hektare yang tersebar di Jawa Barat, DIY, dan Jawa Timur.
Pada Januari-Februari 2021 seluas 404,7 hektare yakni di Kalsel, Sumut, Sumbar, Sulteng, Kalbar, Jambi, Jatim, dan NTT.
Hamid selaku Ketua Asosiasi Cabai Indonesia dan Juhara salah satu champion Cabai, membenarkan hal tersebut.
Pihaknya menjelaskan berdasar pantauan dari seluruh anggota perwakilan di daerah sentra, kurangnya produksi cabai saat ini juga dikarenakan berkurangnya luas tanam.
Petani sempat merugi karena rendahnya harga cabai akibat pandemi Covid-19 yang terjadi pada Maret-September 2020.
Hal tersebut membuat banyak petani tidak balik modal bahkan merugi sehingga pada musim tanam saat ini mereka mengurangi populasi pertanaman cabainya.
Luas tanamnya berkurang, sehingga produksi juga demikian. Jadi, efek berantai tersebut menjadi akumulasi terhadap penurunan produksi.
Berdasarkan data early warning system (EWS) Ditjen Hortikultura Kementan, diprediksi neraca ketersediaan cabai rawit aman pada Maret hingga Mei mendatang.
"Surplus produksi pada bulan ini diperkirakan sebanyak 12 ribu ton, dan akan meningkat pada Bulan April sebanyak 42 ribu ton, serta Mei sebanyak 48 ribu ton," kata Direktur Sayuran dan Tanaman Obat.
Berbagai upaya yang akan dilakukan Ditjen Hortikultura dalam menjaga stabilisasi pasokan dan harga antara lain mendorong petani untuk menerapkan inovasi rainshelter pada penanaman cabai off season (Juli-Agustus).
Untuk menjaga pasokan cabai di DKI Jakarta sebagai barometer harga komoditas nasional, maka perlu ada buffer stock berupa standing crop di wilayah-wilayah daerah penyangga yang dapat dikendalikan pemerintah.
Melakukan kerja sama dengan offtaker yang mampu memindahkan produksi dari daerah-daerah yang surplus produksi ke yang kekurangan serta mampu menyerap produk petani di saat harga jatuh. Sehingga petani tetap berminat untuk selalu bertanam sepanjang tahun.
Kemudian, melakukan edukasi ke masyarakat untuk mengonsumsi cabai olahan (kering, bubuk, pasta, sambal botol, saus), sehingga tidak tergantung kepada cabai segar.
Masyarakat juga dapat melakukan pengawetan sendiri pada saat harga cabai sedang murah serta menggerakkan masyarakat rumah tangga untuk dapat bertanam aneka cabai di pekarangan, sehingga tidak terlalu terpengaruh apabila terjadi lonjakan harga cabai di pasaran.
Dalam mengimplementasikan berbagai upaya tersebut, tentu harus ada sinergi dari berbagai pihak. Tidak hanya pemerintah sebagai pengambil kebijakan, petani sebagai produsen, namun juga perlu peran konsumen.
“Perlu adanya kerjasama dalam melakukan edukasi terhadap konsumen untuk mengubah pola konsumsinya," tutupnya. (*/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Waduh! Harga Kedelai Impor di Kudus Naik Lagi
Redaktur & Reporter : Boy