Kenaikan HJE Rokok Tidak Mendukung Upaya Prokesehatan

Jumat, 20 Desember 2024 – 22:26 WIB
konferensi pers bertema Kebijakan HJE Rokok 2025: Dilematisasi Pengendalian Konsumsi Rokok di Indonesia, Jumat (20/12). Supplied for JPNN

jpnn.com, JAKARTA - Center of Human Economic Development (CHED) ITB Ahmad Dahlan Jakarta bersama Muhammadiyah Tobacco Control Network (MTCN) melaksanakan konferensi pers pada Jumat (20/12) ini demi menyoroti kebijakan pemerintah terkait Harga Jual Eceran (HJE) rokok.

Penasihat senior CHED ITB-AD Mukhaer Pakkanna dalam konferensi pers menyebut kebijakan HJE menjadi ketentuan yang setengah hati menekan prevalensi perokok.

BACA JUGA: Bea Cukai dan Polri Gagalkan Pengiriman Rokok Ilegal di Surabaya

Terutama, dalam upaya pemerintah menekan perokok di kalangan masyarakat miskin dan remaja atau anak muda.

Sebab, kata Mukhaer, ketentuan HJE yang mengalami kenaikan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 97 Tahun 2024 tidak dibarengi dengan peningkatan tarif cukai. 

BACA JUGA: Bea Cukai Kudus Tindak Ratusan Ribu Rokok Ilegal di Jepara

"Sayangnya, kebijakan ini tidak menyentuh Cukai Hasil Tembakau (CHT) yang selama ini menjadi instrumen strategis dalam pengendalian konsumsi rokok," katanya dalam konferensi pers bertema Kebijakan HJE Rokok 2025: Dilematisasi Pengendalian Konsumsi Rokok di Indonesia, Jumat.

Selain itu, kata dia, penetapan HJE yang mengalami kenaikan tidak memperlihatkan semangat meningkatkan angka kesehatan di Indonesia.

BACA JUGA: Tegas, Bea Cukai Banjarmasin Musnahkan Jutaan Batang Rokok Ilegal

"Penetapan HJE tidak memperlihatkan keberpihakan pada upaya prokesehatan. Tarif dan harga rokok yang diproduksi massal melalui mesin tetap rendah dibandingkan dengan rokok manual, sehingga membuka peluang bagi beredarnya rokok murah yang terjangkau oleh masyarakat bawah," ujar Mukhaer.

Sementara itu, Direktur CHED ITB-AD Jakarta Roosita Meilani Dewi mengatakan upaya menaikkan HCE rokok pada 2025 yang diatur dalam PMK 97 tahun 2024, berpotensi tidak mampu menekan konsumsi. 

"Diperkirakan tidak mampu menekan konsumsi," katanya.

Sebab, kata Roosita, rokok jenis Sigaret Kretak Mesin (SKM) dan Sigaret Putih Mesin (SPM) yang memiliki pangsa pasar tertinggi hanya naik lima sampai tujuh persen.

Kemudian, ujarnya, Sigaret Kretek Tangan (SKT) yang masih memiliki pangsa pasar rendah justru naik 18,6 persen.

"Fakta lapangan menunjukkan bahwa rokok dengan jenis SKM dan SPM banyak dikonsumsi remaja dan perokok pemula" kata dia.

Sementara itu, Majelis Pembina Kesehatan Umum (MPKU) Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Muhammadiyah pada dasarnya mendukung upaya pengendalian konsumsi rokok yang komprehensif. 

Wakil Ketua MPKU PP Muhammadiyah Emma Rachmawati mengatakan pihaknya mendesak pemerintah melarang penjualan rokok secara eceran dan meningkatkan cukai agar harga sigaret sperti negara tetangga.

Emma juga menyebut pihaknya menyarankan pemerintah memperketat regulasi rokok konvensional maupun elektronik dalam mengendalikan konsumsi sigaret.

"Selain itu, edukasi dan kampanye bahaya rokok harus diperluas untuk melindungi masyarakat, khususnya generasi muda. Muhammadiyah siap berkontribusi dalam upaya preventif, kuratif, dan rehabilitatif demi mewujudkan Indonesia yang sehat dan bebas dari korban rokok," katanya. (ast/jpnn)


Redaktur : M. Adil Syarif
Reporter : Aristo Setiawan

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler