jpnn.com - JAKARTA - Besaran tarif batas atas pesawat terbang dalam waktu dekat akan berubah. Kementerian Perhubungan (Kemenhub) akan menaikkan tarif batas atas pada akhir bulan ini. Persentase perubahan harga itu mencapai 10 persen dari harga sebelumnya.
Direktur Angkutan Udara Ditjen Perhubungan Udara Kemenhub Djoko Muratmodjo kemarin (20/9) menyampaikan, pihaknya sudah menyelesaikan pembahasan tarif batas atas itu di level Sekertariat Jenderal. Saat ini regulasi itu sudah berada di meja menteri perhubungan.
BACA JUGA: Dorong Petani dan Nelayan Manfaatkan Teknologi Berpaten
"Tinggal menunggu tanda-tangan dari Pak Menteri Perhubungan saja. Mungkin akhir bulan sudah bisa ditetapkan," jelasnya.
Hasil rapat tersebut memutuskan bahwa tarif batas atas akan naik sebesar 10 persen. Menurut Djoko sebenarnya Kemenhub tidak mematok persentase 10 persen. Angka itu didapat dari perhitungan avtur dan kurs dollar.
BACA JUGA: Produksi Padi Jatim Aman dari Gagal Panen
"Jadi angka 10 persen itu dipengaruhi harga avtur yang kini mencapai Rp 13 ribu dan kurs Dollar yang mencapai Rp 12 ribu," jelasnya.
Menurut Djoko, angka 10 persen itu tidak saklek. Namun bisa berubah tergantung harga Avtur dan kurs Dollar. Misalnya, kata dia, jika akhir bulan ini ditetapkan kenaikan tarif batas atas sebesar 10 persen. Namun bulan depan harga Dollar dan Avtur ternyata naik, maka tarif itu akan mengikuti perubahan harga itu.
BACA JUGA: Daya Beli Emas Masih Tinggi
"Intinya kenaikan tarif batas itu secara bertahap. Sesuai dengan amanat Menteri," jelasnya.
Djoko melanjutkan, tarif batas atas itu akan berlaku di semua rute penerbangan. Baik penerbangan yang sepi penumpang atau rute yang ramai seperti Jakarta-Surabaya dan Jogjakarta-Surabaya. Hal itu menampik permintaan Indonesia National Air Carriers Association (Inaca). Sebelumnya asosiasi penerbangan Indonesia itu meminta Kemenhub untuk membebaskan rute-rute yang ramai dari tarif batas atas.
Menanggapi itu, Djoko mengatakan bahwa pihaknya tidak mau menuruti permintaan Inaca. Pasalnya itu melanggar regulasi yakni UU nomor 1 tahun 2009 tentang layanan penerbangan.
"Kalau mau tidak ada tarif batas atas ya dirubah dulu undang-undangnya," paparnya.
Jauh-jauh hari sebenarnya pihak airlines sudah mengusulkan pada Kemenhub untuk menaikkan tarif batas atas. Pasalnya dengan kenaikan harga avtur dan kurs Dollar yang naik membuat operator bandara juga menaikkan biaya operasional. Hal itu sangat berdampak pada maskapai.
Djoko mengakui bahwa penetapan tarif batas atas itu sangat lama. Menurut dia perlu banyak pertimbangan. Tidak hanya melihat keinginan maskapai namun juga daya beli masyarakat. Menurut Djoko, jika kenaikan sangat tinggi, maka akan orang akan berpindah ke moda transportasi lain. Minimnya jumlah penumpang itu dikhawatirkan berdampak pada maskapai.
"Karena penumpang sedikit mengakibatkan maskapai rugi," jelasnya.
Lebih lanjut, nantinya aturan baru itu akan disosialisasikan pada operator bandara dan para maskapai. Djoko berharap dengan keputusan baru itu bisa meringankan beban maskapai.
"Harapannya sudah tidak ada kendala lagi," jelasnya.
Rencana kenaikan tarif batas atas untuk tiket penerbangan disambut positif perusahaan maskapai. Kenaikan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (USD) yang berdampak pada beban biaya bahan bakar avtur sudah melebihi batas asumsi saat penetapan tarif berlaku saat ini.
Direktur Umum Lion Air Group, Edward Sirait, mengatakan rencana kenaikan tarif batas atas maskapai ini sudah sesuai dengan ketentuan yang ada di negara Indonesia.
"Sekarang USD memang sudah ke Rp 12 ribu lagi dan harga avtur sudah melebihi asumsi tarif batas atas sekarang. Maka sudah diberlakukan fuel surcharge juga kan," ungkapnya kepada Jawa Pos (induk JPNN), kemarin.
Hanya saja, kata Edo, pihaknya belum mendapat sosialisasi resmi dari pemerintah tentang berapa persentase kenaikan tarif batas atas yang akan mulai berlaku ini.
"Memang saya sempat dengar kenaikannya 10 persen. Tapi kenaikan itu kita belum tahu dari mana mulainya, dihitungnya dari mana? Yang pasti, kenaikan-kenaikan biaya itu baik USD maupun avtur sudah lebih dari 15 persen dari asumsi saat penetapan tarif awal," kata dia.
Memang, kata Edo, Inaca sempat mengajukan kenaikan 10 persen untuk tarif batas atas. Namun dihitungnya berdasarkan tarif setelah fuel surcharge diberlakukan kemudian ditambah usulan 10 persen itu. Fuel surcharge adalah bea tambahan yang harus dibayarkan penumpang untuk tambahan harga bahan bakar avtur di luar dari harga tiket yang berlaku.
"Pendapat kami juga tidak jauh berbeda dengan usulan Inaca itu. Sebab Inaca dalam mengusulkannya ke pemerintah sudah menghitung dan melihat data objektif yang ada di maskapai," imbuhnya.
Usai menerima keterangan mengenai kebijakan resmi atas kenaikan tarif batas atas ini, Edo menilai pihak maskapai harus menghitung dampaknya terhadap industri penerbangan.
"Apakah ada penurunan jumlah penumpang atau justru normal saja. Kalau melihat pertumbuhan ekonomi dan daya beli masyarakat kita sih semestinya tetap normal," terusnya.
Yang terpenting dari kebijakan terbaru regulator penerbangan ini, biaya operasional perusahaan penerbangan bisa tertutupi.
"Supaya bisa tetap survive dan berkembang. Maskapai ini jarang kok memaksimalkan tarif batas atas, karena khawatir berpengaruh ke daya beli penumpang. Paling dipakainya di peak seasons saja. Di hari normal, bisa break even point (balik modal) saja sudah luar biasa," pikirnya.
Penetapan tarif batas atas sejauh ini, ucap Edo, diasumsikan nilai tukar rupiah sekitar 10 ribu per USD dan harga avtur sekitar Rp 10 ribu.(aph/gen)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Garap Surabaya, PP Properti Gelar Mega Open House Hari ini
Redaktur : Tim Redaksi