jpnn.com, JAKARTA - Langkah Kementerian Perhubungan (Kemenhub) menunda pemberlakuan tarif baru ojek online (ojol) dari seharusnya 15 Agustus 2022 menjadi 30 Agustus 2022, mendapat apresiasi dari berbagai pihak.
Perpanjangan waktu tersebut, dinilai bisa menjadi momentum bagi Kemenhub untuk menjaring masukan dari para stakeholders dalam menetapkan tarif baru ojol.
BACA JUGA: Awas, Kenaikan Tarif Ojol Bisa Memicu Inflasi Memelesat Tinggi
“Penundaan pemberlakukan ini bagus walaupun tambahannya hanya 15 hari. Perpanjangan waktu ini bisa digunakan untuk mencari masukan dan tambahan data agar bisa mengambil kebijakan publik lebih tepat, kami sangat dukung untuk itu,” kata ekonom Universitas Airlangga (Unair) Rumayya Batubara, Rabu (18/8).
Penundaan tersebut diduga lantaran kekhawatiran kebijakan ini akan memberatkan masyarakat dan tidak sejalan dengan upaya pemulihan ekonomi.
BACA JUGA: Hukum Menggunakan Cadar Bagi Wanita Muslimah
Sebab tarif ojol yang ditetapkan dalam Kepmenhub (KM) Nomor KP 564 Tahun 2022 kenaikannya sangat tinggi, berkisar antara 30 persen sampai 50 persen.
Ketua Tim Peneliti RISED mengatakan, kenaikan tarif sebesar itu memang akan memiliki banyak dampak negatif.
BACA JUGA: Kembali Sindir Angga Wijaya, Dewi Perssik: Berbakat Juga ya, Kamu Jadi Artis
Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Research Institute of Socio- Economic Development (RISED), lebih dari 50 persen konsumen pengguna ojol adalah masyarakat menengah bawah.
Dan konsumen memilih menggunakan ojol karena harganya yang terjangkau.
Sehingga, ketika kenaikan tarif ojol yang terlalu tinggi, menjadikan ojol tidak terjangkau lagi oleh sebagian besar konsumen. Padahal layanan ojol kini memegang peranan penting dalam mendukung kegiatan ekonomi.
Akibatnya, konsumen akan memilih opsi transportasi lain, salah satunya kendaran pribadi, yang akan menimbulkan masalah lain seperti kemacetan lalu lintas.
Secara keseluruhan, kata Rumayya, kenaikan tarif ojol yang tinggi akan menekan daya beli masyarakat dan turut menaikkan inflasi.
Terlebih, saat ini pemerintah tengah berupaya untuk menekan inflasi melalui program subsidi di berbagai sektor.
“Kita lihat saat ini inflasi sedang tinggi. Bahkan untuk inflasi pangan tertinggi sejak tahun 2015. Jika inflasi tinggi, maka daya beli konsumen tergerus,” tegasnya.(chi/jpnn)
Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:
Redaktur & Reporter : Yessy Artada