PEKANBARU--Adanya kesepakatan bi partit Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) dengan Serikat Pekerja terkait upah minimum provinsi sektor Migas menimbulkan polemik. Pasalnya kenaikan UMP sektor Migas 47 persen dinilai tidak realistis dan memberatkan pengusaha migas sektor hilir seperti pelaku usaha bidang elpiji, transportasi dan pengelola SPBU.
"Kesepakatan itu bahkan dibuat tanpa melibatkan pengusaha migas sektor hilir yang pasti kena dampak kesepakatan itu," ujar Plt Ketua Himpunan Swasta Nasional (Hiswana) Migas Riau, Irma Rachman di Kadin Riau, Selasa (30/4). Irma bersama sejumlah pengurus Hiswana menemui Kadin Riau melaporkan persoalan ini.
Menurut Irma kenaikan UMP 47 persen itu sangat memberatkan pelaku usaha di sektor hilir. Sebab usaha sektor hilir migas seperti SPBU hanya sebagai distributor migas.
"Margin kita sebagai distributor yang produknya dijatah sesuai aturan kuota juga tidak besar yakni sekitar 3,74 persen. Kenaikan UMP 47 persen itu bisa membuat usaha hilir migas jadi gulung tikar," ujarnya lagi.
Menurutnya kesepakatan itu dapat merusak iklim investasi ke depan. Menanggapi hal itu Wakil Ketua Kadin Riau bidang ekonomi Viator Butarbutar mengatakan bahwa pihaknya akan segera menemui Gubri dan Disnaker Riau. "Kita minta Pergubnya jangan diteken dulu karena dampaknya potensi konflik industrial menjadi besar," ujarnya.
Menurutnya lagi kenaikan upah hampir 50 persen ini pasti menjadi tambahan beban luar biasa bagi perusahaan sub kontraktor di sektor hulu. "Kalau bagi kontraktor utama (production sharing contract) faktor upah boleh jadi komponen kecil dari keseluruhan biaya produksi. Artinya kenaikan itu tidak memusingkan mereka karena dialihkan jadi cost recovery yang bebannya ditanggung bersama antara kontraktor dengan pemerintah," ujarnya.
Yang terpukul tentulah sub kontraktor hulu yakni supporting unit kontraktor utama. Sedangkan sektor hilir pelaku usaha akan mengalami over head cost yang membebani usaha.
Sementara itu Direktur Eksekutif Kadin Riau, M Herwan, mengatakan bahwa mekanisme lahirnya kesepakatan itu tidak sesuai mekanisme. Pertama, dasar kesepakatan bi partit itu harusnya mengacu Permenaker No 1/1999. Aturan itu menyebutkan bahwa kenaikan UMP Sektoral minimal 5 persen di atas UMP/UMK.
"Kalau mau di atas itu memang silakan tapi harus disetujui semua perwakilan dunia usaha dan bukan diwakili hanya oleh asosiasi. Asosiasi perwakilan person sedangkan dunia usaha melibatkan semua stake holder terkait," ujarnya.
Kedua, sesuai klausul akreditasi Apindo sebagai wakil Kadin di hubungan industrial ditegaskan dalam melaksanakan tugasnya harus berkordinasi dan berkonsultasi dengan Kadin dan pengusaha terkait. "Dua hal ini tidak mereka lakukan sehingga harusnya kesepakatan itu dibatalkan saja," tegasnya.
Sementara Sekretaris Apindo Riau, Pery Akri ketika dikonfirmasi Riau Pos (Grup JPNN) mengatakan bahwa hal ini terjadi karena kesalahpahaman saja."Kesepakatan bi partit itu untuk sektor hulu migas terutama untuk kontraktor utama (PSC). Bukan untuk supporting unit dan juga sektor hilir," ujarnya lagi.
"Para pelaku usaha kontraktor utama tidak keberatan tentunya kami menganggap ini langkah maju karena membantu kesejahteraan pekerja di sektor hulu itu sendiri dan tentu tidak ada masalah," ujarnya. Apalagi, lanjutnya, kenaikan itu disetujui SKK Migas dan alokasi itu nantinya akan jadi bagian cost recovery
yang jadi tanggungan kontraktor dan pemerintah.(fiz)
"Kesepakatan itu bahkan dibuat tanpa melibatkan pengusaha migas sektor hilir yang pasti kena dampak kesepakatan itu," ujar Plt Ketua Himpunan Swasta Nasional (Hiswana) Migas Riau, Irma Rachman di Kadin Riau, Selasa (30/4). Irma bersama sejumlah pengurus Hiswana menemui Kadin Riau melaporkan persoalan ini.
Menurut Irma kenaikan UMP 47 persen itu sangat memberatkan pelaku usaha di sektor hilir. Sebab usaha sektor hilir migas seperti SPBU hanya sebagai distributor migas.
"Margin kita sebagai distributor yang produknya dijatah sesuai aturan kuota juga tidak besar yakni sekitar 3,74 persen. Kenaikan UMP 47 persen itu bisa membuat usaha hilir migas jadi gulung tikar," ujarnya lagi.
Menurutnya kesepakatan itu dapat merusak iklim investasi ke depan. Menanggapi hal itu Wakil Ketua Kadin Riau bidang ekonomi Viator Butarbutar mengatakan bahwa pihaknya akan segera menemui Gubri dan Disnaker Riau. "Kita minta Pergubnya jangan diteken dulu karena dampaknya potensi konflik industrial menjadi besar," ujarnya.
Menurutnya lagi kenaikan upah hampir 50 persen ini pasti menjadi tambahan beban luar biasa bagi perusahaan sub kontraktor di sektor hulu. "Kalau bagi kontraktor utama (production sharing contract) faktor upah boleh jadi komponen kecil dari keseluruhan biaya produksi. Artinya kenaikan itu tidak memusingkan mereka karena dialihkan jadi cost recovery yang bebannya ditanggung bersama antara kontraktor dengan pemerintah," ujarnya.
Yang terpukul tentulah sub kontraktor hulu yakni supporting unit kontraktor utama. Sedangkan sektor hilir pelaku usaha akan mengalami over head cost yang membebani usaha.
Sementara itu Direktur Eksekutif Kadin Riau, M Herwan, mengatakan bahwa mekanisme lahirnya kesepakatan itu tidak sesuai mekanisme. Pertama, dasar kesepakatan bi partit itu harusnya mengacu Permenaker No 1/1999. Aturan itu menyebutkan bahwa kenaikan UMP Sektoral minimal 5 persen di atas UMP/UMK.
"Kalau mau di atas itu memang silakan tapi harus disetujui semua perwakilan dunia usaha dan bukan diwakili hanya oleh asosiasi. Asosiasi perwakilan person sedangkan dunia usaha melibatkan semua stake holder terkait," ujarnya.
Kedua, sesuai klausul akreditasi Apindo sebagai wakil Kadin di hubungan industrial ditegaskan dalam melaksanakan tugasnya harus berkordinasi dan berkonsultasi dengan Kadin dan pengusaha terkait. "Dua hal ini tidak mereka lakukan sehingga harusnya kesepakatan itu dibatalkan saja," tegasnya.
Sementara Sekretaris Apindo Riau, Pery Akri ketika dikonfirmasi Riau Pos (Grup JPNN) mengatakan bahwa hal ini terjadi karena kesalahpahaman saja."Kesepakatan bi partit itu untuk sektor hulu migas terutama untuk kontraktor utama (PSC). Bukan untuk supporting unit dan juga sektor hilir," ujarnya lagi.
"Para pelaku usaha kontraktor utama tidak keberatan tentunya kami menganggap ini langkah maju karena membantu kesejahteraan pekerja di sektor hulu itu sendiri dan tentu tidak ada masalah," ujarnya. Apalagi, lanjutnya, kenaikan itu disetujui SKK Migas dan alokasi itu nantinya akan jadi bagian cost recovery
yang jadi tanggungan kontraktor dan pemerintah.(fiz)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kenaikan Harga BBM akan Persulit Masyarakat
Redaktur : Tim Redaksi