jpnn.com - jpnn.com - Tembakau gorila belakangan ramai diperbincangkan publik. Itu setelah jenis tembakau itu diduga dikonsumsi seorang pilot belum lama ini.
Padahal, tembakau jenis itu sebenarnya bukan barang baru. Jawa Pos pernah menelusurinya pada akhir 2015.
BACA JUGA: Waspada! Isap Tembakau Gorilla Bisa Berujung Maut
Badan Narkotika Nasional (BNN) pusat bahkan secara resmi menetapkan tembakau gorila sebagai narkotika.
"Sudah ditetapkan pusat. Sekarang tunggu disahkan dalam undang-undang. Sementara proses itu berjalan, kami melanjutkan pemberantasan di sini," terang Kepala BNNK Surabaya AKBP Suparti.
Di kalangan pengguna, nama bekennya adalah tembakau super cap gorila. Biasanya disingkat tesu.
Mayoritas pengguna adalah anak-anak muda. Sebelum mengenal tesu, mereka lebih dulu "akrab" dengan ganja.
Tesu sebenarnya tidak berbeda dengan tembakau pada umumnya. Hanya, potongannya lebih kecil-kecil dan halus.
Efek fly yang ditimbulkan berasal dari bahan kimia yang dicampurkan ke tembakau tersebut.
Rasa bahan kimia itu nyaris sama apabila menggunakan ganja.
Ada istilah 4.20 yang merujuk pada waktu 16.20. Bagi pengguna ganja, istilah tersebut sangat populer.
Mereka mengisap daun beruas lima itu seperti ritual kala senja datang.
Saat mengonsumsi ganja beramai-ramai, biasanya ada yang membawa tesu.
"Kalau awal-awal dulu sih emang sepaket. Tapi, sekarang banyak yang coba-coba pakai tesu lebih dulu tanpa pernah ngicipi ganja," ujar salah seorang pengguna. Sebut saja bernama Gagah.
Dia mengisap tesu saat masih berstatus mahasiswa. Kini dia mengaku sudah lama tidak memakainya.
Dia hanya mendengar selentingan kabar dari teman-temannya bahwa sekarang mencari barang tersebut susah-susah gampang.
"Kalau tahu link, bisa dapat. Sejak muncul pemberitaan pilot itu, jadi susah," terangnya.
Pernyataan Gagah tersebut diakui BNNK. Lembaga antimadat itu baru-baru ini mengamankan tiga pelajar SMK yang mengonsumsi tesu.
Namun, memburu pengedar bukanlah pekerjaan yang mudah.
"Sekarang dia memang tiarap. Barang jenis tersebut biasanya bisa cepat beredar, tapi bisa juga cepat hilang dari peredaran," ungkap Suparti.
Harga sepoket kecil 6-8 gram dipatok Rp 300-400 ribu. Harga itu mudah dijangkau mahasiswa, tapi sulit dipenuhi pelajar.
Karena itu, yang terjadi selanjutnya, para pelajar membeli lintingan seharga Rp 30 ribu.
Itulah yang dilakukan tiga pelajar yang diamankan BNNK.
"Itu sih barang murahan. Yang jual ngawur, bisa jadi palsu. Kalau asli, (efeknya, Red) cuma diam, nggak bisa apa-apa. Nggak sampai muntah," pungkas Gagah. (did/c16/fal/jpnn)
Redaktur & Reporter : Natalia