Kenapa Nusantara?

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Rabu, 19 Januari 2022 – 11:36 WIB
Presiden Jokowi saat meninjau lokasi ibu kota negara atau IKN yang baru.Foto: M Fathra Nazrul Islam/JPNN.com

jpnn.com - Apa arti sebuah nama? Kali ini nama sangat berarti. Ketika Jokowi memilih nama Nusantara untuk ibu kota baru (19/1) publik pun heboh dengan pro dan kontra.

Ada yang menganggap nama itu bagus, karena sudah dikenal luas di Indonesia dan di dunia internasional, tetapi ada juga yang menganggapnya membingungkan.

BACA JUGA: Sebegini Luas IKN Nusantara, Mulai dari Kota Balikpapan sampai Selat Makassar

Nama itu bisa jumbuh dengan nusantara yang selama ini sudah dikenal. Nusantara merujuk pada wilayah yang membentang, bukan cuma dari Sabang sampai Merauke, tetapi jauh melewati kepulauan di Pasifik yang sekarang dikenal sebagai Papua Nugini.

Wilayah nusantara membentang jauh melewati Sabang dan menjangkau seluruh pulau Sumatra dan Kalimantan paling utara yang sekarang menjadi wilayah Malaysia. Nusantara bahkan menjangkau wilayah Tumasik yang sekarang dikenal sebagai Singapura.

BACA JUGA: Fadli Zon Usul IKN Baru Bernama Jokowi, Bukan Nusantara, Ada Alasannya

Nusantara adalah konsep negara kekuasaan Majapahit yang diumumkan oleh Patih Gajah Mada dalam sumpah ‘’Amukti Palapa’’. Segera setelah diangkat sebagai mahapatih Majapahit pada 1336 Gajah Mada mengumumkan program ekspansi wilayah Majapahit ke wilayah-wilayah negara sekitar yang disebutnya sebagai Nusantara.

Dalam sumpah simbolik itu Gajah Mada berpantang memakan buah palapa, sebagai simbol kenikmatan duniawi, sampai seluruh Nusantara tunduk di bawah kekuasaan Majapahit.

BACA JUGA: Sri Mulyani Beberkan Tahapan Pembangunan IKN Nusantara

Gajah Mada adalah seorang ahli strategi jempolan yang jago dalam meramu taktik militer yang canggih. Dia yakin target ekspansi itu bisa dicapai.

Dalam relief-relief yang menggambarkan episode Sumpah Palapa digambarkan Gajah Mada sebagai jenderal bertubuh gempal, tinggi besar, dengan muka keras. Gajah Mada mengucapkan sumpah dengan menghunus keris dan mengacungkannya dengan sangat intimidatif.

Sebagai panglima tertinggi Gajah Mada memadukan taktik perang dengan muslihat. Adagium lama bahwa perang adalah muslihat, diterapkan oleh Gajah Mada secara pragmatis.

Perang Bubat pada 1357 menunjukkan strategi pragmatis Gajah Mada untuk menundukkan lawannya, Kerajaan Sunda.

Nusantara adalah target politik Gajah Mada yang ekspansionistis. Sebagai jenderal perang Gajah Mada mempunyai wawasan internasional yang luas dan mampu melihat posisi geostrategik secara visioner.

Karena itu ia melihat posisi Majapahit akan kuat dan menjadi kekuatan regional yang disegani kalau bisa menyatukan seluruh wilayah Nusantara.

Majapahit membagi wilayah kekuasaannya menjadi tiga kategori, yaitu Negara Agung, Mancanegara, dan Nusantara. Negara agung adalah wilayah utama Majapahit yang terdiri dari ibu kota di Trowulan dan wilayah-wilayah Jawa yang sudah ditundukkan.

Mancanegara adalah wilayah yang terletak di luar wilayah Negara Agung yang sudah berhasil ditundukkan. Wilayah ini menjadi protektorat yang sudah dipengaruhi oleh tata budaya Majapahit.

Wilayah seperti Madura, atau protektorat Majapahit di Sumatra seperti Palembang masuk dalam kategori Mancanegara.

Sedangkan Nusantara adalah wilayah yang secara geografis terpisah dari pusat ibu kota dan secara budaya mandiri dari budaya Majapahit. Wilayah Nusantara ini menjadi wilayah ekspansi yang menjadi target politik Gajah Mada.

Wilayah Nusantara yang berhasil ditundukkan akan menjadi wilayah tundukan yang diharuskan membayar upeti secara rutin ke ibu kota Negara Agung.

Selama masa-masa perjuangan kemerdekaan nama Nusantara menjadi inspirasi perjuangan. Hampir 80 persen wilayah Nusantara dikuasai oleh penjajah Belanda dan menyebut wilayah jajahan itu sebagai Hindia-Belanda.

Nama Hindia sudah terlebih dahulu dipakai di India yang menjadi jajahan Inggris. Karena itu Belanda menyebut wilayah jajahannya sebagai Hindia-Belanda.

Para pejuang kemerdekaan yang dipelopori oleh Mohammad Hatta sudah memikirkan nama negara yang dipakai setelah merdeka. Untuk memutus hubungan dengan penjajahan masa, para pejuang menanggalkan nama Hindia Belanda sepenuhnya.

Pada 1922 Mohammad Hatta yang masih kuliah di Belanda mendeklarasikan berdirinya organisasi ‘’Perhimpunan Indonesia’’. Itulah kali pertama nama Indonesia dipakai.

Nama itu merujuk pada wilayah yang kurang lebih sama dengan Nusantara Majapahit, tetapi tidak termasuk Tumasik.

Deklarasi Perhimpunan Indonesia ini menjadi tonggak penting dalam fase perjuangan kemerdekaan Indonesia. Enam tahun setelah deklarasi Perhimpunan Indonesia anak-anak muda dari seluruh wilayah Hindia Belanda berkumpul di Jakarta mendeklarasikan Sumpah Pemuda, yang menyatakan ‘’Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa, Indonesia’’.

Momen deklarasi Perhimpunan Indonesia mempunyai makna yang sangat penting, tetapi tidak dijadikan sebagai hari resmi yang diperingati setiap tahun seperti Sumpah Pemuda.

Sejarawan Luqman Hakiem melihat deklarasi Perhimpunan Indonesia sebagai momen yang tidak kalah penting dibanding Sumpah Pemuda, dan karena itu layak diperingati setiap tahun sebagai hari nasional.

Mohammad Hatta lebih memilih nama Indonesia ketimbang Nusantara. Nama Indonesia kali pertama disebut dalam jurnal yang terbit pada 1850 di Singapura oleh antropolog Inggris, James Richardson Logan dan George Samuel Windsor. Nama Indonesia dipilih oleh Hatta karena lebih menggambarkan karakter wilayah dan budaya yang lebih egaliter.

Hatta tidak memilih nama Nusantara karena ada kesan ekspansionistis dan kolonialistis, yang dianggap tidak sesuai dengan semangat perjuangan nasional yang ingin membebaskan diri dari penjajahan Belanda yang imperialistis.

Nama Indonesia kemudian menjadi nama resmi negara baru yang lahir pada 1945. Nama Nusantara tetap dipakai sebagai nama sebuah entitas budaya dan historia yang lebih netral dari pengaruh politik.

Nama Nusantara bukan hanya menjadi milik Indonesia, tetapi juga bisa didaku oleh wilayah-wilayah Malaysia, Singapura, dan New Guinea.

Penjelajah Inggris Alfred Russel Wallace menjelajahi wilayah Nusantara dan meneliti tanaman dan hewan-hewan khas Nusantara pada 1869. Petualangannya yang penuh warna kemudian dituangkan buku ‘’The Malay Archipelago’’ yang menjadi masterpiece internasional sejajar dengan ‘’On the Origin of Species’’ karya Charles Darwin yang terbit 1859.

Sejarawan J.J Rizal menerjemahkan buku itu menjadi ‘’Kepulauan Nusantara’’ pada 2018 atau kira-kira 150 tahun setelah buku asli terbit. Rizal menerjemahkan ‘’Malay’’ sebagai ‘’Nusantara’’ yang mencakup seluruh wilayah Sumatra, Kalimantan, dan Papua.

Petualangan Wallace menghasilkan teori ‘’Wallace Line’’ atau Garis Wallace yang membagi fauna Indonesia dalam garis memanjang, dari utara sampai ke selatan, dari selat Makassar sampai Pulau Bali dan Lombok.

Garis ini memisahkan wilayah geografi fauna Asia atau Paparan Sunda dengan Australasia. Wilayah Nusantara menurut Garis Wallace membentang sampai ke Australia dan Asia.

Karena itu pemakaian nama Nusantara menjadi ibu kota bisa menimbulkan kerancuan dan komplikasi sejarah. Pemakaian nama Nusantara berpotensi membingungkan, karena kurang mempertimbangkan referensi sejarah.

Bung Hatta tidak memakai nama itu karena dia punya sensitivitas tinggi terhadap kebinekaan. Bung Hatta yang berasal dari Sumatra, tidak ingin membuat kesan bahwa negara baru adalah negara yang ekspansionistis dan imperialistis yang Jawa-sentris.

Di era Orde Baru, Presiden Soeharto sangat berambisi melakukan jawanisasi dengan memaksakan budaya dan nama-nama Jawa menjadi nama tempat maupun gedung. Maka nama-nama seperti ‘’Graha Sabha Wiraloka’’ menjadi nama gedung di daerah-daerah seperti Papua, yang terdengar asing dan sulit diucapkan oleh lidah lokal.

Nama Nusantara memunculkan kesan jawanisasi yang menjadi paradoks bagi obsesi Jokowi yang ingin menghilangkan sentralisme Jawa. Dalam berbagai kesempatan nasional Jokowi tampil dengan pakaian adat berbagai daerah, untuk menunjukkan bahwa dia menghormati budaya lokal, bukan hanya budaya Jawa.

Namun, di bawah alam sadarnya Jokowi tetap orang Jawa yang secara tidak sadar menginginkan dominasi budaya Jawa atas budaya lain.

Muncul beberapa usul sebagai alternatif nama ibu kota baru. Fadli Zon mengusulkan ‘’Jokowi’’ sebagai nama ibu kota baru, seperti nama ibu kota Kazhakstan ‘’Nursultan’’ dari nama presidennya, Nursultan Nazarbayev.

Amerika Serikat juga punya ibu kota dengan nama Washington, presiden pertama Amerika Serikat.

Bisa juga memakai nama ‘’Jokowi-grad’’, seperti Lenin-grad untuk memberi nama ibu kota baru Uni Soviet setelah Revolusi Komunis 1917. Atau bisa memakai nama ‘’Jokowi-pura’’ seperti nama Tembagapura yang berarti kota tembaga.

Jokowipura berarti ‘’Kota Jokowi’’. Namun, ingat, ‘’pura’’-nya sekali saja, jangan diulang dua kali, nanti bisa kena pasal ujaran kebencian. (*)

Jangan Lewatkan Video Terbaru:


Redaktur : Adek
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler