Kenapa Tren Alzheimer Meningkat?

Waspadai Kelupaan Ringan

Jumat, 12 Juli 2013 – 06:42 WIB
PENYAKIT  Alzheimer mulai dikenal publik saat Mantan Presiden Amerika Ronald Reagen mengakui bahwa dia menderita Alzheimer pada 5 November 1994. Itulah kali pertama publik tercengang dengan penyakit yang bisa menyebabkan seseorang lupa. Tak hanya lupa kepada orang di sekitarnya, tapi juga amnesia terhadap identitas keberadaannya sebagai manusia.

Penyakit Alzheimer dimulai perlahan-lahan. "Pada awalnya, gejala mungkin hanya kelupaan ringan. Orang-orang di tahap awal penyakit Alzheimer mungkin kesulitan mengingat kejadian terakhir, kegiatan, atau nama-nama orang yang sebenarnya akrab sebelumnya," jelas dr Roul Sibarani, SpS, dokter spesialis saraf (neurologist) dari MRCCC Siloam Hospitals dalam sebuah seminar kesehatan di MRCCC Siloam Hospitals, Jakarta, belum lama ini.
 
Roul menjelaskan, pada otak penderita Alzheimer terjadi gangguan dalam proses metabolik sel-sel saraf, sehingga menyebabkan sel saraf berhenti bekerja, putusnya koneksi antar sel saraf, hingga kematian sel.

Kelainan Alzheimer, lanjut dia, pertama terjadi di entorhinal cortex, kemudian berkembang ke hippocampus. Ditandai adanya kelainan di dalam sistem saraf pusat (otak) berupa amyloid plaques (di luar neuron) dan neurofibrillary tangles (di dalam neuron).

World Health Organization (WHO) memperkirakan, sekitar 37 juta penduduk dunia mengidap Alzheimer. Menimpa 1 dari 10 orang lanjut usia (lansia) 65 tahun ke atas.
Diprediksi WHO, pada 2050, 1 dari 85 penduduk dunia terkena penyakit Alzheimer.

"Penderita Alzheimer tidak mengenal jenis kelamin, golongan, dan status sosial seseorang. Bahkan, kini mulai ada kasus Alzheimer yang menimpa usia 40-50 tahun," ungkap Roul.

Penyakit demensia, salah satunya Alzheimer juga berdasarkan data Alzheimer Disease International pada September 2006 sudah menimpa 13,7 juta orang di Asia Pasific.
Di Indonesia, kata Roul, diketahui ada 606 ribu penderita demensia pada 2005.

"Diperkirakan pada 2020 akan ada 1 juta orang yang menderita demensia. Termasuk di dalamnya tren peningkatan penyakit Alzheimer," jelasnya.
 
Biasanya, mereka yang memiliki penyakit Diabetes Mellitus (DM) dan pasca stroke memiliki potensi terkena demensia, salah satunya Alzheimer lebih besar daripada orang normal.

Faktor lain yang bisa menyebabkan adalah multifaktor, genetik, lingkungan, gaya hidup, obesitas, trauma pada kepala ketika masih muda, merokok, kurang gerak, hipertensi, hiperkolesterol, dan riwayat keluarga dengan Alzheimer.

Tahapan Penyakit Alzheimer
Seperti umumnya penyakit, perlahan namun pasti akan bertambah parah. Begitu juga penyakit demensia Alzheimer. Secara umum, definisi demensia adalah suatu kondisi klinis yang ditandai kemerosotan daya ingat, intelektualitas, dan emosi.

"Saat ini, Alzheimer mulai tahap ringan sampai parah sudah menyerang penderita pada usia 40 tahunan. Bisa saja di usia remaja atau awal 20 tahunan. Hanya saja kelupaan-kelupaan kecil seringkali tidak terlalu dianggap penting," ungkap dr Made Agus Mahendra Inggas SpBs, dokter spesialis bedah saraf (neuro surgery) di acara yang sama.

Kasus di kelompok usia 40-65 tahun sedikitnya ada 1 dari 1.000 orang. Sedangkan pada kelompok usia 70-80, kasus demensia terjadi pada 1 dari 20 orang.

Orang dengan penyakit kepikunan atau Alzheimer, kata Made, bisa saja lupa jalan pulang atau sulit menemukan alamat rumah sendiri. "Padahal, lewat sana sudah puluhan tahun tapi tiba-tiba saja lupa dan tersesat," paparnya.

Ada pun gejala awal Alzheimer adalah ingatan jangka pendek (recent memories) terganggu. Sering mengulang pertanyaan atau cerita atau kata-kata sama, tiba-tiba terputus di tengah pembicaraan, kesulitan menemukan kata-kata tertentu, dan lebih lambat atau bingung mengerjakan sesuatu.  Selain itu, mudah curiga, cemburu, marah, dan sensitif.

"Mereka juga mulai kehilangan minat terhadap aktivitas harian, menarik diri dari pergaulan, tapi relatif masih dapat bekerja," ungkap Roul.
 
Pada gejala lanjut, pasien Alzheimer terjadi gangguan mengingat yang semakin bertambah, tidak sadar sakit, halusinasi, tidak ingat waktu, tidak ingat tempat, sulit mengerjakan pekerjaan sehari-hari yang rutin, dan mulai ketergantungan kepada bantuan orang lain.

"Pasien Alzheimer tingkat lanjut mulai bicara dengan kata-kata yang terbatas, berat badan turun, susah makan, waktu tidur terganggu, berjalan mondar-mandir tanpa tujuan, tidak dapat mandi, BAB, dan BAK sendiri. Pada tahap ini juga pasien sudah sangat tergantung pada orang lain," paparnya panjang lebar.

Bagaimana dengan tahapan yang sudah berat? Umumnya, lanjut Roul, pasien akan semakin kurus, mobilitas sangat terbatas,  gerakan-gerakan involunter, tidak mengenal suami, istri, anak di rumah, tidak mengenal diri sendiri, dan akan menghabiskan sebagian besar waktunya untuk diam di kursi dan berbaring di tempat tidur.

Menurut Roul, penanganan Alzheimer beragam, tergantung kebutuhan dan kadar penyakit yang diderita pasien. Tindakan mulai pencegahan, dengan makan makanan sehat, seimbang, hindari stres, hindari gaya hidup tidak sehat seperti merokok dan makan makanan berlemak, banyak olahraga, hingga penambahan suplemen minyak ikan yang mengandung omega 3.

Tapi lebih daripada itu, deteksi dini baru benar-benar bisa divalidasikan, jika melakukan pengecekan. Mulai Neuropsychological Testing (sensitivitas 69 persen dan spesivisitas 91 persen), MRI (80 persen dan 76 persen), Brain SPECT (58-90 persen dan 60-92 persen), dan yang paling akurat adalah dengan PET-CT Scan (87-94 persen  dan 75-96 persen).

"Sekarang ini, sudah ada metode pengecekan mutakhir untuk memastikan, apakah ada potensi seseorang terkena penyakit demensia, salah satunya Alzheimer. Yaitu dengan pencitraan molekuler," jelas dr Ryan Yudistiro, SpKN, dokter spesialis di bidang pengobatan nuklir dan pencitraan molekuler.

Menurutnya, pencitraan molekuler merupakan alat pencitraan diagnostik yang sangat efektif, aman, dan nyaman, dalam memberikan informasi secara detil tentang apa yang terjadi di dalam tubuh seseorang. Khususnya pada tingkat sel.

Positron Emission Tomography (PET), jelas Ryan, merupakan teknik pencitraan molekuler yang paling sering digunakan untuk mendiagnosa dan mengarahkan pengobatan untuk Alzheimer. Karena mendiagnosa Alzheimer itu cukup rumit dan membutuhkan waktu sangat panjang.

"Dahulu, untuk memastikan ada tidaknya sel Alzheimer di dalam otak kita butuh waktu 2-3 tahun untuk uji coba diagnostik dan kognitif. Tapi dengan PET scan bisa membantu dokter klinis dalam mengidentifikasi kelainan otak secara aman dan nyaman," bebernya tentang kecanggihan teknologi kedokteran saat ini.
 
Dengan PET Scan, selain bisa memberikan evaluasi pada penyakit Alzheimer, juga bisa spesifik membedakan Alzheimer dengan penyakit demensia lainnya, serta pemantauan perburukan penyakit dan efektivitas pengobatan yang baru dalam uji klinis. (sic)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Lansia dan Pengidap Diabetes Ketika Berpuasa

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler