Kepahlawanan dan Tantangan Berbangsa

Sabtu, 10 November 2018 – 10:10 WIB
Jan Prince Permata. Foto: Dokpri for JPNN.com

jpnn.com - Oleh: Jan Prince Permata SP., M.Si
Staf Ahli Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI)

 

BACA JUGA: Sosok Pahlawan Masa Kini di Mata MM Restu Hapsari

Hari ini, 10 Nopember 2018 kembali diperngati sebagai Hari Pahlawan. Ungkapan bahwa “Bangsa Yang Besar Adalah Bangsa Yang Menghormati Pahlawannya” tetap kita pegang hingga saat ini.

Melihat ke belakang, merefleksikan sejarah, betapa besar keberanian Arek-Arek Surabaya memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dari tangan Sekutu pada 10 November 1945. Peristiwa ini diawali dengan kedatangan tentara sekutu dibawah kepemimpinan Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby pada 25 Oktober 1945. Pembebasan terhadap para perwira Sekutu dan pegawai RAPWI (Recovery of Allied Prisoners of War and Internees) serta ultimatum bagi orang Indonesia yang bersenjata untuk meletakkan senjata dan menyerahkan diri, memicu perlawanan Arek-Arek Surabaya. Selanjutnya terjadi pertempuran Surabaya yang kemudian kita peringati sebagai Hari Pahlawan.

BACA JUGA: Wapres Menjadi Irup di Peringatan Hari Pahlawan

Sikap kepahlawan juga ditunjukkan lewat pertempuran Bandung Lautan Api, Pertempuran Ambarawa, Pertempuran Medan Area dan banyak pertempuran fisik lainnya. Dalam konteks yang lebih luas, perjuangan para pahlawan tak hanya dilakukan dengan pertempuran fisik, namun juga melalui perjuangan diplomasi.

Lewat perjuangan para pahlawan kita mengenal semangat rela berkorban, cinta tanah air kesatria, patriotisme, kejujuran, keberanian, gotong royong, mandiri,  bertanggung jawab, dan tanpa pamrih. Untuk itu menjadi tugas dan kewajiban generasi saat ini terus memberi makna kepahlawanan dan mengisi kemerdekaan sesuai dengan perkembangan zaman.

BACA JUGA: Menjadi Pahlawan Milenial dengan Berlomba Meraih Prestasi

Tantangan Berbangsa

Para pahlawan rela mengorbankan harta dan nyawa untuk bangsanya. Sikap dan teladan kepahlawanan seperti ini sangat jarang bahkan mustahil kita temukan di era sekarang. Kesetiaan para pejuang dan pahlawan ini membuahkan hasil dengan lahirnya negara Proklamasi 17 Agustus 1945.

Bung Karno dalam berbagai kesempatan menegaskan bahwa kemerdekaan Indonesia itu hanyalah jembatan emas untuk menyelenggarakan masyarakat adil dan makmur. Inilah sejatinya tujuan kemerdekaan bangsa yang diperjuangkan para pahlawan.

Bung Hatta juga dalam berbagai kesempatan mengingatkan bahwa mewujudkan keadilan dan kemakmuran bagi rakyat meruapakan tujuan pokok dalam berbangsa.

Dalam salah satu tulisannya berjudul “Politik dan Ekonomi” (pertama kali dimuat dalam Daulat Ra’yat, No. 36 Tanggal 10 September 1932) Bung Hatta menegaskan bahwa ”Politik dan ekonomi harus sejalan, mendorong ke muka! Politik harus berusaha menuntut hak rakyat. Ekonomi berusaha untuk memperbaiki dan menyelamatkan penghidupan rakyat… memerdekakan penghidupan rakyat”.

Cita-cita Bung Karno, Bung Hatta dan para pahlawan agar rakyat bisa memperoleh keadilan dan kemakmuran di dalam Indonesia Merdeka merupakan tujuan yang harus diperjuangkan. Oleh karena itu, salah satu tantangan terberat yang kita hadapi saat ini adalah medan perjuangan ekonomi.

Indonesia saat ini sedikitnya mengahadapi lima masalah mendasar di sektor perekonomian. Pertama, kemiskinan. Data BPS per Maret 2018 mencatat jumlah penduduk miskin di Indonesia sekitar 9,82 persen atau 25,95 juta orang, yang jika dirinci di perdesaan sekitar 15,81 juta orang dan di perkotaan 10, 14 juta orang. Kedua, pengangguran. BPS pada Februari 2018 menyebutkan jumlah pengangguran terbuka di Indonesia mencapai 5,13 persen atau 6,87 juta orang dengan rincian pengangguran di perkotaan sebesar 6,34 persen, sedangkan sedangkan pengangguran di perdesaan 3,72 persen. Ketiga, ketimpangan. Ketimpangan di Indonesia saat ini bisa dilihat antara lain dari tingginya gini-ratio pendapatan yaitu 0,389 per Maret 2018. Jika lebih diperinci gini ratio diperkotaan mencapai 0,401 dan gini ratio di perdesaan 0,324. Data BPS, juga menunjukkan tingginya ketimpangan pengusasan aset dan tanah. Ketimpangan di Indonesia juga bisa kita lihat melalui kesenjangan antara desa dan kota, kawasan maju dan tertinggal, pusat (central) dan pinggiran (pheripheri).Ketimpangan juga bisa dilihat dari kesenjangan akses masyarakat terhadap pendidikan, kesehatan dan jasa keuangan yang masih tinggi.

Keempat, utang. Hingga akhir Juni 2018 utang pemerintah pusat mencapai Rp 4.227,78 triliun. Utang yang disertai bunga dan pada waktunya akan jatuh tempo ini tentunya akan membebani perekonomian nasional.

Kelima, ketergantungan yang tinggi terhadap luar negeri. Semakin eratnya kerterkaitan pasar keuangan Indonesia dengan pasar keuangan internasional seiring dengan penerapan sistem nilai tukar mengambang bebas sejak 14 Agustus 1997 menyebabkan perekonomian Indonesia rentan terhadap gangguan eksternal, termasuk arus modal dalam jumlah besar maupun jumlah ekspor dan impor. Inilah tantangan-tantangan berbangsaa bidang ekonomi yang nyata kita hadapi.

Kini, 73 tahun sudah Indonesia merdeka. Di balik kemajuan yang ada, problem kemiskinan, kesenjangan dan ketidakadilan sosial masih kita hadapi. Tak terlalu berlebihan jika kita kembali mengingat pesan Presiden pertama Ir Soekarno, pada HUT Kemerdekaan tahun 1950 bahwa, “Selama masih ada ratap tangis di gubuk-gubuk, pekerjaan kita belum selesai!? Berjuanglah terus dengan mengucurkan sebanyak-banyak keringat.”

Pendek kata, sikap dan tindakan nyata kepahlawanan diperlukan untuk untuk menjawab tantangan-tantangan berbangsa saat ini. Selamat Hari Pahlawan…

BACA ARTIKEL LAINNYA... Ada atau gak ada Kereta Api Lewat, Jalur itu Harus Steril


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler