Kepala Daerah Bisa Dipenjara

Kalau Nekat Tambah PNS Secara Diam-diam

Kamis, 12 April 2012 – 06:32 WIB

JAKARTA - Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menyiapkan formula lain agar daerah-daerah yang terancam bangkrut bisa bertahan. Kalau sebelumnya mengancam bakal ada likuidasi, kali ini yang ditekan adalah pemimpin daerahnya. Yakni, ancaman penjara kalau nekat menambah Pegawai Negeri Sipil secara diam-diam.

Seperti diketahui, saat ini moratorium penghentian penerimaan PNS memang telah berjalan. Namun, Ditjen Otonomi Daerah (Otoda) Kemendagri Djoehermansyah Johan menyebut kepala daerah masih suka mengangkat pegawai secara diam-diam. Biasanya, diawali dengan mengangkat seseorang sebagai pegawai honorer. "Biasanya untuk balas budi," ujarnya kepada Jawa Pos.

Lebih lanjut dia menjelaskan, kebanyakan yang diangkat oleh kepala daerah adalah tim suksesnya. Selama ini, tidak ada sanksi bagi kepala daerah yang nekat "menyelundupkan" pegawai baru itu. Sehingga beban keuangan daerah makin berat karena harus membayar pegawai tersebut.

Agar lebih bertaring, aturan pidana bagi kepala daerah tersebut bakal dijadikan undang-undang. Saat ini, Djoe mengatakan rancangan undang-undang (RUU) Pemerintah Daerah itu sudah disampaikan ke DPR. Namun, dia enggan menerangkan lebih detail tentang ancaman penjara itu. "Yang jelas, diancam pidana," imbuhnya.

Langkah tegas itu perlu diberlakukan supaya jumlah PNS tidak membludak. Opsi moratorium memang menurutnya paling logis saat ini, sebab kalau dipaksa pendistribusian ke beberapa daerah akan makan waktu. Apalagi, beberapa daerah juga disebutnya sudah gemuk pegawai.

Seperti diberitakan sebelumnya, Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA) merilis 291 kabupaten/kota yang memproyeksikan belanja pegawainya lebih dari 50 persen. Nah, dari daerah itu terdapat 11 daerah yang memiliki belanja pegawai lebih dari 70 persen. Gara-gara itu, daerah tersebut kolaps karena tidak lagi memiliki anggaran.

Sebelas daerah itu diantaranya Kota Langsa (NAD), Kabupaten Kuningan Jabar, Kota Ambon, Kabupaten Ngawi, Kabupaten Bantul, Kabupaten Bireuen (NAD), Kabupaten Klaten, Kabupaten Aceh Barat, Kota Gorontalo, Kabupaten Karanganyar, dan Kota Padang Sidempuan (Sumatera Barat).

Terpisah, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) turut prihatin dengan minimnya anggaran daerah yang digunakan untuk kepentingan pelayanan masyarakat. Apalagi, komisi yang dipimpin Abraham Samad itu menegaskan kongkalikong antara pemkot dan DPRD dalam pembahasan anggaran daerah kini kian marak.

"Dalam beberapa waktu terakhir kami banyak mengungkap praktek-praktek korupsi antara pemkot dan DPRD. Misalnya kasus Kabupaten Seluma, Semarang dan yang terakhir Riau," kata juru bicara KPK Johan Budi kemarin (10/4). Pengungkapkan yang dibarengi dengan panangkapan para pejabat DPRD dan pemkot di beberapa daerah itu merupakan bukti bahwa KPK menganggap korupsi daerah merupakan permasalahan yang sangat serius.

Menurut Johan, meski KPK memiliki keterbatasan sumber daya manusia, tapi pihaknya tidak akan surut berupaya memberantas korupsi di daerah. Pria yang pernah mencalonkann diri sebagai pimpinan KPK itu mengaku ada beberapa modus dalam praktek kongkalikong antara pemkot dan DPRD.

Diantaranya adalah pemkot memberikan sejumlah uang pelican kepada DPRD guna untuk meloloskan pembahasan anggaran RAPBD dan untuk mengegolkan pembahasan peraturan daerah. "Korupsi jenis pasti dilakukan secara bersama-sama," kata Johan.

Dalam beberapa kasus, pemkot beralasan memberikan pelicin kepada legislatif karena terpaksa. Menurut pengakuan mereka, jika tidak menyetor pelicin, maka DPRD akan seenaknya mempersulit pembahasan perda dan pelolosan anggaran. Sehingga yang dirugikan adalah masyarakat.

Namun bagaimana pun juga, lanjut Johan, itu adalah bentuk praktek suap yang jelas-jelas melanggar UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pelaku, baik penyuap maupun yang disuap sama-sama bisa dijerat pidana korupsi.

KPK sebenarnya tidak tinggal diam. Selain terus menangkap para pelaku di daerah, lembaga yang bermarkas di Jalan Rasuna Said Jakarta itu kerap turun ke daerah untuk memberikan penguatan kepada DPRD dalam upaya pencegahan. "Kami terus turun ke daerah-daerah dengan mengandeng pihak-pihak terkait. Terutama Kemendagri," kata dia.

Pelatihan yang biasanya diberikan KPK kepada anggota DPRD adalah penguatan pemahaman fungus legistaif. Yakni pengawasan, pembuatan perda dan budgeting. Menurut dia, dua hal terakhir adalah kewenangan DPRD yang paling banyak disalahgunakan.

Dalam upaya pencegahan, tentu saja KPK sangat menunggu laporan-laporan. KPK meminta masyarakat proaktif melaporkan kepada pihaknya jika memang mengetahui ada praktek korupsi di daerahnya. "Tentu saja harus membawa bukti-bukti yang cukup," imbuhnya. (dim/kuh/agm)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pascagempa, BNPP Kirim 3 Tim


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler