Kepala Perpusnas: Indonesia Kekurangan 500 Juta Buku yang Harus Didistribusikan

Senin, 17 Mei 2021 – 20:59 WIB
Anggota Komisi X DPR RI Putra Nababan dan Kepala Perpustakaan Nasional Muhammad Syarif Bando. Foto Humas Perpusnas RI

jpnn.com, JAKARTA - Kepala Perpustakaan Nasional (Perpusnas) Muhammad Syarif Bando menyampaikan bahwa sejak 2015 lalu mereka sudah memulai bermigrasi ke konten digital. 

“Alhamdulilah, dua tahun belakangan ini, Perpusnas telah menjadi perpustakaan terbaik dunia dalam menyajikan jurnal ilmiah,” kata Syarif dalam talkshow yang digelar Pusat Analisis Pengembangan Perpustakaan dan Pengembangan Budaya Baca di Jakarta, Senin (17/5).

BACA JUGA: Begini Upaya Pemerintah Meningkatkan Minat Baca dan Literasi Masyarakat Indonesia

Pernyataan ini diperkuat data bahwa sudah 6,5 juta orang pengguna aktif dalam konten digital Perpusnas yang mengakses 3 - 4 miliar artikel ilmiah.

Namun, data Perpusnas menyebutkan baru 30 juta penduduk Indonesia yang familiar dengan digitalisasi konten ilmu pengetahuan.
Dari angka itu, 6,5 juta orang di antaranya mengaku tidak bisa memisahkan hidup mereka dari ilmu pengetahuan berbasis digital.

BACA JUGA: Perpusnas Gandeng Korea Selatan dalam Pengembangan Ilmu Perpustakaan

“Itu artinya, masih terdapat kesenjangan 240 juta penduduk Indonesia yang belum terkoneksi. Ini ruang yang harus dibangun bersama,” kata Syarif.

Pada kesempatan tersebut, Syarif Bando juga membantah anggapan bahwa orang Indonesia malas membaca. Dia menegaskan bahwa budaya literasi di Indonesia sudah jauh tinggi.

BACA JUGA: Ternyata ini Penyebab Anak Indonesia Kurang Minat Membaca

Salah satu fakta yang bisa menjelaskan adalah bukti peninggalan sejarah pada abad ke-2 di Kerajaan Kutai Kartanegara, lalu berlanjut ke Kerajaan Sriwijaya, Majapahit, dan peradaban yang tercipta pembangunan Candi Borobudur pada 724 Masehi.

Di belahan benua lain pada abad ke- 15, Christopher Colombus baru menemukan Benua Amerika. Kemudian, Abel Tasman menemukan Selandia Baru abad 16.

“Artinya, negara-negara Eropa selalu mengakui Indonesia sebagai negara tertua seribu tahun dari mereka. Bagaimana bisa kita katakan Indonesia mempunyai budaya baca yang rendah?” tanya dia.

Menurut Syarif, jika banyak penelitian menunjukkan budaya baca Indonesia rendah, maka itu hanya persoalan ketersebaran buku yang belum merata ke berbagai pelosok daerah. Bayangkan saja, kata dia, satu buku ditunggu 90 oleh orang untuk dibaca.

“Indonesia hanya kekurangan buku. Merujuk ketentuan UNESCO, Indonesia masih kekurangan 500 juta buku yang harus didistribusi,” sambung Syarif.

Itu sebabnya, kata dia, tahun ini Perpusnas makin gencar meminta para pelaku di sisi hulu untuk menulis.

Para pakar, dosen, guru bisa menulis buku sebanyak mungkin untuk disebarluaskan ke seluruh negeri.

Hilir dari proses literasi ini adalah penciptaan barang dan jasa baru.

"Indonesia harus menjadi negara produsen, bukan hanya pemakai," jelas Syarif.

Anggota Komisi X DPR RI Putra Nababan menyatakan dukungan positif pada momen perayaan ulang tahun ke-41 Perpusnas ini.
Apalagi, pada momen pandemi Covid-19, digitalisasi konten perpustakaan yang digiatkan Perpusnas sejak 2015 sangat dinikmati pada masa-masa sulit ini.

Putra menjelaskan data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan ada peningkatan literasi. Meskipun sedikit, kata dia, tetapi ini cukup signifikan.

"Apalagi saat pemerintah memberikan bantuan pulsa kepada murid, dosen dan guru, fasilitas layanan perpustakaan itu dinikmati,” tuturnya.

Putra meminta Perpusnas untuk terus mengusahakan gerakan literasi dengan maksimal, meskipun mengalami pembatasan dan pemotongan anggaran, yang sebagian besar dialifungsikan untuk penanggulangan bencana pandemi Covid-19. (esy/jpnn)


Redaktur & Reporter : Mesya Mohamad

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler