JAKARTA - Peneliti senior pada Pusat Penelitian Politik (P2P) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Syamsuddin Haris mengatakan masalah bangsa ini sesungguhnya terletak pada kepemimpinan nasional. Besarnya potensi konflik yang bersumber dari konstitusi sebagaimana yang pernah terjadi di zaman otoriter sudah berakhir seiring telah diamandemennya konstitusi.
"Saya berpandangan, setelah diamandemen, konstitusi tidak lagi menjadi terdepan sebagai pemicu konflik berbangsa dan bernegara. Masalah bangsa yang saat ini terjadi lebih disebabkan karena faktor kepemimpinan yang tidak tegas, sehingga pemerintahan tidak efektif," kata Syamsuddin Haris, dalam Dialog Pilar Negara bertema "GBHN, Urgensi dan Relevansi Di Masa Kini", di Perpustakaan MPR, komplek Parlemen, Senayan Jakarta, Senin (18/2).
Masalah tidak efektifnya kepemimpinan nasional lanjut Syamsuddin, bukan saja terjadi di level struktur pemerintahan dari presiden, menteri hingga bupati atau walikota. "Sekitar 50 persen perintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di lingkungan istana saja tidak jalan. Infonya dari kalangan istana sendiri," ungkap Syamsuddin Haris.
Selain mempertanyakan efektifitas presiden, Syamsuddin juga menuding pemilihan umum (Pemilu) punya andil besar terhadap gagalnya bangsa ini mendapatkan pemimpin yang tegas karena dalam sistem Pemilu terjadi anomali berupa hasil Pemilu legislatif menentukan Pemilu Presiden.
"Ini anomali, mestinya Pemilu Presiden mendahului Pemilu Legislatif atau setidaknya sama. Yang terjadi sebaliknya, Pemilu Legislatif yang didahulukan. Itu aneh," tegasnya.
Menyinggung masalah tidak adanya Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai pedoman tujuan bangsa, menurut Syamsuddin itu hanya karena pergantian nama saja. Kalau dahulu namanya GBHN, sekarang diganti dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) yang disusun berdasarkan visi dan misi presiden.
"Lucunya, RPJPN dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) disusun oleh Bappenas dengan cara dicocok-cocokan dengan visi dan misi presiden dan itu tidak disosialisasikan kepada masyarakat secara massif," kata dia.(fas/jpnn)
"Saya berpandangan, setelah diamandemen, konstitusi tidak lagi menjadi terdepan sebagai pemicu konflik berbangsa dan bernegara. Masalah bangsa yang saat ini terjadi lebih disebabkan karena faktor kepemimpinan yang tidak tegas, sehingga pemerintahan tidak efektif," kata Syamsuddin Haris, dalam Dialog Pilar Negara bertema "GBHN, Urgensi dan Relevansi Di Masa Kini", di Perpustakaan MPR, komplek Parlemen, Senayan Jakarta, Senin (18/2).
Masalah tidak efektifnya kepemimpinan nasional lanjut Syamsuddin, bukan saja terjadi di level struktur pemerintahan dari presiden, menteri hingga bupati atau walikota. "Sekitar 50 persen perintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di lingkungan istana saja tidak jalan. Infonya dari kalangan istana sendiri," ungkap Syamsuddin Haris.
Selain mempertanyakan efektifitas presiden, Syamsuddin juga menuding pemilihan umum (Pemilu) punya andil besar terhadap gagalnya bangsa ini mendapatkan pemimpin yang tegas karena dalam sistem Pemilu terjadi anomali berupa hasil Pemilu legislatif menentukan Pemilu Presiden.
"Ini anomali, mestinya Pemilu Presiden mendahului Pemilu Legislatif atau setidaknya sama. Yang terjadi sebaliknya, Pemilu Legislatif yang didahulukan. Itu aneh," tegasnya.
Menyinggung masalah tidak adanya Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai pedoman tujuan bangsa, menurut Syamsuddin itu hanya karena pergantian nama saja. Kalau dahulu namanya GBHN, sekarang diganti dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) yang disusun berdasarkan visi dan misi presiden.
"Lucunya, RPJPN dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) disusun oleh Bappenas dengan cara dicocok-cocokan dengan visi dan misi presiden dan itu tidak disosialisasikan kepada masyarakat secara massif," kata dia.(fas/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Digarap KPK Tujuh Jam, Mentan Masih Umbar Senyuman
Redaktur : Tim Redaksi