Kepercayaan Publik Menurun Kalau Dewas KPK Tidak Transparan Menangani Laporan

Kamis, 09 Juli 2020 – 19:33 WIB
Lima anggota Dewas KPK 2019-2023 yaitu Syamsuddin Haris, Artidjo Alkostar, Albertina Ho, Harjono dan Tumpak Hatorangan di Istana Negara Jakarta, Jumat (20/12). Foto: Desca Lidya Natalia/Antara

jpnn.com, JAKARTA - Pengamat hukum tata negara Jimmy Usfunan meminta Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (Dewas KPK) bisa transparan dalam menangani setiap laporan pelanggaran etik yang dilakukan oleh pegawai lembaga antirasuah.

Menurut dia, kepercayaan publik menjadi taruhannya ketika Dewas KPK tidak berlaku transparan. Bukan tidak mungkin, kepercayaan publik akan menurun jika hal itu terjadi.

BACA JUGA: Gus Menteri Beberkan Progres BLT Dana Desa di Hadapan Pimpinan KPK

"Apabila ini tidak dilakukan, satu pemberitahuan atau pemberian informasi pada masyarakat maka lambat laun masyarakat juga akan mengurangi intensitas laporan dan pengawasan publik," kata Jimmy saat dihubungi awak media, Kamis (9/7).

Misalnya, kata Jimmy, terkait kasus dugaan pelanggaran etik yang dilakukan penyidik KPK Hendrik Christian. Laporan kasus itu seharusnya bisa dibuka oleh Dewas KPK.

BACA JUGA: Update Corona 9 Juli: Kabar Gembira Datang dari Sulawesi Selatan

Selanjutnya, kata dia, Dewas KPK bisa menyampaikan alasan kasus-kasus yang telah dilaporkan belum bisa dilakukan. Sementara itu, kasus-kasus yang dilaporkan belakangan yang didahulukan.

"Hal-hal semacam ini yang perlu disampaikan kepada publik sehingga keberadaan Dewas KPK tetap mendapatkan kepercayaan publik yang baik dalam menjalankan tugas dan fungsinya," ujar dia.

BACA JUGA: Update Corona 9 Juli: Pertambahan Pasien Positif Covid-19 Cetak Rekor

Menurut dia, dalam konstruksi pada UU 19 tahun 2019 tentang perubahan kedua UU KPK, keberadaan dewas lebih kepada kontrol pelaksanaan tugas dan wewenang lembaga antirasuah.

Dengan begitu, ujar dia, implikasinya Dewas KPK menyusun dan menetapkan kode etik, menerima laporan dari masyarakat terkait adanya dugaan pelanggaran kode etik pimpinan maupun pegawai lembaga antirasuah, serta menyelenggarakan sidang yang diduga pelanggaran etik itu sendiri.

"Nah secara internal sudah diatur dalam peraturan Dewas Nomor 3 Tahun 2020 tentang tata cara pemeriksaan dalam pelanggaran kode etik. Yang pada dasarnya mengatur dua mekanisme, adanya mekanisme pemeriksaan pendahuluan dan mekanisme sidang etik.

Terkait mekanisme pemeriksaan pendahuluan, dia menyebut, perlu menindaklanjuti dengan laporan-laporan pelanggaran kode etik yang masuk dari masyarkat.

Dari pemeriksaan pendahuluan ini, kata dia, akan ditentukan nantinya apakah sudah cukup bukti untuk bisa diteruskan dalam sidang etik atau tidak cukup bukti agar tidak bisa lagi diteruskan.

"Ini menjadi penting bagi masyarakat untuk mengetahui apa saja yang telah ditindaklanjuti dari laporan-laporan pelanggaran kode etik sebagaimana dilaporakan ke Dewas KPK," ujar Jimmy.

Di sisi lain, Jimmy tidak menampik dalam peraturan Dewas Nomor 3 Tahun 2020 tidak memiliki kelamahan.

Dia berkata kelamahan itu lantaran aturan itu mengatur berapa lama jangka waktu antara masuknya laporan dari masyarakat terhadap dugaan pelanggaran kode etik dengan tindak lanjut melakukan pemeriksaan pendahuluan.

"Nah, ketika tidak ada waktu seperti ini maka berpotensi pada tindakan-tindakan yang menunda-nunda laporan yang masuk atau tindakan-tindakan yang seolah-olah membalikkan atau mana yang dahulu harusnya ditindaklanjuti menjadi itu yang belakangan," ujarnya.

"Hal-hal ini menjadi persoalan yang riskan dan berpotensi pada kepercayaan publik yang akan semakin menurun pada kinerja Dewas itu sendiri," ujar Jimmy. (mg10/jpnn)

Video Terpopuler Hari ini:


Redaktur & Reporter : Aristo Setiawan

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler