Kepruk Kendil

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Rabu, 17 Agustus 2022 – 16:42 WIB
Dhimam Abror Djuraid. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com - Kepruk kendil adalah sebuah permainan yang populer saat peringatan tujuh belasan. 

Dengan mata tertutup kita memegang pentungan. Berjalan ke sana ke mari tanpa arah dan tujuan. 

BACA JUGA: Peringati HUT ke-77 RI, Kemenpora Nilai Pemuda Miliki Peran Penting Mengisi Kemerdekaan

Menyabet ke samping, memukul ke depan. Lantas….pyaarr…kendil pun hancur berantakan. 

Tua muda dan anak-anak menggemari permainan kepruk kendil itu. Orang di sekeliling bersorak-sorak dan berteriak-teriak. 

BACA JUGA: Sebelum Tampil di Istana, Farel Dipanggil Jokowi Bicara, Ada Wejangan

Ada yang tertawa terpingkal-pingkal ketika kita tersasar tak tentu arah. Ada yang mengejek, dan bahkan ada yang sengaja memberi instruksi yang menyesatkan.

Kita, dengan mata tertutup dan pentungan besar di tangan, mencoba menaksir arah. Mencoba mencari haluan. Di tengah riuhnya teriakan dan hujatan, kita mencoba mencari sasaran. 

BACA JUGA: Terima Timnas U-16 Indonesia di Istana, Jokowi Beri Pesan Khusus

Sering kali kita tidak bisa mendekati tujuan, dan hanya bisa memukul dan menyabet membabi buta. Dan, ketika kita bisa mengincar objek pyaar…kendil hancur sekali pukul.

Entahlah, apa makna permainan ini. Beberapa tahun terakhir permaian kepruk kendil jarang ditampilkan pada acara tujuhbelasan di kampung. 

Kendil yang dibuat dari gerabah bakar makin sulit dicari. Para perajin kendil pasti sudah berguguran gulung tikar. Dulu, ketika kita masih kanak-kanak, kita sering dolanan dengan teman-teman sepantaran. 

Di bawah temaram rembulan kita main petak umpet, gobek sodor, dan permainan lainnya. Sambil bermain kita menyanyikan tembang-tembangan.

Konon, semua jenis dolanan dan tembangan itu ada makna filosofisnya. 

Orang-orang tua terdahulu sengaja menciptakan dolanan dan tembangan itu untuk mensosialisasikan nilai-nilai tertentu. 

Mereka ingin menginternalisasikan ajaran moral dengan cara yang mudah dan menyenangkan, supaya lebih mudah dihayati dan diingat sampai kapan pun. 

Pujangga Ranggawarsita, misalnya, menciptakan tembang ‘’Ilir-Ilir’’ untuk mengajarkan syariat Islam mengenai penyucian diri. Lagu-lagu itu pun dihafal oleh semua kalangan, tua muda, dan anak-anak.

Barangkali, kepruk kendil juga ada nilai filosofisnya. Kita tidak tahu. Seorang pengamat politik mempertanyakan mengapa permainan-permainan seperti kepruk kendail, balap karung, lomba lari kelereng, panjat pinang, masih dipertontonkan di acara agustusan, apa relevansinya dengan sejarah perjuangan kemerdekaan.

Yang jelas, rasanya sekarang ini permainan itu mencerminkan kondisi bangsa kita. Bangsa ini, persis seperti gambaran anak kecil yang sedang bermain kepruk kendil. Mata tertutup tak bisa melihat arah. Kita sering tersesat amat jauh dari sasaran.

Ironisnya, di tangan kita ada pentungan sebesar lengan yang bebas kita gunakan untuk apa saja. Kita boleh mengayunkan ke mana saja. Kadang memukul tembok, kadang memukul pagar, kadang menghajar kaki orang lewat.

Itulah pentungan kebebasan yang sekarang kita banggakan. Kita punya kebebasan. Sekali merdeka, tetap merdeka. Itu semboyan saat revolusi. Sekarang semboyan berubah, ‘’Sekali merdeka, merdeka sekali’’, tidak ada batas kemerdekaan dan kebebasan.

Akan tetapi bangsa ini masih seperti anak kecil yang matanya tertutup kain. Masa kemerdekaan yang baru 77 tahun sangatlah muda dibanding bangsa-bangsa lain. 

Amerika sudah merdeka hampir 250 tahun, tetapi sekarang pun masih limbung karena berbagai polarisasi politik internal.

Ibarat manusia, bangsa Indonesia masih kanak-kanak. Kebebasan yang ada di tangan anak kecil bisa sangat berbahaya. Bisa melukai dan menghancurkan apa saja yang ada di dekatnya.

Kebebasan yang dimiliki bangsa ini bisa produktif kalau dikelola dengan benar. Akan tetapi, bisa sangat destruktif kalau berada di tangan yang salah.

Kita menjadi gamang terhadap identitas kita sendiri. Bangsa ini cenderung makin tipis toleransinya dalam berbagai hal. Yang mayoritas merasa curiga karena masa lalunya yang kelabu dan teraniaya.

Di zaman Orde Baru, sistem politik represif menjadikan kelompok Islam yang mayoritas menjadi sasaran kecurigaan. Karena itu kemudian kelompok ini dimarjinalisasi supaya tidak bisa menjadi besar dan kuat.

Karena potensinya yang sangat besar, kelompok Islam bisa menjadi kekuatan yang dahsyat yang bisa mengalahkan apa saja. Karena itu kemudian ada upaya untuk menjadikannya kerdil.

Begitu kebebasan muncul melalui Reformasi, apa yang terpendam lama itu seolah meluap menjadi amarah. Seolah ada dendam terhadap masa lalu.

Maka berbagai gerakan muncul untuk menjadikan Islam sebagai kekuatan politik. Salah satunya dengan mengembalikan Pancasila kepada versi Piagam Jakarta 1 Juni 1945. Perdebatan Pancasila versi 1 Juni versus versi 18 Agustus yang menghilangkan ‘’tujuh kata’’, sampai sekarang masih tetap menjadi tarik-menarik yang ribut.

Di sisi lain, ada kelompok minoritas yang ingin menerapkan hak-haknya secara mutlak tanpa menyadari bahwa toleransi dan tenggang rasa sangat penting di tengah kondisi bangsa yang rapuh ini.

Ada segelintir orang yang sengaja mempergunakan kekuatannya untuk kepentingan sendiri. Kelompok ini menguasai resource ekonomi yang membentuk oligarki. Lalu oligarki ekonomi itu berkembang menjadi oligarki politik.

Risikonya adalah bangsa ini terbelah dalam polarisasi dua kubu, kadrun vs cebong. Persaingannya menjadi pertempuran kekuasaan, power game, yang berusaha saling menyingkirkan. Permainan menjadi mengerikan, zero sum game, winner takes all, pemenang akan meringkus semua, dan yang kalah akan dihabisi.

Power play antara kekuatan nasionalis versus kekuatan religius seolah tidak ada titik temu. Padahal Pancasila seharusnya bisa menjadi kalimatun sawa’ atau common denominator yang mempertemukan semua kekuatan itu. Indonesia bukan negara agama, tetapi bukan negara sekuler.

Pancasila menawarkan formula yang kompromistis. Sila pertama yang religius, “Ketuhanan Yang Maha Esa”, menjadi payung bagi empat sila lainnya yang bersifat sekular.

Tantangan yang mengadang di depan terlalu besar untuk bisa dihadapi dengan pendekatan zero sum game. Kondisi geopolitik internasional tidak menentu.

Masa terburuk pagebluk Covid-19 sudah berhasil kita lewati, tetapi ancamannya tidak sepenuhnya hilang. Butuh waktu panjang untuk melakukan recovery ekonomi yang macet selama dua tahun akibat pandemi.

Ketika dunia tengah berjuang memulihkan diri, pecah perang Rusia vs Ukraina yang membuat ekonomi dunia babak belur. Krisis energi, krisis pangan, dan krisis keuangan menjadi momok yang menakutkan bagi negara manapun.

Perang yang sampai sekarang belum ada tanda-tanda akan berhenti akan memakan korban. Banyak negara LIC, low income countries, yang akan ambruk menjadi failed states, negara gagal.

Kondisi politik di dalam negeri menjelang suksesi 2024 makin hiruk pikuk. Polarisasi dua kubu belum ada tanda-tanda akan berakhir. Bahkan, naga-naganya, polarisasi lama dalam Pilpres 2019 akan berulang lagi.

Seperti dalam permainan kepruk kendil, mata tertutup tidak tahu arah. Ketika kita tengah bingung mencari arah, teriakan dan tekanan dari luar terasa semakin membingungkan.

Seperti anak kecil yang bermain kepruk kendil, kita makin bingung ketika orang-orang di sekitar kita berteriak-teriak. Ada yang menertawakan, ada yang memberi arahan yang salah, dan banyak yang mencaci-maki.

Mudah-mudahan, rakyat masih cukup punya kesabaran menghadapi semua ketidakpastian masa depan ini. Kalau mereka kehilangan kesabaran, mereka bisa menjadi anak kecil pemegang pentungan yang marah.

Dan, ketika sasaran ada di depan mata, pyaarr…hancurlah kendil kebangsaan kita, dan kita terancam menjadi negara gagal. (*)

Video Terpopuler Hari ini:


Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler