Keramik Tiongkok Merajalela, Industri Lokal Tak Berdaya

Minggu, 04 Juni 2017 – 01:04 WIB
Ilustrasi keramik. Foto: Radar Madura/JPNN

jpnn.com, JAKARTA - Industri granit dan keramik domestik makin terjepit akibat derasnya produk impor.

Ketua Dewan Penasihat Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) Hendrata Atmoko menyatakan, industri keramik belum merasakan perbaikan penjualan pada semester pertama tahun ini.

BACA JUGA: Industri Baja Optimistis, Keramik dan Granit Pesimistis

Kenaikan permintaan justru dinikmati importir keramik.

’’Buktinya, angka impor keramik tercatat mengalami kenaikan signifikan pada 2016 dibandingkan 2015,” tutur Hendrata, Jumat (2/6).

Angka impor keramik pada 2016 mencapai 87 juta meter persegi.

Angka tersebut meningkat sekitar 30 persen ketimbang impor keramik sepanjang 2015 sebesar 50 juta meter persegi.

Sebanyak 85 persen keramik impor berasal dari Tiongkok. Sisanya berasal dari Vietnam maupun Thailand.

’’Utilisasi produsen keramik lokal saat ini hanya mencapai 30 persen dari total kapasitas lantaran terdesak impor,’’ ujarnya.

Total kapasitas produksi granit lokal mencapai 30–36 juta meter persegi.

Di sisi lain,  permintaan granit lokal mencapai 87 juta meter persegi per tahun.

Salah satu kekuatan granit impor adalah harganya yang lebih murah 30–40 persen daripada granit lokal.

Karena kapasitas produksi tidak maksimal, industri granit dan keramik domestik terpaksa mengurangi karyawan.

Ada pula produsen keramik yang memilih menjadi importir untuk menyubsidi silang produksi pabrik yang tidak optimal.

’’Ironisnya, semakin banyak pelaku industri yang menjadi pedagang. Penyerapan tenaga kerja berkurang. Apakah pemerintah mau seperti ini terus?’’ ucap Hendrata.

Untuk itu, asosiasi mengusulkan agar Kementerian Perdagangan membatasi pelabuhan impor keramik, yakni Bintan untuk wilayah barat dan Bitung untuk wilayah timur.

Saat ini masih ada 26 pelabuhan yang bisa melayani impor di Indonesia.

’’Seharusnya, seperti Malaysia dan Thailand yang hanya memperbolehkan dua pelabuhan untuk impor. Bisa pula mencontoh Filipina yang membatasi impor dengan kebijakan injury act. Kementerian Perdagangan seharusnya lebih paham,’’ tutur presiden direktur Indogress tersebut.

Selain lebarnya pintu impor, industri tergencet belum direalisasikannya kebijakan penurunan harga gas industri yang dijanjikan pemerintah sejak akhir 2015.

’’Jika kebijakan tersebut bisa dilaksanakan, setidaknya industri ini bisa lebih bergairah,’’ ucap Hendrata.

Di sisi lain, pengamat industri bahan bangunan Welly Santoso menuturkan bahwa permintaan granit di Jawa Timur sebenarnya telah tumbuh sebesar 15 persen.

Sayangnya, memang pertumbuhan tersebut dinikmati oleh importir, bukan produsen granit lokal.

Pertumbuhan permintaan granit terdorong tren peralihan penggunaan keramik ke granit yang tengah berkembang saat ini. (vir/c20/noe)


Redaktur & Reporter : Ragil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler