Lebih dari 20 juta rupiah sebulan. Itulah jumlah uang yang bisa ditabung oleh dua anak muda Indonesia yang saat ini bekerja di pabrik pengolahan daging di Australia. Program Working Holiday VisaKesempatan bagi pemuda Indonesia usia 18-30 tahun untuk bisa berlibur sambil bekerja di AustraliaSkor IELTS minimal 4,5Memiliki keterangan dari bank memilki dana minimal AU$ 5000, yang boleh juga rekening atas nama orang tuaJika ingin kerja dua tahun, perlu setidaknya 3 bulan bekerja di kawasan pedalaman atau pekerjaan tertentuDapatkan informasi selengkapnya di situs resmi WHV dan waspada dengan tawaran yang menjanjikan dapat membantu
BACA JUGA: Mengapa Banyak Rumah di Australia Kini Tak Terjual
Mereka sedang mengikuti program Working Holiday Visa (WHV) di Australia yang memberikan kesempatan bagi mereka yang berusia di bawah 30 tahun untuk bekerja sambil berlibur di Australia.
Sebelumnya, ABC Indonesia pernah memuat beberapa pengalaman peserta program yang menceritakan alasan utama mereka datang ke Australia adalah untuk mendapat kesempatan mencari uang, meski artinya harus siap bekerja keras.
BACA JUGA: Apartemen Delapan Lantai Runtuh di Turki, Tiga Lantai Ternyata Ilegal
Banyak di antara mereka yang bekerja di pertanian atau perkebunan dan yang paling populer dan kompetitif adalah di sektor pelayanan, seperti bekerja di kafe dan restoran.
Tapi ada pula tak sengaja masuk industri pengolahan daging, seperti Vita Nur Khasanah yang berasal dari Rembang, Jawa Tengah.
BACA JUGA: Turis Inggris Dipenjara Karena Tampar Petugas Imigrasi Bali
Photo: Vita, ketiga dari kiri, bersama rekan-rekan kerjanya di pabrik daging. (Foto: Koleksi pribadi)
Sudah setahun Vita ikut program WHV dan kini ia bekerja di pabrik daging di kawasan Rockhampton, negara bagian Queensland.
Ia bertanggung jawab untuk memisahkan dan membersihkan lemak dan serat-serat dari sapi.
"Karena pakai pisau, sebulan pertama jari-jari saya sakit sekali karena belum terbiasa dan masih salah posisi dalam menggunakan pisau," ujarnya.
Vita bekerja 4 hari seminggu, dengan jadwal kerja sekitar 8 jam sehari dan kebanyakan harus berdiri.
Kerja kerasnya mendapat bayaran hampir AU$27, atau lebih dari Rp 270 ribu, per jam.
Pekerjaannya di pengolahan daging dimulai saat Vita pertama kali datang ke Australia awal tahun 2018 lalu, dimana ia mendapat tawaran kerja di pabrik pengolahan di Warnambool, kawasan pinggiran di Victoria.
Tanpa pengalaman sama sekali soal daging, manajernya saat itu menampatkan Vita ditempatkan di bagian bagging, atau pengemasan yang dianggap cocok untuk dirinya. Photo: Sesuai nama visanya, Vita juga menyempatkan jalan-jalan di Australia saat ada waktu luang. (Foto: Koleksi pribadi)
Lulusan Ilmu dan Teknologi Pangan Universitas Brawijaya ini mengaku bisa banyak menabung dari upah yang diterimanya.
"Kita bisa banget menabung, sekitar Rp 28 juta per bulan, tapi ini dari pengalaman sendiri ya," kata Vita yang mengaku memang hidup sederhana.
"Saya selalu masak sendiri, beli daging di pabrik yang lebih murah, dan sewa akomodasi AU$80 [sekitar Rp 800 ribu] per minggu," akunya.
Setelah menyelesaikan program WHV, Vita berkeinginan untuk kembali ke Indonesia.
"Alasannya karena keluarga, saya ingin membahagiakan orang tua saya," ujarnya yang bercita-cita memiliki usaha sendiri di Indonesia sepulangnya nanti. Photo: Sejak sebelum lulus kuliah, Vita sudah berencana ikut program WHV di Australia. (Foto: Koleksi pribadi)
Pengalaman lain diceritakan oleh Rendy Anugerah asal Makassar yang kini bekerja di pabrik pengolah daging di kawasan Tamworth, New South Wales.
Pemuda berusia 27 tahun lulusan IT dari Universitas Bina Nusantara bekerja di bagian penyusunan boks atau kemasan daging, yang termasuk pekerjaan berat secara fisik.
Kepada ABC Indonesia, Rendy mengaku setelah dua tahun mengikuti program WHV, berat badannya turun drastis, dari 105 kilogram menjadi 85 kilogram. Photo: Rendy sudah tinggal dua tahun di Australia dan merasa Melbourne adalah kota terindah di Australia. (Foto: Koleksi pribadi)
Ia mendapat jadwal kerja di malam hari dengan upah yang ia terima saat ini tergolong tinggi, yakni sekitar AU$28, atau lebih dari Rp 280 ribu per jam.
"Saya pernah menabung hampir $3,000 [lebih dari Rp 30 juta] sebulan, saat saya sedang hidup irit-iritnya," ujar Rendy.
Minatnya terhadap industri daging ternak ini membuat Rendy ingin melanjutkan sekolah di bidang pengolahan daging tersebut selepas menyelesaikan program WHV.
Tanpa mau merepotkan orang tuanya, Rendy berharap tabungan dari hasil kerjanya bisa membiayainya sekolahnya nanti. Photo: Rendy dan supervisornya saat bekerja di pabrik daging Warnambool, Victoria (Foto: Koleksi pribadi)
Rendy mengaku sudah terbiasa hidup mandiri setelah orang tuanya mengirimkan dirinya ke pondok pesantren usai menamatkan bangku sekolah dasar.
"Karenanya saya tidak mau merepotkan orang lain dan untuk soal WHV ini saya mencari sendiri informasi, termasuk dari grup WHV di Facebook."
Dari grup tersebut ia berkenalan dengan mereka yang sudah terlebih dahulu mengikuti WHV, bahkan membantunya hingga mendapat pekerjaan dan akomodasi.
"Tips dari saya adalah kita harus memiliki banyak kenalan dan teman, tidak hanya dibatasi dari Indonesia tapi juga dari negara-negara lain," ujarnya. Photo: Sebelum di pabrik daging, Rendy pernah bekerja di perkebunan. (Foto: Koleksi pribadi)
Vita dan Rendy mengatakan berdasarkan sepengetahuan mereka banyak pabrik pengolahan daging di Australia memotong dan mengolah dagingnya secara halal.
Untuk bekerja di pabrik daging mereka wajib mendapat vaksin Q-Fever dan melewati beberapa proses soal keselamatan kerja.
Pekerjaan di pabrik pengolahan daging pun memiliki bidang yang berbeda, mulai dari yang memandikan dan mencukur hewan ternak, penyembelih yang kebanyakan mensyaratkan seorang Muslim, hingga cleaner atau yang kebagian kerja membersihkan.
Ada pula bagian khusus yang memotong daging menjadi bagian yang berbeda-beda, seperti sirloin atau tenderloin, hingga bagian pengemasan.
Apakah Anda tertarik bekerja di pabrik daging di Australia?
Ikuti berita-berita lainnya dari ABC Indonesia.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Bule Inggris Dipenjara Karena Tampar Petugas Imigrasi Bali