Kerugian Negara Belum Tentu Masuk Ranah Pidana

Selasa, 16 April 2013 – 00:11 WIB
JAKARTA - Kubu terdakwa perkara korupsi proyek bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia (CPI),  Ricksy Prematuri, menghadirkan dua saksi meringankan pada persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (15/4). Pada persidangan yang dipimpin Ketua Majelis Hakim, Dharmawati Ningsih itu, kubu Ricksy menghadirkan ahli hukum pidana Universitas Gadjah Mada (UGM), Eddy OS Hiariej dan   Supervisor Lapangan Pematang dari PT Green Planet Indonesia (GPI), Welman Afero Simbolon.

Mengawali persidangan, penasihat hukum Ricksy, Nadjib Aligismar, langsung bertanya seputar hukum pidana kepada Eddy, terkait jerat  pasal 2, pasal 3 Undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Indak Pidana Korupsi dan juga UU Lingkungan Hidup yang sama-sama lex spesialis. Menurut Eddy, dalam ketentuan hukum pidana dikenal asas lex specialis derogat lex generalis, atau UU yang berlaku khusus mengesampingkan UU yang berlaku umum.

Guru besar ilmu hukum di UGM itu menegaskan, jika dua UU khusus sama-sama dibenturkan maka dalam teori ilmu hukum dikenal istilah lex specialis sistematis, atau kekhususan yang disistematiskan. Karenanya jika UU antikorupsi dibenturkan dengan UU Lingkungan Hidup, maka harus dilihat faktor yang lebih dominan. "Akan dilihat fakta dominan dalam perkara itu apa," kata Eddy di hadapan majelis hakim.

Menurutnya, jika UU Lingkungan Hidup ditempatkan sebagai ultimum remidium, meka yang didahulukan adalah sanki administasi, perdata, baru pidana. "Apabila yang dominan fakta lingkungan hidup maka yang digunakan adalah UU lingkungan hidup," paparnya.

Penasihat hukum Ricksy kembali melontarkan pertanyaan tentang kerugian keuangan negara yang bisa digolongkan sebagai korupsi. Menurut Eddy, tidak selamanya kerugian keuangan negara itu selalu ada korupsi di dalamnya. Itu sebabnya, dalam Konvensi PBB Antikorupsi yang telah diratifikasi menjadi UU Nomor 7 Tahun 2006, sudah tidak menyinggung lagi kerugian keuangan negara.

"Kerugian bisa karena pertama, perbuatan administrasi, kedua, perdata dan ketiga,  pidana. Bahkan kalau pun pidana belum tentu dapat otomatis dikatakan korupsi," ujarnya.

Soal perhitungan kerugian keuangan negara, lanjutnya, pihak yang paling berwenang menghitungnya adalah Badan Pemeriksa Keuangan. "Ini sesuai UU nomor 17 tahun 2003. Ketentuan tersebut bersifat limitatif," tegasnya.

Sedangkan saksi kedua, Welman Affero Simbolon, pada persidangan itu dicecar seputar pekerjaan yang dilakoninya sebagai Supervisor SBF Pematang. Menurutnya, selama kerja di sel pengolahan, tidak ada kesalahan yang dilakukan PT GPI selaku rekanan PT CPI. Karenanya, tidak pernah ada teguran dari CPI, Kementerian Lingkungan Hidup, maupun BP Migas kepada PT GPU.

Welman menegaskan, dasar GPI melakukan pekerjaan adalah Standar Operasional Prosedur dari CPI. "Ada SOP dari Chevron," katanya.

Seperti diketahui, Ricksy Prematuri didakwa korupsi terkait proyek bioremediasi PT CPI di sejumlah lokasi di Riau. Ricksy adalah Direktur PT Green Planet Indonesia yang menjadi rekanan Chevron dalam proyek bioremediasi itu. Namun kejaksaan menuding proyek bioremediasi itu hanya akal-akalan saja, sehingga negara dirugikan hingga USD 6 juta lebih. Tapi, sebaliknya, sejumlah ahli hukum pidana dan ahli keuangan negara menilai tidak terjadi kerugian negara dalam perkara ini.(boy/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Sistem Online TKI Putuskan Rantai Perdagangan Manusia

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler