Di pantai utara Jawa Tengah, warga di sejumlah desa-desa sudah beberapa kali terjebak di rumah mereka, sementara beberapa warga lainnya meninggikan rumah mereka supaya bisa selalu kering.

Air merendam sawah dan pohon kelapa dan tanaman cabai mati karena terendam air asin.

BACA JUGA: Dunia Hari Ini: Bawa Masuk Daging Olahan ke Australia Kini Dilarang

Sementara ikan-ikan bisa kabur dari tambak milik petani, berenang di atas jaring dan warga juga menemukan ular di dalam rumah mereka.

Ada warga yang mencoba melarikan diri dari naiknya permukaan air laut, sementara yang lain tak punya pilihan karena tidak memiliki uang untuk pindah.

BACA JUGA: Dunia Hari Ini: Sepuluh Napi Koruptor Indonesia Bebas Bersyarat dalam Sehari

Inilah beberapa cerita dari warga di desa Mondoliko dan Timbulsloko. Zuriah, 50 — Mondoliko

Satu-satunya tanah kering yang dimiliki Zuriah adalah pot bunga berisi tanah di atas panggung kayu di atas air di depan rumahnya.

BACA JUGA: Desa-Desa di Jawa Tengah Tergenang Air Pasang yang Tak Pernah Surut

November tahun lalu, 11 rumah masih ditinggali tetangganya. Tapi Juli bulan lalu, hanya lima yang tersisa, termasuk Zuriah.

Zuriah  mengatakan dia ada dalam daftar untuk menerima bantuan dari pemerintah, tapi sampai sekarang tidak ada yang ia dapatkan selain diminta untuk bersabar.

Tinggal di rumah dengan kondisi tergenang air, Zuriah harus belajar beradaptasi.

Dia telah beberapa kali memindahkan soket listrik di dinding untuk mengurangi risiko sengatan listrik saat air pasang.

Bekas air menunjukkan, air telah pasang 30 cm dari terakhir kali air naik.

Anak perempuannya sekarang tinggal bersama kerabatnya yang tinggal di luar desa sehingga ia lebih mudah untuk pergi ke sekolah.

Dia mengatakan putrinya mengkhawatirkan kondisi hidup Zuriah, tapi sebagai ibu ia mau anaknya mendapatkan pendidikan agar bisa mengejar mimpinya.Dwi Ulfani, 18 tahun — Timbulsloko

Dwi Ulfani mengatakan dia dan keluarganya telah tinggal di rumah keluarga mereka yang terendam banjir sepanjang ingatannya.

Halaman tempat dia bermain bersama teman-temannya kini tergenang air setinggi sekitar 20 cm.

Ikan-ikan cere berenang di teras beton, sementara di dalam rumah seekor ular keluar dari dapur yang banjir.

Ulfani sedang belajar manajemen bandara, sementara ayah dan ibunya berencana untuk pindah, tapi mereka belum punya uang.

Ketika bertanya pada Ulfani apa yang ingin dia lakukan sepulang sekolah, tinggal di desa atau pindah ke tempat lain, dia menangis sambal menjawab lirih: "ingin pindah".Sri Wahyuni, 28, Jaka Sadewa, 26, dan Bima, 3 tahun — Timbulsloko

Teras Sri Wahyuni ??yang sudah ditinggikan dengan lapisan beton terendam air sekitar 10 cm.

Dia dan suaminya Jaka Sadewa pindah ke desa setelah mereka menikah pada tahun 2018.

Ketika mereka pindah, airnya tidak seperti ini, orang-orang masih bisa mengendarai sepeda motor di sepanjang jalan utama, dan ketinggian air selalu kembali normal.

Namun akhirnya air tidak pernah surut.

Mereka memutuskan untuk meninggikan rumah mereka dengan menambah kayu permanen di atas air. Tapi tetap saja air banjir masuk ke rumah mereka.

Jika mereka tidak meninggikannya, mereka akan tenggelam, kata Sri Wahyuni, yang dibesarkan di desa itu.

Dia ingat masa kecilnya bermain di sawah, menyaksikan warga memanen jagung dan melihat ular meluncur di rerumputan.

Dia mengatakan Bima, putranya yang berusia tiga tahun tak akan mengalami apa yang mereka rasakan dan berharap anaknya punya kesempatan untuk tinggal di tempat lain saat dia dewasa.

“Saya khawatir karena setiap tahun airnya semakin tinggi. Tapi kami tidak punya sumber daya. Kalau kami punya sumber daya, kami akan pindah,” kata Sri Wahyuni.Munadiroh, 46 — Mondoliko

Sebuah bak putih terapung yang sebelumnya digunakan untuk menampung barang-barang dari dalam air ditambatkan ke teras kayu Munadiroh, yang sudah ditinggikan.

Buku-buku yang rusak karena air terlihat dijemur hingga kering.

Tanpa tanah tersisa di desa, dua ekor ayam berkeliaran dekat sebuah pohon. Ini adalah satu-satunya suara yang terdengar di seluruh desa.

Mondoliko menjadi sunyi sejak banjir terus-menerus memaksa sebagian besar orang keluar.

Bahkan masjid setempat, tempat suami Munadiroh melayani sebagai ustadz, telah menghentikan azan yang biasanya diserukan lima kali sehari.

Munadiroh dan keluarganya tidak punya pilihan selain tinggal di sana.

Anaknya harus mengarungi air dan naik perahu untuk sampai ke sekolah.Sukarman, 73 — Timbulsloko

Kepiting merayap di perairan di tempat yang dulunya adalah pekarangan rumah Sukarman.

Sukarman sudah tinggal di desa ini hampir sepanjang hidupnya, bekerja sebagai tukang dan tinggal dekat dengan keluarganya.

Dia sudah dua kali meninggikan rumahnya dan tanah di sekitarnya, tapi banjir tetap datang.

Dia mengatakan sudah menyerah dan tidak akan meninggikan tanah rumahnya lagi.

"Kami sudah melakukannya dua kali dan tidak berhasil, jadi apa lagi yang bisa kami lakukan?" kata Sukarman.

Dia mengatakan pemerintah telah membantunya dengan makanan dan memberikan saran di mana penduduk desa bisa pindah.

Tapi pemerintah belum mampu menghentikan banjir.

Menurut Sukarman, warha yang lebih muda, seperti cucunya, Dwi Ulfani, harus pindah jika memungkinkan.

Tapi dia tahu, tanpa uang atau rumah keluarga lainnya, dia kemungkinan akan menghabiskan sisa hidupnya tinggal di rumah yang kebanjiran.

"Apa yang harus saya lakukan?" tanyanya. "Saya sudah tua. Tidak ada yang bisa saya lakukan."

Artikel ini diproduksi oleh Hellena Souisa dari ABC News.

BACA ARTIKEL LAINNYA... Dunia Kemarin: Inggris Punya Perdana Menteri Baru, Indonesia Diguncang Demo

Berita Terkait