Kesalahan Penanganan Korban Gigitan Ular Berbisa

Selasa, 25 Oktober 2016 – 06:59 WIB
Kesalahan Penanganan Korban Gigitan Ular Berbisa. Ilustrasi/Radar Cirebon/JPNN.com

jpnn.com - JPNN.com SURABAYA – Penanganan terhadap korban gigitan ular berbisa yang selama ini dilakukan masyarakat umum ternyata banyak yang salah.

Akibatnya, tidak jarang korban gigitan ular berbisa mengalami luka serius bahkan sampai berujung pada kematian.

BACA JUGA: Kolesterol Tinggi Picu Tuli Saraf

Hal itu terungkap dalam workshop penanganan kasus gigitan ular berbisa di Sekolah Tinggi Teknik Surabaya (STTS), Minggu (24/10). 

Kepala Instalasi Gawat Darurat (IGD) Rumah Sakit (RS) Paru Dungus, Madiun, yang juga sebagai perwakilan Indonesia di WHO bidang gigitan ular (snake bites) Dr dr Tri Maharani MSi SpEM mengungkapkan bahwa Indonesia memiliki jenis ular berbisa cukup banyak dibandingkan dengan negara lain.

BACA JUGA: Ladies! Stop Siksa Miss.V dengan Cara Seperti Ini

Setidaknya, tercatat ada sekitar 76 jenis ular berbisa. 

Tak hanya itu, jenis ular berbisa ini juga terbagi di dua daerah, yaitu Indonesia Barat dan Indonesia Timur.

BACA JUGA: Ketahui 7 Makanan Terbaik untuk Membantu Bakar Lemak

Antara dua daerah tersebut jenis ular berbisanya punya karakter bisa yang sangat berbeda.

Bisa ular yang berada di Indonesia timur lebih berbisa dibandingkan ular dari daerah Indonesia bagian barat.

“Serum anti bisa ular di Indonesia barat tidak bisa digunakan untuk serum anti bisa ular di Indonesia Timur. Ini karena ada perbedaan bisa ular dari dua daerah tersebut,” kata Tri Maharani di hadapan puluhan mahasiswa yang mengikuti workshop tersebut.

Dia juga menyebutkan beberapa ciri ular berbisa dan yang tidak berbisa.

Biasanya ular berbisa punya taring panjang, baik yang bisa dilipat maupun tidak bisa dilipat. 

Sehingga dari segi bekas luka gigitan juga berbeda. Jika ular berbisa, gigitannya menusuk ke dalam. Sedangkan ular tidak berbisa, gigitannya seperti merobek kulit.

“Selama ini, jika ada orang digigit ular, biasanya langsung diikat kuat-kuat, disedot darahnya, atau yang lainnya, ternyata itu semua salah,” katanya.

Lebih lanjut, dia menjelaskan bahwa sebenarnya bisa akibat gigitan ular tidak langsung menyerang pada darah, namun terlebih dulu menyerang kelenjar limfe yang ada di bawah kulit yang disebut sebagai fase lokal. 

Namun jika sudah mencapai fase sistemik atau yang sudah menjalar pada jaringan tubuh lain, maka dibutuhkan penanganan medis lebih lanjut. 

Ketika gigitan ular berbisa masih pada fase lokal, yang perlu dilakukan adalah mencegah peredaran toksin (racun) ular itu ke jaringan lain. 

Langkah yang dilakukan cukup sederhana. Yang pertama menggunakan elastic banded yang dibalutkan ke seluruh bagian yang digigit ular. 

“Namun jangan terlalu kencang dan jangan terlalu longgar. Tanda balutan yang pas itu ketika satu jari masih bisa masuk ke dalam balutan,” katanya. 

Setelah itu dibutuhkan alat penopang sehingga bagian tubuh yang digigit ular berbisa tersebut tidak mudah bergerak dan kembali dibalut dengan elastic banded. 

Langkah ini cukup efektif untuk menahan peredaran toksin ular berbisa. 

“Dari pengalaman saya, cara ini bisa membuat orang yang digigit ular bisa bertahan hingga satu minggu. Dengan demikian, orang tersebut bisa mendapatan pertolongan lebih lanjut,” tandasnya. 

Selain itu, Tri Maharani juga menjelaskan, jika ada luka seperti luka terbakar dan ada gelembung kulit berisi cairan akibat gigitan ular berbisa jangan diletuskan.

“Biasanya orang tertarik untuk meletuskannya menggunakan jarum atau alat yang lain. Ini salah dan jangan dilakukan. Biarkan gelembung itu hilang dengan sendirinya,” tandasnya.

Sementara itu, dosen pembimbing Tigor Tambunan yang juga Kaprodi Teknik Industri STTS mengatakan bahwa workshop tersebut merupakan bagian dari materi kecelakaan kerja atau kasus industrial.

Gigitan ular sering dialami para pekerja saat menjalankan tugas mereka. 

Sayangnya, sampai saat ini pemerintah belum memandang serius kasus kecelakaan kerja berupa gigitan ular. 

“Kami mengharapkan setelah mengikuti kegiatan ini, mahasiswa memiliki tambahan pengetahuan dan keahlian praktis, khususnya terkait keselamatan dan kesehatan kerja (K3) yang menjadi salah satu mata kuliah di program studi S1 teknik industri,” katanya. (han/jay/JPG) 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Desain Kota Bisa Memengaruhi Kesehatan Anda


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler