Kesampingkan Pelinting Rokok, Sampoerna Dianggap Melanggar

Jumat, 23 November 2012 – 19:28 WIB
JAKARTA -  Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Said Iqbal mengatakan perusahaan rokok selama ini tidak memperhatikan dengan baik hubungan kerja perusahaan dengan pekerjanya. Menurutnya, perusahaan rokok nasional maupun multinasional bahkan menyerahkan produksinya kepada pihak ketiga untuk meningkatkan produksi dengan biaya relatif murah.

"Penyerahan pekerjaan kepada pihak ketiga dalam industri rokok merupakan pelanggaran. Karena, pekerjaan yang diserahkan tersebut seperti melinting rokok merupakan pekerjaan utama dan status pekerjanya harus tetap," ungkap Said dalam rilisnya yang diterima JPNN, Jumat (23/11).

KSPSI mengungkapkan sebanyak 37,2 persen perusahaan asing yang melirik potensi-potensi industri ini dan mengambil alih lewat jalan pintas dengan melakukan akuisisi. Itu dimulai pada tahun 2005 lalu ketika Sampoerna selaku perusahaan terbesar kedua setelah Gudang Garam diakuisisi oleh Philip Morris.

Said mengatakan untuk menguasai pasar maka perusahaan-perusahaan ini mempihakketigakan beberapa pekarjaan. Kata dia, selain inovasi produk dan promosi, guna memperluas pasar dan meningkatkan produksi dengan metode berbiaya lebih murah maka Sampoerna aviliasi Philip Morris Indonesia juga menyerahkan produksi rokoknya kepada pihak ketiga.

Sementara itu, Koordinator Peneliti Partisipasi Indonesia  Arie Aryanto mengatakan ada sekitar 1.600 buruh yang didominasi perempuan dengan sistem kerjasama produksi Sampoerna yang disebut Mitra Produksi Sigaret (MPS). Namun dari total 38 MPS yang tersebar di Pulau Jawa dengan tercatat  60.000 orang karyawan.

"Sementara  berdasarkan laporan tahunan 2011,  jumlah ‘karyawan tetap’ Sampoerna yang mengoperasikan delapan pabrik rokok (6 pabrik sigaret kretek tangan/SKT dan 2 pabrik sigaret kretek mesin/SKM) dan mendistribusikan melalui 65 kantor penjualan di seluruh Indonesia hanya sekitar 28.300 orang," katanya.

Dengan menerapkan MPS ini kata dia, maka kapasitas produksi Sampoerna bisa ditingkatkan signifikan tanpa investasi baru untuk perluasan lahan dan membangun pabrik, gudang dan perlengkapan kantor, termasuk masalah perburuhan (upah, tunjangan dan hak ketenagakerjaan lainnya) karena menjadi urusan MPS.

"Penerapan MPS oleh Sampoerna merupakan praktek outsourcing  buruh dengan men-sub-kontrak-an kegiatan produksi utama/inti (core bisnis), yaitu pelintingan rokok. Masifnya model sub-kontrak ini mempunyai hubungan dan konsekuensi (baik langsung maupun tidak langsung) dengan model sistem ketenagakerjaan lentur (labour market flexibility) yang saat ini berlaku, termasuk berbagai dugaan pelanggaran," katanya.

Dugaan pelanggaran Sampoerna yang dimaksud Arie adalah Pasal 66 UU No 13 tahun 2003 tentang Ketenagkerjaan. "Tentunya semua mahfum bahwa dalam industri rokok, aktivitas melinting merupakan core business yang menurut undang-undang tidak bisa dilimpahkan oleh pihak lain selain hubungan antara pemberi kerja dan pekerja, dalam sebuah hubungan kerja," ucapnya.

Aturan mengenai larangan outsoucing ini kata dia sudah diperkuat dengan penandatanganan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Permenakertrans) mengenai pelaksanaan jenis pekerjaan alih daya (outsourcing) oleh Muhaimin Iskandar, Kamis 15 November yang lalu. Menurutnya,  bila Permenaker itu berlaku maka hanya membolehkan outsourcing dilakukan dalam 5 bidang, yaitu jasa pembersihan (cleaning service), keamanan, transportasi, catering dan jasa penunjang migas pertambangan. (awa/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Upah Terlalu Naik, Target Bisnis Terganggu

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler