jpnn.com, JAKARTA - Psikolog Inez Kristanti memaparkan hasil survei terkait kesehatan mental di Indonesia selama pandemi COVID-19.
Dia terlebih dahulu memaparkan sebuah studi yang dirilis Iskandarsyah pada 29 April 2020 lalu.
BACA JUGA: Ketersediaan Vaksin Jauh Melampaui Target Vaksinasi, Sudah Sebegini
Disebut, 72 persen partisipan mengalami kecemasan dan 23 persen lainnya merasa tidak bahagia.
Dia kemudian menyebut beberapa gejala kecemasan yang dimaksud.
BACA JUGA: Jumlah Penerima Vaksin COVID-19 Ternyata Sudah Banyak Banget, Sebegini
Antara lain, kekhawatiran bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi, khawatir yang berlebihan, mudah marah dan kesal, serta sulit merasa rileks.
"Sementara itu, gejala depresi yang dilaporkan antara lain masalah tidur, kurangnya kepercayaan diri, kelelahan dan kehilangan minat," ujar Inez dalam keterangannya, Senin (4/10).
BACA JUGA: Hasil Survei, Masih Ada yang Percaya Presiden Jokowi PKI
Inez juga mengatakan bukan hanya pembatasan sosial yang menyebabkan masalah kesehatan mental.
Para penyintas COVID-19 pun merasakan gangguan mental, khususnya mereka yang mengalami long COVID.
Dokter spesialis penyakit dalam dr. Jeffri Aloys Gunawan dari GDTI mengatakan COVID-19 adalah penyakit yang memiliki efek jangka panjang.
Terdapat literatur yang menyebutkan bahwa setahun setelah terpapar COVID-19, hampir 50 persennya masih merasakan setidaknya satu gejala.
Gejala yang dialami penyintas COVID-19 setelah 12 bulan atau lebih bervariasi mulai dari sesak napas, cemas, depresi, lelah, dan capai.
Misalnya, olahraga dengan intensitas rendah yang dilakukan hanya sebentar membuat merasa lelah.
Sedangkan 70 persen dari mereka yang 6 bulan telah sembuh dari COVID-19 disebut masih merasakan beberapa gejala.
"Long COVID-19 adalah apabila setelah empat pekan sejak mulai merasakan gejala COVID-19 sampai dinyatakan negatif, masih timbul gejala sisa."
"Gejala ini dapat berupa sesak napas, nyeri sendi, nyeri otot, batuk, diare, kehilangan penciuman, dan pengecapan," ujar dr. Jeffri.
Lebih lanjut dr. Jeffri menjelaskan virus corona juga dapat menyebabkan aspek kognitif yang terdiri dari penalaran dan analisis mengalami penurunan.
Hal ini akan sangat berdampak pada produktivitas seseorang.
"Kognitif yang terganggu akan memengaruhi kualitas sumber daya manusia suatu bangsa, yang ujung-ujungnya berpengaruh pada outcome atau produk domestik bruto (PDB) suatu negara."
"Performa negara ini terhadap negara-negara lain akan makin tertinggal," kata dr. Jeffri.
Sebuah studi yang dipublikasikan di The Lancet pada April 2021, menemukan bahwa sepertiga pasien COVID-19 telah didiagnosis dengan gejala neurologis atau psikologis, termasuk kecemasan, depresi, gangguan stres pascatrauma (PTSD), dan psikosis, dalam 6 bulan setelah mereka tertular COVID-19.
"Paling banyak yang datang ke kami adalah yang mengalami gangguan psikosomatis dan kecemasan," kata dr. Jeff.
Sementara itu, Ratih Ibrahim, M.M., Psikolog Klinis, CEO & Founder Personal Growth dan Sahabat Sentra Vaksinasi Serviam yang juga penyintas COVID mengakui bahwa ketakutan, kengerian, paranoid, kecemasan (PTSD) tetap ada sekalipun sudah dinyatakan sembuh.
"Kesehatan mental perlu diperhatikan apabila seseorang mengalami Long COVID-19, apalagi karena mereka akan merasakan frustrasi karena gejala penyakit masih dirasakan walaupun mereka sudah dinyatakan sembuh."
"Dalam perjalanan untuk sembuh dari Long COVID-19, para pasien harus mengerti bahwa ini merupakan sebuah proses," ujar Ratih.
Ratih pun memberikan beberapa tips untuk membuat kesehatan mental kembali pulih, khususnya bagi para penyintas COVID-19. Hal pertama yang harus dilakukan adalah latihan pernapasan secara teratur.
Terapkan juga olahraga atau latihan fisik yang baik, makan makanan yang bergizi seimbang, mengadopsi kebiasaan gaya hidup yang baik atau sehat serta menerapkan kebiasaan tidur teratur seperti tidur 7-8 jam dan tidak begadang.
Selain itu, ada berbagai teknik relaksasi untuk membantu mengatasi stres, yaitu Shaking Therapy, Ikigai, Butterfly Hug, dan Guided Imagery."
"Apabila kecemasan mulai menguasai, cobalah terapkan salah satu teknik relaksasi ini sebagai pertolongan pertama."
Seseorang dengan tingkat stres yang tinggi dapat mengalami burnout. Menurut World Health Organization (WHO), fenomena burnout merupakan sindrom akibat stres kronis yang belum berhasil dikelola oleh setiap individu.
Burnout mengurangi produktivitas dan menguras energi sehingga membuat seseorang merasa tidak berdaya, putus asa, lemah, dan cepat marah.
Jika seseorang mengalami ini dalam waktu yang lama akan berdampak pada kehidupan sosial terutama pekerjaan, rentan terkena penyakit saluran napas atas.
Oleh karena itu, sangat perlu untuk segera berkonsultasi kepada para ahli jika sudah merasa membutuhkan bantuan.
Konsultasi akan membantu menemukan akar penyebab stres dan mendapatkan terapi yang tepat.(Antara/jpnn)
Yuk, Simak Juga Video ini!
Redaktur & Reporter : Ken Girsang