jpnn.com, DHAKA - Mahkamah Pidana Internasional (ICC) mengatakan kurangnya akses ke Myanmar menghambat penyelidikan dugaan kejahatan genosida terhadap etnis Rohingya.
"Saya memiliki akses ke Ukraina tetapi tidak untuk Myanmar. Dan itu menyebabkan perbedaan besar dalam kemampuan untuk mendokumentasikan dan mengumpulkan bukti tentang apa yang terjadi," kata Jaksa Penuntut ICC Karim Khan kepada wartawan di Dhaka, Bangladesh, pada Jumat (7/7).
BACA JUGA: Kemlu Selamatkan 9 WNI Korban Perdagangan Orang di Myanmar
Delegasi beranggotakan 10 orang yang dipimpin oleh Khan bertemu perempuan dan lelaki Rohingya, termasuk di antaranya penyintas genosida, untuk mengumpulkan informasi tentang situasi di Myanmar.
Pada 2019, ICC menyetujui penyelidikan penuh atas dugaan kejahatan genosida terhadap warga Rohingya yang dilakukan di Myanmar.
BACA JUGA: Junta Myanmar Makin Kejam, PBB: Ini Kejahatan Perang!
“Ada kesenjangan antara janji dan pelaksanaan keadilan internasional,” kata Khan yang berjanji akan mempercepat penyelidikan.
Dengan menegaskan komitmennya terhadap warga Rohingya, Khan berjanji untuk kembali berkunjung tahun depan untuk mendapat kabar dari para pengungsi Rohingya.
BACA JUGA: Mesra dengan Junta Myanmar, Thailand Pengkhianat ASEAN?
Khan menyesalkan bahwa warga Rohingya yang dianiaya telah menghabiskan enam tahun terakhir di sejumlah kamp pengungsi, tetapi tidak ada tindakan yang diambil terhadap militer Myanmar yang bertanggung jawab atas kejahatan tersebut.
Sedikitnya lima lelaki Rohingya tewas dalam baku tembak mematikan di Cox's Bazar pada Jumat, sementara seorang lainnya tewas saat memberikan kesaksian kepada ICC di Cox's Bazar pada Kamis (6/7), jelas polisi.
Pembunuhan itu bertepatan dengan kunjungan Khan ke kamp pengungsi di Cox's Bazar.
Namun, Khan membantah pembunuhan itu terkait dengan penyelidikan ICC.
Dia mendesak masyarakat dunia untuk meningkatkan pendanaan bagi komunitas yang teraniaya, dengan menegaskan kesejahteraan mereka bukan hanya tanggung jawab pemerintah Bangladesh.
Hampir 1,2 juta pengungsi Rohingya tinggal di Bangladesh. Sebagian besar dari mereka adalah pelarian atas kekerasan brutal yang dilakukan militer di Negara Bagian Rakhine pada Agustus 2017.
Sementara mayoritas masih berada di beberapa kamp yang penuh sesak di Distrik Cox's Bazar selatan, sekitar 30.000 orang telah dipindahkan ke Pulau Bhasan Char sejak akhir 2020. (ant/dil/jpnn)
Redaktur & Reporter : M. Adil Syarif