jpnn.com, JAKARTA - Beberapa kali pemerintah Thailand bertindak di luar kesepakatan ASEAN menyangkut solusi krisis Myanmar, dengan mengundang junta Myanmar tanpa melibatkan pemangku kepentingan lain, khususnya oposisi pemenang pemilu 2020 yang digulingkan junta yang membentuk Pemerintahan Persatuan Nasional (NUG).
Adalah PBS Thai yang kali pertama menyebut langkah Thailand ini sabotase terhadap upaya bersama ASEAN dalam mencari solusi damai di Myanmar.
BACA JUGA: ABK Asal Myanmar Terjatuh dan Tenggelam di Perairan Tanjung Solok, Basarnas Jambi Bergerak
Namun, pemerintahan Thailand saat ini, berintikan militer yang acap mengudeta pemerintahan terpilih dalam mekanisme demokratis, memang berhubungan dekat sekali dengan militer Myanmar yang biasa disebut Tatmadaw.
Pada 19-21 Januari tahun ini, Thailand menempuh langkah yang membuat ASEAN kesal ketika Menteri Pertahanan Chalermphon Srisawasdi bertemu dengan pemimpin junta Myanmar Min Aung Hlaing.
BACA JUGA: Indonesia Ketua ASEAN, PBB Lontarkan Kritik Pedas Terkait Myanmar
Pertemuan itu diadakan di Rakhine yang beberapa tahun lalu membuat dunia gempar setelah hampir 700 ribu warga Rohingya dipaksa meninggalkan negara bagian itu, sementara ribuan lainnya mati dieksekusi aparat keamanan Myanmar dan sekutu-sekutunya.
Kedua pejabat militer Thailand-Myanmar itu bertemu dalam selubung komisi tingkat tinggi yang sudah menjadi mekanisme baku dalam hubungan militer kedua negara.
BACA JUGA: PBB Desak ASEAN Meminta Pertanggungjawaban Junta Myanmar
Namun, pertemuan itu membuat tak saja menampar ASEAN tetapi juga menyebabkan berbagai kalangan di Thailand curiga karena digelar tak lama setelah aset anak-anak dan kroni Min Aung Hlaing disita penegak hukum Thailand usai terlibat penyelundupan narkotika.
Menurut PBS Thai, polisi Thailand menemukan sebuah kondominium mewah dan buku tabungan milik Pyae Sone dan Khin Thiri Thet Mon, putra-putri Min Aung Hlaing si pemimpin junta Myanmar, saat menggeledah rumah Tun Min Latt pada 11 Januari.
Tun Min Latt yang menjadi makelar senjata untuk Tatmadaw ditangkap pada September tahun lalu. Dia disebut-sebut bermitra dengan seorang pengusaha Thailand yang akrab dengan seorang senator Thailand.
Kasus itu menyingkapkan hubungan yang lebih dari sekadar konsultasi militer, namun juga mengungkapkan pertalian kepentingan politik dan ekonomi yang kuat antarpejabat militer kedua negara.
Fakta bahwa seluruh dari 150 senator Thailand berafiliasi kepada militer Thailand, kian memperkuat dugaan adanya temali kepentingan antara militer kedua negara.
Legislatif Thailand terbagi ke dalam Majelis Rendah atau DPR yang beranggotakan 500 wakil rakyat dan Mejelis Tinggi atau Senat yang beranggotakan 150 senator yang hampir semuanya memiliki koneksi kuat dengan militer Thailand.
Jalan sendiri
Pertemuan di Rakhine itu sendiri membuat kecewa ASEAN yang waktu itu diketuai Kamboja. Thailand terlihat jalan sendiri, kendati mengetahui pasti Konsensus Lima Poin untuk solusi di Myanmar adalah kesepakatan yang mengikat seluruh ASEAN, termasuk Tatmadaw.
Manuver pemerintah Thailand itu diulang pada Maret tahun ini dan 19 Juni pekan ini.
Senin 17 Juni itu Thailand mengundang junta Myanmar hadir dalam prakarsa damai usulan mereka , tanpa melibatkan pihak lain di Myanmar seperti diamanatkan Konsensus Lima Poin.
Pertemuan ini jalan terus kendati sebagian besar anggota ASEAN, termasuk Indonesia, keberatan dan mengkritiknya.
Prakarsa ini semakin ironis karena diambil ketika ASEAN bukan sedang diketuai Thailand, melainkan Indonesia.
Pemerintah Thailand beralasan ini demi kepentingan dan keamanan nasionalnya, tetapi dengan mengundang para menteri luar negeri ASEAN, mereka tak bisa menolak pandangan bahwa pertemuan itu adalah pertemuan ASEAN.
Dalam perspektif ini, manuver Thailand ini sudah offside, alias kebablasan, apalagi jika sampai tidak terlebih dahulu menginformasikan prakarsa ini kepada Indonesia sebagai Ketua ASEAN.
Lain dari itu, persoalan Myanmar sudah bukan lagi semata masalah domestik dan apalagi masalah bilateral, seperti misalnya masalah perbatasan Malaysia-Indonesia dan sejenisnya.
Myanmar sudah menjadi persoalan ASEAN, apalagi semua anggota ASEAN tanpa kecuali termasuk junta Myanmar dan pemerintahan Thailand, sudah sepakat melangkah bersama lewat Konsensus Lima Poin.
Pemerintah Thailand saat ini memang terlihat dekat dengan junta Myanmar. Apalagi, bagi Negeri Gajah Putih itu, Myanmar adalah sumber perdagangan lintas batas, pekerja migran, dan gas alam.
Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa prakarsa itu terburu-buru dilakukan dan keluar dari koridor keketuaan ASEAN.
Sejumlah kalangan menduga pemerintahan Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha ini sedang berjaga-jaga menghadapi pembalikan besar dalam kebijakan luar negeri Thailand menjelang hadirnya pemerintahan baru Agustus mendatang setelah kelompok oposisi memenangkan pemilu Mei 2023.
Tak bisa sendirian
Prayuth Chan-ocha berusaha memberikan legitimasi kepada junta Myanmar yang akhirnya bakal mempersulit langkah pemerintah sipil Thailand mendatang dalam kaitannya dengan Myanmar sehingga tak bisa berbuat banyak, apalagi membuat terobosan dalam konflik Myanmar.
Ini karena September tahun ini keketuaan ASEAN akan diambil alih Laos yang juga akomodatif kepada junta Myanmar dan menghadiri pembicaraan di Pattaya pada Senin 19 Juni seperti digagas Thailand itu.
Namun, sehari setelah pertemuan Pattaya itu, calon Perdana Menteri Thailand dan pemimpin Partai Move Forward Pita Limjaroenrat menegaskan kembali dukungan kepada solusi damai ASEAN untuk Myanmar.
Kalaupun pertimbangan politik domestik yang lebih melukiskan pertarungan antarfaksi politik di dalam negeri Thailand ketimbang mencerminkan kepentingan nasional sejati negara itu, maka manuver-manuver Thailand dalam mengundang junta tetap tak elok.
Pemerintahan Prayuth Chan-ocha berkilah Thailand terpaksa menempuh langkah ini karena dampak langsung yang dihadapinya dari krisis Myanmar jauh lebih nyata dan lebih besar ketimbang yang dirasakan negara-negara ASEAN lainnya, mengingat Thailand memiliki perbatasan yang sangat panjang dengan Myanmar.
Ironisnya, alasan ini dimentahkan oleh hasil pemilu Thailand bulan lalu dengan mayoritas rakyat Thailand justru menolak tafsir kekuasaan pemerintahan Prayuth Chan-ocha, termasuk dalam kaitannya dengan solusi di Myanmar.
Kebanyakan rakyat Thailand justru memilih partai-partai oposisi, khususnya Partai Move Forward pimpinan Pita Limjaroenrat yang di antara janjinya membawa Thailand kembali bergerak dalam kendaraan besar ASEAN, bukan semata demi pertimbangan Thailand atau apalagi negara-negara tertentu yang memengaruhi orientasi sikap Thailand, termasuk China.
China sendiri berkepentingan dengan status quo di Myanmar karena memiliki kepentingan strategis dan ekonomis yang besar sekali, termasuk menjadikan Myanmar sebagai jalur singkat perdagangan ketimbang harus menggunakan Laut China Selatan dan Selat Malaka.
Bukan hanya China, karena India yang juga memiliki perbatasan panjang dengan Myanmar, pun berkepentingan dengan status quo di Myanmar.
India dan China memiliki kapabilitas untuk bergerak sendirian yang pada tingkat tertentu bisa menciptakan hubungan tidak setara dengan negara-negara lain ketika interdependensi berubah menjadi dependensi kepada negara berpostur raksasa seperti India dan China.
Sebaliknya, negara-negara yang tak bisa bergerak sendirian seperti Indonesia dan Thailand, memerlukan mekanisme bersama. Inilah yang harus disadari Thailand.
Untuk itu, penting bagi Thailand untuk kembali kepada mekanisme ASEAN yang selama diketuai Indonesia, sejauh ini lantang mendengungkan persatuan ASEAN. (ant/dil/jpnn)
Redaktur & Reporter : M. Adil Syarif