Keterbukaan Sebagai Penguat Kredibilitas Polri

Oleh: DR. I Wayan Sudirta, SH, MH - Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan

Sabtu, 28 September 2024 – 18:56 WIB
Anggota Komisi III DPR RI Fraksi PDI Perjuangan Dr. I Wayan Sudirta. Foto: Dokumentasi pribadi

jpnn.com - Pada 26 September 2024 lalu, Komisi III DPR menerima pengaduan dari keluarga almarhum Bayu Adhityawan dan kuasa hukumnya terkait meninggalnya almarhum yang merupakan tahanan di Kepolisian Resor Palu Kota.

Dalam pengaduannya, almarhum pada 2 September 2024 telah menerima panggilan dari Polresta Palu karena diduga melakukan tindakan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) oleh istrinya.

BACA JUGA: Buku Komisi III DPR RI: Pertanggungjawaban Publik dan Visi Komisi Hukum DPR ke Depan

Namun, pada 13 September 2024, tiba-tiba keluarga mendapat informasi bahwa Bayu masuk ke dalam Rumah Sakit dan tiba-tiba Bayu kemudian meninggal dunia.

Pengaduan ini melaporkan pihak Polresta Palu yang dinilai telah salah dalam melakukan prosedur penanganan perkara hingga penahanannnya.

BACA JUGA: Wayan Sudirta DPR Tanggapi Pengungkapan Oknum di Lembaga Legislatif Terlibat Judi Online

Selain tidak didampingi penasihat hukum, penangguhan penahanan yang diajukan pihak keluarga juga tidak dikabulkan oleh Pihak Penyidik.

Pada saat itu, tahanan hanya mengeluhkan asam lambung. Pihak keluarga merasa janggal karena pada saat besuk, melihat Bayu dalam keadaan pincang dan seperti menderita sakit.

Pihak keluarga sedianya ingin kembali mengajukan penangguhan, namun keesokan harinya, mereka telah mendengar kabar bahwa Bayu telah meninggal dunia.

Kuasa hukumnya melihat celah kesalahan prosedural, diduga terjadi beberapa kesalahan, yakni ketiadaan pemberitahuan, permintaan pernyataan penolakan autopsi tidak sesuai keadaan, dan kondisi jenazah yang penuh dengan luka.

Komisi III DPR RI kemudian secara seimbang mengundang pihak Polda Sulawesi Tengah dan Polresta Palu untuk didengar keterangannya.

Komisi III DPR menanyakan pada pihak kepolisian, terutama dari pihak Rumah Sakit terkait dengan keterangan tentang meninggalnya Bayu.

Keterbukaan pihak Polda dan Polres patut diapresiasi. Namun, peristiwa meninggalnya tahanan bukan perkara mudah.

Hal ini karena walaupun menyandang status tahanan, Bayu seharusnya juga mendapat hak perlindungan.

Dalam kesempatan tersebut, Komisi III DPR meminta penyelidikan lanjut dan pengawasan terhadap keterlibatan anggota Polri sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Fenomena meninggalnya Bayu memang patut disayangkan. Peristiwa ini memang bukan yang pertama terjadi dalam dunia hukum di Indonesia, namun karena terjadi dalam stauts tahanan.

Hal ini kemudian memunculkan pro dan kontra. Hal ini dapat menurunkan citra Polri ditengah upaya Polri untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat. Stigma tentang kekerasan Polri kembali muncul.

Beberapa lembaga swadaya masyarakat seperti Kontras (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) dan beberapa institusi lainnya memberikan kajian terkait dengan adanya kekerasan oleh anggota Polri. Selama tahun 2023 misalnya, Kontras menemukan 622 kasus kekerasan yang melibatkan anggota Polri, menimbulkan 187 orang meninggal dan 1363 orang terluka.

Sedangkan pada periode Juli 2023-Juni 2024 tercatat 645 kasus dan menyebabkan 759 korban luka dan 58 orang meninggal.

Amnesty Internasional memberikan data pada periode 2019-2024, yang mana anggota Polri terlibat dalam kasus penyiksaan terhadap sipil yakni 100 kasus, dengan 151 korban.

Data ini disajikan untuk memberi gambaran tentang pengharapan masyarakat akan Polri yang demokratis, profesional, dan humanis sebagaimana menjadi salah satu tagline Polri.

Komisi III DPR juga pernah menerima pengaduan terkait dengan kasus meninggalnya seorang tahanan anak (Afif Maulana) di Polsek Kuranji, Padang, Sumatera Barat yang kira-kira terjadi pada Juni 2024.

Keluarga almarhum korban meminta pada Komisi III DPR dan Polri untuk melakukan ekshumasi karena kasusnya ditutup secara janggal.

Melalui pengamatan terhadap jenazah korban, diduga almarhum telah mendapat kekerasan sebelum meninggalnya. Alhasil Komisi 3 dan Polri sepakat untuk melakukan ekshumasi demi membuat terang kejanggalan tersebut.

Sedangkan di Jambi juga terjadi dugaan meninggalnya tahanan karena penganiayaan oleh Polisi. Kasus ini membuat 2 orang polisi menjadi tersangka. Sedangkan di wilayah Sulawesi Barat, di bulan yang sama, terjadi juga penganiayaan terhadap seorang tahanan hingga meninggal oleh anggota Polres Polewali Mandar.

Akibat kasus ini, 7 orang Polisi menjadi tersangka. Pada Mei 2023, pemberitaan juga menyampaikan dugaan kasus penganiayaan terhadap seorang tahanan di Polresta Banyumas yang diduga melibatkan 4 orang anggota Polisi.

Data ini melengkapi juga catatan Komnas HAM pada 2020-2021 dimana terdapat 11 kasus kematian seorang tahanan di Kepolisian.

Berdasarkan data-data tersebut di atas tentu masyarakat akan menilai adanya sebuah kelalaian. Akan tetapi secara seimbang, keterbukaan Polri patut juga diberi apresiasi. Dalam kasus di Palu maupun di wilayah lain, Polri telah berupaya besar dalam membuka diri untuk diselidiki dan dievaluasi.

Alhasil, beberapa oknum kemudian ditindaklanjut bahkan hingga proses hukum. Kemajuan ini mungkin dapat menjadi titik cerah bagi Polri untuk kembali mereformasi diri dan memberi transparansi dalam pertanggungjawaban publik.

Dengan membuka diri, sebenarnya Polri telah berusaha untuk merespon kebutuhan dan pengaduan masyarakat dan memberi jawaban sesuai ketentuan.

Hal tentang kesalahan di lapangan memang bisa saja terjadi, namun bagaimana Polri merespons akan menjadi kunci utama bagi Polri untuk meningkatkan citra dan optimalisasi perannya di masyarakat.

Polri telah melalui berbagai masa kepemimpinan dan dinamika sosial budaya masyarakat yang kini telah berubah menjadi masyarakat modern.

Masyarakat Indonesia, sebagaimana bagian dari masyarakat global, kini mendapatkan kemudahan dalam akses informasi. Masyarakat kini tidak hanya melihat langsung sebuah peristiwa, namun juga menonton dan mengawasi dari berbagai media, termasuk media sosial yang hanya sejauh genggaman tangannya.

Maka hal-hal yang terjadi dalam masyarakat bisa saja kemudian meluas, atau bahasa sekarang adalah viral dengan cepatnya dan terkadang tidak terkendali.

Opini beredar luas dan beragam menuju pada pemberitaan atau konten yang dilihatnya. Kebebasan berekspresi saat ini lebih terjamin daripada kehidupan masyarakat di masa lalu.

Dengan segala keterbukaan dan kebebasan tersebut, nyatanya tetap menghadirkan tantangan dan kendala bagi Polri.

Polri memang menjadi salah satu institusi yang mendapatkan perhatian yang paling besar di masyarakat karena Polri mendapatkan sokongan anggaran yang besar untuk menghadirkan Polri di berbagai sektor kehidupan berbangsa dan bernegara.

Polri berupaya untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat dan mencapai tingginya kepuasan masyarakat.

Namun impian tersebut memang tidak mudah diraih. Berbagai kendala dihadapi oleh Polri terutama dalam melakukan reformasi internal.

Polri masih dihadapkan dengan stigma-stigma negatif, seperti penyalahgunaan kewenangan, arogansi, kekerasan (represif), pungli, dan berbagai stigma lainnya. Stigma ini tidak dapat dipungkiri, ketika terdapat oknum Polri yang kemudian melakukan kesalahan dan merusak citra Polri itu sendiri.

Hal yang memang tidak dapat dihindari ketika zaman sekarang, semua hal seperti kaca yang tembus pandang dan mudah untuk dilihat. Di saat terdapat prestasi, semua mata melihat, namun ketika sebuah kesalahan terjadi, tentu semua mata juga mengawasi.

Optimalisasi Peran dan Transparansi sebagai Kunci

Sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri), Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) merupakan alat negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

Oleh sebab itu, salah satu tugas utama Polri adalah hal untuk menciptakan keamanan dan ketertiban sekaligus memberikan perlindungan. Dalam beleid tersebut, paradigma tentang Polri diubah menjadi sebuah institusi yang dipisahkan dari Tentara Nasional Indonesia (TNI), dimana Polri menjadi sebuah institusi sipil dalam rangka pemeliharaan keamanan dan ketertiban.

Paradigma baru ini kemudian dijabarkan juga dalam berbagai ketentuan, termasuk Grand Strategy Polri (2005-2025), yang berupaya menciptakan Polri yang mandiri, profesional, kredibel, dan humanis.

Reformasi kultur merupakan agenda yang tampaknya masih akan menemui jalan panjang dan berliku. Tidak mudah tentunya mengubah sebuah kultur dan stigma yang telah lama ada.

Namun, kita tentu tetap optimis dan berharap kepada Polri yang sebenarnya semakin hari semakin terbuka dan membaik.

Angka kepercayaan masyarakat masih tinggi kepada Polri, dan tentunya harus dijawab dengan kinerja yang kredibel dan dapat dipertanggungjawabkan.

Sesuai aturannya, tindakan represif masih merupakan opsi dalam hal pengamanan atau upaya pemeliharaan keamanan dan ketertiban.

Hal penggunaan diskresi tersebut sebenarnya merupakan hal yang wajar asalkan dilakukan sesuai aturan atau sebagai jalan terakhir (last resort) atau dipandang perlu.

Diskresi perlu dipertanggungjawabkan dan dilaksanakan sesuai prinsip good governance dan tentunya Kebijaksanaan sesuai asas-asas dalam Pancasila dan UUD NRI 1945.

Selain itu, perlu ada sebuah kesadaran penuh bahwa ketika dilakukan sebuah penahanan atau upaya paksa sesuai dengan KUHAP, maka hal tentang jaminan perlindungan merupakan tanggung jawab negara, dalam hal ini penyidik Polri. Bilamana terjadi sebuah tindak pidana atau kekerasan di dalam maka menjadi tanggung jawab penyidik.

Hak-hak tersangka temasuk dalam jaminan keselamatan dan kesehatan dilindungi oleh peraturan perundang-undangan. Hal ini sesuai juga dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia) dan penerapan asas-asas hukum yakni Non-Diskriminasi atu Equality before the law.  

Apapun konteksnya, jaminan pelindungan keamanan dan ketertiban memang telah menjadi tanggung jawab Polri atau negara sesuai dengan ketentuan.

Kita semua tentu berharap bahwa Polri yang merupakan anak yang lahir dari reformasi dapat terus meningkatkan kinerjanya, tidak saja terkait dengan kualitas namun juga kapasitas, integritas, profesionalitas, dan akuntabilitas.

Masyarakat menantikan keterbukaan Polri dan akuntabilitasnya serta kemampuan Polri untuk menjadi pelindung dan pengayom masyarakat yang bersih dan berwibawa.(***)

Simak! Video Pilihan Redaksi:


Redaktur & Reporter : Friederich Batari

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler