Ketika Jokowi (Dahulu) Memilih Ma’ruf Amin

Oleh: Sonny Majid

Kamis, 07 November 2019 – 03:19 WIB
Presiden Jokowi memperkenalkan Kabinet Indonesia Maju. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com - Saya masih ingat betul waktu itu, menjelang pendaftaran Capres-Cawapres di Komisi Pemilihan Umum (KPU). Semua orang menunggu siapa pasangan Joko Widodo (Jokowi).

Banyak yang mengira, Mahfud MD-lah yang dipilih. Ternyata meleset, di penghujung Jokowi justru mengambil KH Ma’ruf Amin (KMA) yang secara kuantitatif hitungan lembaga survei berada di posisi bontot, kalah jauh dari Mahfud MD. Di situlah saya yakin, dalam politik bukan hanya kuantitatif, tetapi juga kualitatif. Apa pandangan kualitatifnya?

BACA JUGA: Presiden Jokowi Kesal Masih Ada Lelang Proyek di November

Bahwa ternyata ancaman terbesar saat itu bagi Jokowi adalah politik identitas. Sosok Ma’ruf Amin diyakini mampu mematahkan serangan yang bertubi-tubi atas Jokowi dari lawan politik dengan melabelinya sebagai “anti-Islam.” Lawan merasa perlu terwakili aspirasi politiknya melalui figur ulama. Rupanya, Jokowi melihat momentum itu, diambillah Ma’ruf Amin.

Dalam pandangan subjektif saya, pilihan Jokowi terhadap Ma’ruf Amin sudah tepat. Apalagi sosok mantan Rais Am Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) tersebut tercatat sebagai pemberi input Jokowi ketika isu pelengserannya mencuat dengan pintu masuknya demonstrasi kasus Ahok pada Pilkada Jakarta (aksi 411 dan 212).

BACA JUGA: Master C19 Yakini NU Tidak Minta Jatah Jabatan ke Presiden Jokowi

Kehadiran Ma’ruf Amin sebagai cawapres, menyadarkan banyak pihak bahwa isu “anti--Islam” yang dituduhkan ke Jokowi tidaklah benar. Sebab bagaimana mungkin jika Jokowi anti-Islam, justru menggandeng ulama sebagai pasangannya. Sekali lagi, kehadiran Ma’ruf Amin menyulitkan lawan-lawan politik Jokowi menyerang dengan isu anti-Islam. Ma’ruf Amin secara tidak langsung juga meminimalisir pecahnya kekuatan ormas-ormas Islam.

Mungkin banyak yang tidak tahu, setiap berkampanye Ma’ruf Amin kerap menyampaikan keberhasilan kinerja-kinerja pemerintahan era Jokowi-Jusuf Kalla dalam setiap orasi politiknya. Ia tidak pernah mengumbar-umbar tentang dirinya sendiri. Beliau membantah tuduhan-tuduhan negatif yang dialamatkan kepada Jokowi, seperti Jokowi PKI dan Jokowi benci ulama.

BACA JUGA: Hanura Enggak Dapat Jatah Menteri, Tridianto Beri Komentar Begini

Itu semua sebenarnya gambaran Ma’ruf Amin untuk mengajak kita semua bersinergi, tidak berjalan sendiri-sendiri, seperti kejadian penentuan menteri-menteri beberapa waktu lalu.

Sebagai orang awam saya hanya bisa katakan, kok bisa. Padahal penentuan menteri-menteri adalah langkah strategis kali pertama, justru Jokowi tidak melibatkan Ma’ruf Amin. Usai dilantik Ma’ruf Amin langsung bertolak ke Jepang untuk menghadiri pelantikan Kaisar baru yang menurut saya sebenarnya bisa diwakilkan oleh utusan seperti duta besar. Jelas ini politik tingkat tinggi.

Wajar lah, pemandangan tersebut memicu banyak spekulasi di ruang publik. Seperti opini yang berkembang tentang penetapan menteri jilid II Jokowi hanya mendengarkan bisikan orang-orang di lingkar istana. Ma’ruf Amin sendiri sebagai ulama, pasti memilih untuk tidak berprasangka.

Hal itu bisa dilihat dari pernyataan-pernyataannya di media yang menegaskan “Siapa pun menteri-menteri yang dipilih Presiden Jokowi, itu sudah yang terbaik. Baik buat Pak Jokowi, baik pula buat saya.” Mestinya, Jokowi tetap meminta masukan kepada Ma’ruf Amin menyangkut keputusan yang bersifat strategis agar tidak menimbulkan kegaduhan politik.

Tragisnya lagi, baru beberapa hari menjabat, Ma’ruf Amin sudah dinilai tidak punya peran apa-apa oleh sejumlah kalangan. Tidak baru kali ini saja terjadi. Dulu saat pilpres Ma’ruf Amin dianggap tidak memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perolehan suara.

Ironisnya penilaian itu keluar dari mulut internal tim pemenangan Jokowi-Ma’ruf Amin sendiri. Siapa bilang, justru Ma’ruf Amin memberikan sumbangan kuantitatif yang besar dari suara pemilih di Jawa, khususnya basis-basis kuat NU, ditambah lagi suara kelompok minoritas.

Jawa Timur misalnya sebagai lumbung terbesar NU, menyumbang kemenangan 65 persen. Karena basis NU inilah, maka secara kualitatif pun, kefiguran Ma’ruf Amin mampu menjangkau semua elemen NU baik struktural maupun kultural, termasuk faksi-faksi yang ada di dalam NU sendiri.

Kemudian dukungan kelompok minoritas terhadap Ma’ruf Amin. Sokongan ini lebih disebabkan karena ada hubungan yang sedemikian baik dan harmonis antara NU dengan tokoh-tokoh atau pimpinan-pimpinan non-Muslim.

Rasanya harus dibantah jika Ma’ruf Amin dianggap tidak memiliki nilai strategis. Terpilihnya Ma’ruf Amin tidak hanya bicara tentang bagaimana menduetkan kelompok nasionalis dan agama (Islam). Tetapi juga budaya paternalistik, di mana di tengah hiruk-pikuk politik yang tidak jelas juntrungannya, masyarakat Indonesia butuh figur panutan (bapak bangsa), bijaksana dan berpengalaman dalam hal meredam persoalan-persoalan strategis, seperti rentetan konflik di Indonesia yang memiliki rekam yang sedemikian panjang. Ketika tidak mampu ditengahi, berujung pada status quo.

Kita harus memahami siapa Ma’ruf Amin. Dia adalah tokoh yang selalu mengusung konsep “jalan tengah,” menjunjung tinggi nilai-nilai kesepakatan dan perimbangan. Jokowi harusnya sadar itu. Seandainya Jokowi tidak menggaet Ma’ruf Amin, saya yakin Jokowi kalah dalam kontestasi Pilpres. Bagaimana tidak, Jokowi berhadapan dengan tren politik Islam yang menguat.

Kembali ke soal kabinet. Komposisi yang ada sekarang, berangkat dari perkiraan jauh sebelumnya, bahwa adakalanya nanti Jokowi akan berhadapan dengan sekutu politik yang sekarang menjadi musuh politik baru. Sementara musuh politik dari pihak oposisi kini tengah bermanuver dengan sesama musuh politik Jokowi. Inilah fase bergaining politik yang sangat membebani Jokowi.

Jokowi akan kembali memainkan simbolisasi. Sebagaimana dahulu ketika Ma’ruf Amin punya dampak besar terhadap setting politik Jokowi. Sekalipun Ma’ruf Amin tidak berpartai dan tidak diperhitungkan dalam hitungan politik. Tetapi yang perlu diingat, Ma’ruf Amin punya kekuatan semiotik yang sangat besar pengaruhnya.

Sebagai penutup, saya ingat perkataan seorang kawan ketika dia berusaha meyakinkan kepada saya, Jokowi dalam menentukan menteri-menterinya nanti, penilaian tertingginya adalah integritas dan loyalitas. Faktanya, justru tidak.***

Penulis adalah Pengajar di Universitas Pamulang.


Redaktur & Reporter : Budi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler