Ketika Mereka Hafal Indonesia Raya, Konjen Merinding Terharu

Rabu, 22 November 2017 – 09:41 WIB
17 WNI yang terjebak di Marawi Filipina diterima konsul Jenderal RI untuk Davao Berlian Napitupulu di Wisma KJRI Davao, Rabu (6/1/2017). FOTO: KEMLU for Jawa Pos

jpnn.com, DAVAO - Konsul Jenderal RI di Davao Berlian Napitupulu menemui puluhan PID (people of Indonesian descent/orang-orang keturunan Indonesia) yang di Davao Occidental pada Kamis pekan lalu (16/11).

Mayoritas dari mereka memang tak menguasai bahasa Indonesia.

BACA JUGA: Kemlu Sukses Mengevakuasi 17 WNI dari Marawi

Ketika disodori berbagai objek wisata di tanah air, mereka juga tak paham

Tapi, begitu diminta menyanyikan lagu Indonesia Raya, giliran Berlian yang tak kuasa menahan haru.

"Mereka hafal, enggak tahu dari mana. Padahal, mereka kan puluhan tahun nggak ke Indonesia," tutur Berlin kepada Jawa Pos yang mengontaknya melalui sambungan telepon kemarin (21/11).

Total ada 8.745 PID di Filipina yang tengah diperjuangkan KJRI Davao agar tak sampai mendapat cap stateless alias tak berkewarganegaraan.

''Ada 2.425 orang keturunan Indonesia yang telah menjadi WNI,'' kata Konsul Jenderal RI di Davao Berlian Napitupulu.

Kebanyakan di antara mereka menetap di Kepulauan Mindanao di selatan Filipina yang berbatasan langsung dengan Indonesia.

Nah, dari total PID tersebut, terang Berlian, yang berbagai dokumennya telah diperiksa sebanyak 5.208 orang.

Dari jumlah itu, selain 2.425 yang sudah berstatus WNI tadi, 2.012 PID lainnya telah ditetapkan sebagai warga negara Filipina. Semua proses mendapatkan kewarganegaraan itu, kata Berlian, dilakukan di KJRI Davao.

''Sementara yang lainnya masih perlu pendalaman dokumen," katanya kepada Jawa Pos melalui sambungan telepon kemarin (21/11).

Mengutip Al Jazeera, para PID itu adalah keturunan warga Kepulauan Sangihe dan Kepulauan Talaud yang beremigrasi ke Filipina (Jawa Pos, 21/8).

Dua kepulauan itu memang berbatasan dengan bagian selatan negeri yang beribu kota di Manila itu.

Lahir dan menghabiskan puluhan tahun di sana, para PID tersebut tetap tak menguasai bahasa Tagalog.

Juga tak mengenal bahasa Indonesia. Mereka hanya menguasai bahasa Sangir, bahasa ibu warga Sangihe-Talaud.

Masalah muncul pada 2005 saat pemerintah Filipina mewajibkan seluruh penduduknya punya akta kelahiran.

Filipina tak mengakui dan Indonesia juga tak mengenal mereka. Jadilah para PID, sebutan yang tercantum dalam akta kelahiran yang dikeluarkan UNHCR (badan PBB yang mengurusi pengungsi), itu hanya mengantongi alien certificate of registration.

Reformasi undang-undang kewarganegaraan Indonesia pada 2006 menerbitkan harapan mereka untuk menjadi WNI.

Sebab, Indonesia mengizinkan siapa pun warganya yang telah kehilangan kewarganegaraan untuk memperolehnya kembali.

Berlian mengatakan, jika tidak segera diselamatkan, orang-orang keturunan Indonesia itu tak hanya akan menjadi alien yang tidak berdokumen.

Lebih parah dari itu, mereka bisa-bisa dilabeli stateless karena tidak memiliki kewarganegaraan.

"Targetnya, di tahun ini kami bisa selesaikan (status) 80 persen dari 8.745 orang keturunan Indonesia itu," ucapnya.

Setelah para warga keturunan Indonesia tersebut mendapat kepastian kewarganegaraan Indonesia, KJRI akan mengurus dokumen-dokumen mereka.

Berlian menambahkan, KJRI tidak serta-merta memulangkan mereka ke Indonesia, tapi memberikan opsi: tetap tinggal di Filipina atau pulang ke Indonesia.

"Jika mereka memutuskan untuk tetap tinggal, kami akan berikan paspor. Sementara itu, untuk mereka yang ingin pulang, kami akan buatkan SPLP (surat perjalanan laksana paspor)," terangnya.

Bagi mereka yang memutuskan tetap tinggal, paspor tersebut nantinya bisa digunakan untuk mengurus visa tinggal dan mencari pekerjaan.

Selama ini, kata Berlian, karena tidak memiliki dokumen, mereka hanya bisa bekerja sebagai nelayan dan petani.

Dengan adanya dokumen tersebut, mereka bisa mencari pekerjaan yang lebih baik.

Bagi para WNI yang memutuskan untuk pulang, KJRI pun memberikan kuesioner untuk mengetahui ke mana mereka ingin dipulangkan.

Beberapa opsi yang diberikan KJRI, antara lain, Sangihe, Talaud, Tahuna, dan Manado.

"Saat ini, kami masih mendata melalui kuesioner itu," ujarnya.

Dari keseluruhan PID di Filipina itu, hanya beberapa yang merupakan generasi kedua yang masih bisa berbahasa Indonesia.

Selebihnya, mereka yang merupakan generasi ketiga atau keempat, tidak pernah tersentuh bahasa nasional Indonesia itu.

Jadi, tak mengherankan kalau Berlian sangat terharu ketika mereka masih bisa menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia.

Menurut Berlian, beberapa tahun lalu, pemerintah Indonesia dan Filipina sebenarnya sudah sepakat untuk mengatasi permasalahan PID.

"Ketika itu, mengatasinya dilakukan dengan melakukan pemulangan terhadap warga-warga keturunan Indonesia. Jumlahnya bisa 100, 200, atau 300 orang yang dipulangkan," sebutnya.

Namun, tahun ini, model penyelesaian tersebut tidak lagi dilakukan.

Sebab, yang dibutuhkan penyelesaian secara sistematis dan komprehensif.

Pengamat hukum internasional Hikmahanto Juwana menilai, banyaknya PID di Filipina tersebut adalah sesuatu yang wajar.

"Kan masyarakat ini tidak kenal batas negara," tutur Hikmahanto.

Hal seperti itu, lanjut dia, tidak hanya terjadi di perbatasan Indonesia-Filipina, tetapi juga di perbatasan lainnya. (and/c17/ttg/jpnn)


Redaktur & Reporter : Natalia

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler