Ketika Rakaat Pertama, Kapal Dihantam Ombak Besar

Kamis, 16 Juli 2015 – 01:47 WIB
Para jamaah KRI Banjarmasin menjalankan salat Magrib ketika gelombang besar menghantam kapal TNI-AL itu saat melintasi Laut Arab. Foto: Ilham Wancoko/Jawa Pos

jpnn.com - KRI Banjarmasin kini dalam perjalanan pulang ke tanah air, usai misi mendukung Paviliun Indonesia di World Expo Milan (WEM) 2015 di Italia.  Berikut laporan wartawan Jawa Pos ILHAM WANCOKO yang ikut dalam misi kapal perang TNI-AL itu tersebut, terutama dalam beribadah puasa di tengah laut.

------------------------

BACA JUGA: Yang Ngaku Antimainstream Baca Ini! Rururadio, Radio Nirkabel Berbasis Komunitas

Laporan Ilham Wancoko, KRI Banjarmasin

------------------------

BACA JUGA: Perca, Rumah Besar Perempuan WNI Bersuami WNA

GEMA suara azan terdengar di seluruh penjuru KRI Banjarmasin Selasa dua pekan lalu. Suara panggilan salat Magrib itu seakan membelah Laut Arab yang baru dilewati kapal berpenumpang lebih dari 300 orang tersebut.

Kondisi kapal yang semula senyap mendadak ramai. Para penumpang yang kebanyakan taruna TNI-AL dan siswa-siswa berprestasi dari sejumlah sekolah kejuruan langsung keluar dari kamar masing-masing. Ada yang pergi ke tempat salat di dek kapal. Ada pula yang membawa peralatan makan untuk berbuka bersama. Suasana pun jadi gaduh.

BACA JUGA: Martunis, Rindu Aceh Terbawa Mimpi

Tidak berapa lama kemudian, di dek atas sudah berjajar jamaah yang siap menjalankan salat Magrib. Begitu iqomah selesai, salat pun dimulai. Namun, ketika rakaat pertama baru berjalan, tiba-tiba kapal diterjang ombak besar. Tingginya diperkirakan 5 meter. Kapal pun oleng hingga 25 derajat. Jamaah salat Magrib pun ikut terhuyung-huyung dan nyaris bubar.

Jawa Pos yang mengikuti salat berjamaah itu sempat terjungkal. Guncangan hebat membuat tubuh tidak seimbang. Kadang terdorong ke depan, kadang ke belakang. Beberapa jamaah malah saling bertabrakan. Meski begitu, salat tetap diteruskan sampai selesai, meski sepanjang salat jamaah tidak bisa berkonsentrasi. Rasa waswas dan tegang sempat dirasakan para jamaah.

’’Memang, sulit sekali salat dalam kondisi ombak tinggi seperti ini,’’ ujar Perwira Rohani Mayor Latief setelah salat.

Tidak hanya di dek, di ruang makan, suasana juga kacau balau. Makanan dan minuman berceceran di meja serta lantai karena tumpah. Orang-orang harus superhati-hati untuk mengambil nasi dan lauk-pauk. Untuk menyuapkan nasi ke mulut saja, mesti melihat situasi. Sebab, salah-salah, bukannya masuk mulut, nasi di sendok bisa terbang karena tiba-tiba kapal terguncang.

’’Memang, harus sekali-sekali seperti ini. Ini baru pelaut,’’ ujar Kapten Dandung, salah seorang pengajar Akademi Angkatan Laut (AAL), lantas tersenyum.

Dalam pelayaran selama hampir tiga bulan ini, KRI Banjarmasin mesti melewati Ramadan di tengah laut. Karena itu, tentu saja para anak buah kapal (ABK) maupun seluruh penumpang mau tidak mau harus melewatkan momen berpuasa bersama keluarga di rumah. Yang mereka hadapi sehari-hari hanya suasana di laut luas yang itu-itu saja.

Tak jarang para ABK teringat suasana berpuasa di rumah bersama anak dan istri. Misalnya yang dirasakan Kepala Urusan Dukungan Kesehatan dan Latihan Direktorat Kesehatan AAL Kapten Laut (K) Helmy Fahada. Setiap berbuka puasa, perwira 33 tahun itu teringat sang istri, Karina Prisdiani, 26, dan anak mereka, Adzkia Thafana Rasyada yang baru berusia delapan bulan.

”Saat berangkat, anak saya baru berusia lima bulan. Masih bayi. Ah, rasanya kangen,” tutur Helmy.

Bila tidak ikut pelayaran KRI Banjarmasin, seharusnya tahun ini merupakan kali pertama Helmy bisa berpuasa bersama istri dan anaknya. Namun, karena tugas negara, dia harus rela meninggalkan keluarga di rumah. ”Saya sudah belikan oleh-oleh spesial untuk istri dan anak saya. Mudah-mudahan mereka senang,” ujarnya.

Untuk obat kangen kepada sang buah hati, Helmy membawa baju anaknya. Dengan begitu, ketika rasa kangen itu tiba-tiba datang, dia akan mengambil baju tersebut untuk dipandangi. "Pakaian anak saya bawa, buat dicium-cium kalau kangen. Biar saya ingat bau anak saya,” tutur dia dengan mata berkaca-kaca.

Kendati begitu, Helmy merasakan nikmat berpuasa di tengah tugas negara. Dia bisa lebih khidmat menjalankan ibadah wajib tersebut. Sebab, yang terpikir hanya tugas dan ibadah. Tak ada aktivitas lain seperti halnya di daratan.

”Kami nggak bisa ke mal atau melakukan aktivitas yang tidak penting. Saya jadi bisa beribadah dengan lebih tenang dan fokus,” ucap dia.

Kenikmatan seperti itu tidak akan didapatkan bila tidak berpuasa di kapal. Mulai salat wajib hingga Tarawih dapat dikerjakan dengan baik. ”Alhamdulillah, jadi nggak ada yang bolong. Salat dan puasa, semua dilahap,” paparnya.

Hal yang sama dirasakan Kopda Supandi, ABK. Berada di laut lepas membuat dia lebih bisa berfokus pada ibadah. Guncangan kapal akibat ombak besar dan luasnya lautan membuat hati kecil Supandimerasakan kebesaran Tuhan.

”Kami ini bukan siapa-siapa, begitu kecil di dunia ini. Ini yang saya dapat saat berpuasa di lautan,” kata dia.

Ombak lautan juga memberikan hikmah tersendiri bagi Supandi. Gelombang besar yang sering membuat oleng KRI Banjarmasin membuat Supandi sadar bahwa sebenarnya lautan pun ikut berzikir.

”Guncangan yang bolak-balik itu seperti zikir. Kalau kita berzikir dalam kondisi kapal terguncang, juga jadi lebih khusyuk. Kita ini makhluk kecil di tengah lautan,” jelasnya.

Puasa di kapal juga membuat tim dapur KRI Banjarmasin merasakan momentum yang berbeda. Mereka harus menyiapkan makanan untuk sahur dan buka puasa. Artinya, mereka harus bekerja begitu keras untuk menyiapkan makanan bagi lebih dari 300 orang yang berada di kapal.

Selain harus berpuasa, mereka harus menghadapi kondisi ekstrem saat memasak. Menurut Kabag Dapur Serma Romi Ashadianto, memang memasak di kapal yang terkena ombak tinggi tidaklah mudah.

Misalnya saat menyiapkan menu ayam goreng. Mereka harus sabar dan berhati-hati untuk memotong daging ayam menjadi kecil-kecil. Kalau tidak, daging ayam akan bergerak terus ke sana-kemari sehingga sulit dipegang.

”Salah-salah, tangan yang justru kena pisau kalau tidak berhati-hati,” jelasnya.

Meski begitu, ombak setinggi 5 meter tidak menghentikan para juru masak untuk tetap menyiapkan makanan bagi para ABK buat sahur dan berbuka. Namun, jika tim dapur tiba-tiba tidak memasak, berarti kondisi memang mengkhawatirkan.

”Sebab, ombaknya pasti jauh lebih tinggi dari 5 meter,” kata Romi.

Tinggal beberapa hari lagi KRI Banjarmasin tiba di Indonesia. Diperkirakan, tepat pada hari Idul Fitri, Jumat (17/7), kapal perang yang dikomandani Letkol Laut (P) Rakhmat Arief Bintoro itu merapat di Surabaya. Para awak maupun seluruh penumpangnya bakal bertemu dengan keluarga dan bisa berlebaran bagi yang merayakan. (*/c5/c11/ari)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Muhammad Sobirin, Penggagas Masjid Keliling di Bandung


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler