jpnn.com - Angka kriminalitas yang tinggi di Brasil bukan isapan jempol. Wartawan Jawa PosAgung Putu Iskandar merasakannya sendiri ketika bertugas di Sao Paulo, Sabtu (24/5) sore waktu setempat. Bagaimana ceritanya?
* * *
BACA JUGA: Tonjokan Baird Bikin Laga PSM kontra Perseru di Menit ke-81 Terhenti
JALANAN di depan Cafe Hostel, Rua Agisse, lengang sore itu. Memang, lokasinya di kawasan permukiman elite di Vila Madalena, Sao Paulo. Karena itu, saya merasa cukup aman untuk berjalan-jalan sendiri. Kebetulan matahari masih terang bersinar.
Baru beberapa langkah berjalan, saya berpapasan dengan dua warga lokal Brasil. Keduanya berkulit hitam. Satunya bertubuh kurus dan masih berusia remaja, kemudian satu lagi bertubuh lebih besar mengenakan celana, jaket, dan topi hitam.
BACA JUGA: Dikabarkan Kecewa dengan Mou, Abramovic Lirik Simeone
Lelaki yang bertubuh besar lantas menyapa saya dan menanyakan jam. Tanpa curiga, saya merogoh saku jaket dan mengambil ponsel. Saya tidak memakai jam tangan ketika itu. Jadi, pilihannya adalah melihat jam di layar ponsel. ”Jam tiga lebih 15 menit,Amigo,” kata saya kepada keduanya.
Ponsel kembali saya masukkan ke saku jaket dan berlalu. Kedua orang tadi juga langsung berjalan. Mereka berada di depan saya dalam jarak hanya beberapa meter.
BACA JUGA: Lagi, Handicap Gap Pemain Garuda Jaya
Saat berada di ruas jalanan sepi, mereka tiba-tiba berbalik dan mencengkeram jaket saya. Secara refleks, saya juga langsung membalikkan badan dan hendak lari. Tetapi, dengan gesit pria yang berbadan besar membanting saya ke trotoar sembari berteriak dalam bahasa Portugis yang kurang lebih berarti, ”Berikan ponselmu.”
Saya sempat berupaya memberikan perlawanan. Hanya, pukulan demi pukulan malah dilayangkan pria yang berbadan besar. Pelaku lainnya yang berusia remaja tampaknya gugup, sehingga saat disuruh oleh temannya merebut tas dan barang berharga saya lainnya, dia agak takut. Apalagi, saya terus berontak dan berteriak minta tolong.
Saya berupaya keras mempertahankan tas yang berisi dompet, paspor, uang, dan peralatan kerja lain yang biasa dibawa seorang wartawan. Tetapi, ponsel saya harus direlakan. Karena melihat perlawanan saya, si pria berbadan besar tampak mengancam seperti akan mengeluarkan senjata dari balik jaketnya.
Namun, setelah ponsel saya berada di tangan mereka dan orang-orang dekat TKP (tempat kejadian perkara) mulai berdatangan, keduanya akhirnya berlari pergi. Kebetulan, TKP tepat berada di depan Aldo Cabeleireiro (tempat potong rambut Aldo). Di cabeleireiro terdapat seorang tukang potong rambut dan seorang pelanggan. Keduanya mengaku mendengar dan bahkan melihat langsung kejadian tersebut dari balik kaca cabeleireiro. Mereka sudah berusia cukup lanjut sehingga tidak berani berbuat banyak. ”Kami khawatir mereka membawa senjata,” kata salah seorang pelanggan yang menghampiri saya sambil memberikan minum untuk menenangkan saya.
Rogerio Minhano, owner Cafe Hostel, mengatakan, perampasan ponsel memang marak di Brasil. Biasanya, warga memilih langsung menyerahkan ponsel daripada hal-hal lebih buruk terjadi. ”Kami takut mereka membawa senjata. Jadi, ketika diancam, warga menyerahkan saja ponselnya,” kata Rogerio.
Rogerio lantas menelepon polisi untuk melaporkan kejadian tersebut. Karena jumlah kerugiannya minim, polisi tak mewajibkan saya ke kantornya. Mereka hanya meminta saya melapor via situs www.ssp.sp.gov.br. Situs pelaporan online itu membantu dalam hal statistik kejahatan terkait wilayah dan demografi pelaku. Termasuk warna kulit pelaku.
”Laporan ini bisa membuat mereka memberi perhatian di wilayah ini. Saya menyesalkan kejadian ini. Padahal, ini salah satu wilayah teraman. Yah, teraman untuk ukuran Brasil,” kata Rogerio. (*/c2/ham)
BACA ARTIKEL LAINNYA... PBR Bidik Poin Penuh di Jalak Harupat
Redaktur : Tim Redaksi