Ketua Banggar DPR Sampaikan 6 Pandangan Soal Kebijakan Larangan Ekspor Batu Bara

Senin, 03 Januari 2022 – 15:35 WIB
Ketua Badan Anggaran DPR RI Said Abdullah. Foto: Humas DPD RI

jpnn.com, JAKARTA - Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Ekonomi ini memperkirakan batu bara masih menjadi produk primadona pada tahun 2022. Sebab, tidak serta merta negara-negara maju pada tahun 2022 mengganti PLTU mereka.

Terlebih tekanan ekonomi akibat pandemi Covid19 karena varian omicron masih merajalela di sejumlah negara, akibat fiskal yang cekak ini membuat PLTU masih dipertahankan.

BACA JUGA: DMO Batu Bara Kurang dari 1 Persen, Bambang Haryadi DPR: Ini Pembakangan Aturan

Said memperkirakan harga batu bara masih dikisaran di atas USD 120 per ton. Bencana La Nina yang diprediksikan berlangsung lama mengakibatkan permintaan suplai listrik masih akan tinggi.

Faktor ketegangan antara Australia dan Tiongkok akan berdampak suplai batu bara Australia ke Tiongkok. Keadaan ini mendorong HBA bertengger di posisi tinggi.

BACA JUGA: Gus Falah Minta Pemerintah Meninjau Ulang Larangan Ekspor Batu Bara, Ini Alasannya

Sebagai negara ketiga terbesar penghasil batubara dunia, pemerintah malah menutup diri, melarang kebijakan ekspor batu bara, setidaknya selama Januari 2022.

“Wajar bila sejumlah perusahaan batu bara tanah air meradang dan meminta pemerintah meninjau ulang kebijakan pelarangan ekspor batu bara,” kata Said Abdullah di Jakarta, Senin (3/1/2022). 

BACA JUGA: Haedar Nashir Beri Selamat kepada Gus Yahya, Lalu Sampaikan Pesan untuk Kiai Said

Berkaitan dengan kebijakan tersebut, Said menyampaikan lima poin pandangannnya;

Pertama, kosumsi batu bara PLN dan sejumlah produsen listrik swasta naik di tahun 2021, sebab kegiatan sektor riil mulai meningkat seiring dengan stabil (flat) angka Covid19 di tanah air.

Bila tahun 2020 lalu konsumsi batu bara PLN bisa di bawah 100 juta ton, dan tahun 2021 meningkat manjadi 115,6 juta ton, PLN memperkirakan kebutuhan batubara tahun 2022 mencapai 119 juta ton.

Pemerintah perlu memastikan ketersediaan cadangan batubara nasional melalui sejumlah produsen batu bara besar. Langkah ini penting untuk memastikan kelangsungan suplai listrik nasional.

Kedua, perusahaan Listrik Negara (PLN) seharusnya melakukan perencanaan dan memiliki prediksi atas supply and demand batu bara nasional dan global, sehingga tidak strategis dengan tiba-tiba mengumumkan menipisnya cadangan batu baranya.

Bila jauh jauh hari PLN bisa memperbaiki perencanaan stok batu bara, maka Kementerian ESDM tidak serta merta menarik rem mendadak, melarang ekspor batu bara. Dengan perencanaan stok batu bara yang tidak baik dari PLN, akibatnya kenaikan HBA tidak dapat menjadi berkah bagi perusahaan dan negara.

Padahal melalui ekspor batu bara negara menikmati tingginya pendapatan negara. Bahkan setelah 12 tahun kita shortfall pajak, tahun 2021 kemarin penerimaan perpajakan tembus 100 persen dari target.

Sumbernya berasal dari naiknya harga harga komoditas utama dunia, salah satunya batu bara. PLN dan Kementerian ESDM secepat mungkin wajib membenahi manajemen suplai batubara ini, agar larangan kebijakan eskpor batubara tidak berlangsung lama. 

Kebijakan rem mendadak ini sangat tidak baik bagi iklim usaha. Padahal Presiden Joko Widodo rela melakukan banyak hal agar iklim usaha tumbuh subur. Kebijakan seperti ini kita minta tidak terulang lagi di masa mendatang.

Ketiga, PLN harus melakukan efisiensi. Ketiadaan pesaing, karena PLN hanya menjadi pemain tunggal listrik nasional membuat PLN tidak kompetitif, malah cenderung merugi dan senantiasa menyusu kepada APBN.

Keadaan ini sangat tidak baik. Sekadar untuk mengatur manajemen stok batubara saja tidak kompeten, apalagi harus bersaing menghadapi berbagai tantangan ke depan.

Bagaimana jika sejumlah negara maju seperti Tiongkok, Jepang, Korea Selatan, dan Jerman segera memproduksi power bank untuk konsumsi listrik rumah tangga dengan harga murah?

Atau harga solar panel menjadi lebih ekonomis, peran PLN pasti akan tergantikan, begitulah hukum alam, bagi yang tidak bisa berbenah mengikuti arah perubahan akan ditelan zaman.

Keempat, akibat kebijakan pelarangan ekspor ini kita tidak bisa menikmati berkah devisa. Padahal peluang devisa yang kita dapatkan dari ekspor batubara USD 3 miliar/ bulan.

Hal ini belum menghitung pendapatan pajak dan bukan pajak yang didapatkan oleh pemerintah. Padahal dari sisi fiskal pendapatan negara itu sangat kita butuhkan pada tahun 2022 untuk membenahi fiskal kita akibat terkoreksi oleh beban pembiayaan utang yang besar akibat pandemi Covid19.

Kelima, Pelarangan ekspor batu bara akan menjadi beban para perusahaan perkapalan. Menurut hitungan para pelaku perkapalan, perusahaan akan terkena biaya tambahan penambahan waktu pemakaian (demurrage) yang cukup besar (US$20,000 - US$40,000 per hari per kapal) yang akan membebani perusahaan-perusahaan pengekspor.

Keenam, reputasi dan keandalan Indonesia sebagai pemamsok batubara dunia akan dipertanyakan. Sehingga berbagai komitmen pembelian batubara dari Indonesia akan dipertanyakan.

Para eksportir batu bara pasti akan kena penalti akibat kebijakan penghentian pengiriman. Alih alih menikmati berkah kenaikan batubara, mereka malah kena getah penalty dari buyer di luar negeri. 

Komoditas Utama

Menurut Said, batubara sampai kini masih menjadi produk penting dunia. Batu bara merupakan salah satu sumber energi fosil yang menyumbang emisi dan deforestasi, tetapi lambatnya peralihan teknologi hijau menyebabkan batu bara masih menjadi komoditas utama dunia.

Pada tahun 2020, menurut British Petroleum Global Company, Tiongkok, India, dan Indonesia adalah negara tiga besar penghasil batu bara dunia, Amerika Serikat diurutan keempat, disusul Australia dan Rusia.

Menurut Said, sudah menjadi siklus musiman bila jelang musim dingin sebalahan bumi utara dan selatan permintaan akan batu bara meningkat. Tingginya permintaan batu bara ini diakibatkan konsumsi listrik di masa musim dingin meningkat drastis.

Pangkal masalahnya sebagain besar negara negara didunia, bahkan negara maju seperti Inggris, Jepang, Amerika Serikat dan Tiongkok masih mengandalkan pembangkit listrik berbasis uap (PLTU) yang suplai energinya berbahan batu bara.

Tekanan ekonomi sebagian besar negara negara didunia akibat pandemi Covid19 memaksa banyak negara masih mempertahankan energi berbasis batu bara, pertimbangannya tentu simpel, lebih murah.

Menurut laporan Climate Transparancy Report 2020, tercatat sejumlah negara maju seperti; Amerika Serikat, Tiongkok, Rusia, Jerman, Jepang, Korea Selatan, Polandia, Prancis, Kanada, Italia, dan Inggris masih kecanduan batubara. Mereka belum cepat bisa move on meninggalkan batubara.

Pada Semester kedua 2021 hingga awal tahun 2022 batubara menunjukkan tren kenaikan harga. Harga Batu bara Acuan (HBA) bulan September 2021 hingga ke angka USD 150,03 per Ton.

Angka ini naik USD 19,04 per ton dibanding HBA bulan Agustus 2021 yang mencapai angka 130,99 per ton. Pada Bulan November 2021 HBA kembali meroket menembus USD 215,1 per ton.

Harga Batu Bara Acuan (HBA) Desember 2021 anjlok ke posisi US$159,79 per ton atau turun 25,7 persen dibandingkan bulan sebelumnya. Meskipun pada Desember 2021 HBA turun, akan tetapi masih menunjukkan harga yang tinggi.

“Turunnya HBA pada Desember 2021 karena Tiongkok meningkatkan produksi batu baranya, setelah bulan bulan sebelumnya kekurangan produksi akibat kecelakaan,” ujar Said.(fri/jpnn)


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler