JAKARTA–Gubernur Nangroe Aceh Darusalam (NAD) Zaini Abdullah bertemu Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar guna membicarakan masalah Qanun yang belakangan ini masih menjadi perdebatan.
Zaini mengungkapkan, pihaknya merasa perlu melakukan konsultasi dengan lembaga pengawal konstitusi tersebut karena Qanun merupakan produk hukum yang erat kaitannya dengan konstitusi Republik Indonesia yaitu UUD 1945.
"Beliau sudah lama berkecimpung di Aceh sejak pembuatan UU tentang pemerintah Aceh. Selain itu, juga karena ada hal-hal yang sedikit beda persepsi, misalnya dikanunkannya Qanun Aceh dan lambang bendera di Aceh yang belakangan muncul beda persepsi,” ungkapnya, sesaat sebelum memasuki ruang kerja Akil, di Gedung MK, Selasa (30/4).
Terkait Qanun yang berimbas dengan pengibaran bendera GAM itu, Zaini menegaskan bendera Aceh bukan soal kedaulatan. Keberadaan bendera Aceh juga tidak ada kaitannya dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). “Itu (bendera) hanya menunjukkan kekhususan Aceh, sama halnya seperti di Jogjakarta, Ternate, atau DKI Jakarta, adalah daerah khusus,” tandasnya.
Ia menjamin, setelah berada dalam konflik berkepanjangan selama sekitar 30 tahun, kini Aceh sudah cukup dalam keadaan damai lewat perjanjian Helsinski yang berlangsung enam bulan lalu.
“Jadi, sekali lagi tentang bendera itu sama sekali bukan menjadi bendera kedaulatan. Itu tidak benar terjadi. Aceh sekarang sudah damai di bawah NKRI dan bendera kedaulatan adalah bendera Republik Indonesia, Merah Putih," tegasnya.
Terkait Qanun, Zaini menyatakan telah bertemu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Gamawan Fauzi. "Kami harapkan, kami doakan supaya beda persepsi ini bisa menyatu. Ini hanyalah riak-riak yang tidak perlu ditanggapi sebenarnya," katanya.
Ketua MK Akil Mochtar mengatakan secara prosedural pembentukan Qanun, bendera pemerintah daerah, secara konstitusi tidak ada masalah. Sebab, dalam UUD 1945 telah mengatur tentang daerah yang memiliki kekhususan dan otonomi, sedangkan dalam UU Pemerintahan Aceh juga diberi wewenang untuk menyusun Qanun (perda), termasuk di dalamnya penentuan bendera.
"Kalau dalam bahasa ekstremnya, dianggap dapat mengancam kedaulatan NKRI. Kalaulah asumsi kita hanya sebuah bendera, apa artinya sebuah bendera kalau itu bukan bendera sebuah negara atau bangsa, itu baru mempunyai identitas. Tetapi kalau cuma benderanya pemerintahan Aceh, kenapa diributin?," ucap Akil, usai menemui Zaini.
Menurut Akil, mungkin pemerintah pusat memiliki pandangan lain, karena, jika diamati ucapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bahwa secara prosedural tidak ada problem, namun secara subtansi yang masih perlu dikaji kembali atau dibicarakan lagi.
"Tidak perlu khawatir karena secara prosedural didalam UU semuanya sudah ada, hanya subtansi yang masih perlu dibicarakan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah," tukasnya.(ris)
Zaini mengungkapkan, pihaknya merasa perlu melakukan konsultasi dengan lembaga pengawal konstitusi tersebut karena Qanun merupakan produk hukum yang erat kaitannya dengan konstitusi Republik Indonesia yaitu UUD 1945.
"Beliau sudah lama berkecimpung di Aceh sejak pembuatan UU tentang pemerintah Aceh. Selain itu, juga karena ada hal-hal yang sedikit beda persepsi, misalnya dikanunkannya Qanun Aceh dan lambang bendera di Aceh yang belakangan muncul beda persepsi,” ungkapnya, sesaat sebelum memasuki ruang kerja Akil, di Gedung MK, Selasa (30/4).
Terkait Qanun yang berimbas dengan pengibaran bendera GAM itu, Zaini menegaskan bendera Aceh bukan soal kedaulatan. Keberadaan bendera Aceh juga tidak ada kaitannya dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). “Itu (bendera) hanya menunjukkan kekhususan Aceh, sama halnya seperti di Jogjakarta, Ternate, atau DKI Jakarta, adalah daerah khusus,” tandasnya.
Ia menjamin, setelah berada dalam konflik berkepanjangan selama sekitar 30 tahun, kini Aceh sudah cukup dalam keadaan damai lewat perjanjian Helsinski yang berlangsung enam bulan lalu.
“Jadi, sekali lagi tentang bendera itu sama sekali bukan menjadi bendera kedaulatan. Itu tidak benar terjadi. Aceh sekarang sudah damai di bawah NKRI dan bendera kedaulatan adalah bendera Republik Indonesia, Merah Putih," tegasnya.
Terkait Qanun, Zaini menyatakan telah bertemu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Gamawan Fauzi. "Kami harapkan, kami doakan supaya beda persepsi ini bisa menyatu. Ini hanyalah riak-riak yang tidak perlu ditanggapi sebenarnya," katanya.
Ketua MK Akil Mochtar mengatakan secara prosedural pembentukan Qanun, bendera pemerintah daerah, secara konstitusi tidak ada masalah. Sebab, dalam UUD 1945 telah mengatur tentang daerah yang memiliki kekhususan dan otonomi, sedangkan dalam UU Pemerintahan Aceh juga diberi wewenang untuk menyusun Qanun (perda), termasuk di dalamnya penentuan bendera.
"Kalau dalam bahasa ekstremnya, dianggap dapat mengancam kedaulatan NKRI. Kalaulah asumsi kita hanya sebuah bendera, apa artinya sebuah bendera kalau itu bukan bendera sebuah negara atau bangsa, itu baru mempunyai identitas. Tetapi kalau cuma benderanya pemerintahan Aceh, kenapa diributin?," ucap Akil, usai menemui Zaini.
Menurut Akil, mungkin pemerintah pusat memiliki pandangan lain, karena, jika diamati ucapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bahwa secara prosedural tidak ada problem, namun secara subtansi yang masih perlu dikaji kembali atau dibicarakan lagi.
"Tidak perlu khawatir karena secara prosedural didalam UU semuanya sudah ada, hanya subtansi yang masih perlu dibicarakan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah," tukasnya.(ris)
BACA ARTIKEL LAINNYA... May Day, Pengusaha Diharapkan Beri Diskon ke Pekerja
Redaktur : Tim Redaksi