jpnn.com, JAKARTA - Ketua Bidang Dakwah dan Ukhuwah Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Muhammad Cholil Nafis angkat bicara soal buzzer atau pendengung bayaran di media sosial.
Belakangan ini banyak tokoh masyarakat yang mengeluhkan keberadaan buzzer yang dianggap makin meresahkan dan memecah belah anak bangsa.
BACA JUGA: Ramai Buzzer Bayaran, Ketua MUI: Fitnah, Gibah dan Namimah Haram
Ada yang beranggapan bahwa buzzer digunakan untuk menyerang dan membunuh karakter mereka yang kritis kepada pemerintah.
Suara kritis masyarakat bukan diimbangi dengan narasi yang cerdas dan mencerahkan, tetapi justru dihadapkan dengan buzzer yang menyerang pribadi, menebar fitnah dan mengadu domba.
BACA JUGA: Din Syamsudin Dituduh Radikal, MUI: Ini Fitnah Keji
Hal itulah yang dinilai membahayakan demokrasi dan kehidupan bermasyarakat di tanah air.
"Tetapi yang disampaikan (buzzer) itu fitnah, namimah (adu domba), gibah apalagi untuk membunuh karakter orang. Itu membuat ketakutan," kata Cholil Nafis, pada kanal YouTube Hersubeno Arief Point.
BACA JUGA: Fenomena Buzzer Akan Terus Mengancam Jika Pendidikan Literasi Lemah
Dia menyebutkan, jika diskusi dilakukan apple to apple maka membuat suasana menjadi hidup dan nyambung.
Namun, kalau kemudian dihadapkan dengan akun anonim kemudian menebar sarkasme, atau tulisannya menebar kebencian, akan membuat tidak nyaman.
Mungkin bagi tokoh tertentu dinilai tidak levelnya akan didiamkan, tetapi bagi yang lain hal ini dinilai sangat mengganggu. "Orang ketika mengkritik bukan substansi kritiknya yang dikejar tetapi orangnya yang dibunuh karakternya," tegasnya.
Dia menambahkan, yang menjadi masalah lagi buzzer itu berkelompok dan mereka menyebarkan kebencian, gibah dan fitnah secara luas. Kesalahan seseorang dicari-cari, video dipotong-potong hanya untuk mendiskreditkan seseorang.
"Daripada dimaki-maki, sedangkan ada keluarga, punya anak punya teman. Orang kan belum tahu tetapi konteksnya sudah itu dipotong. Akhirnya orang memilih diam di publik daripada di-bully," ujarnya.
Kondisi ini menjadi keprihatinan dan catatan MUI.
Hal ini agar bangsa ini tidak mundur dan terbelakang secara moral. "Majunya sebuah bangsa itu bukan dari bangunannya tetapi dari SDM yang unggul dan berakhlak serta beradab," tegasnya.
Makanya kalau orang digerakkan untuk menjadi buzzer menyerang orang yang berniat baik apalagi ulama, itu sama saja memakan bangkai saudaranya, memakan daging orang yang dibunuh.
"Jadi orang yang melakukan gibah, namimah, dan fitnah kemudian dapat bayaran dari cara begitu, atau dengan membunuh karakter seperti itu juga sama. Mereka sama halnya memakan bangkai saudaranya," ujarnya.
Kiai pengasuh Pondok Pesantren Cendekia Amanah kemudian mengutip Al-Qur'an Surah Al-Hujurat ayat 12 yang artinya berbunyi: "Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.
"Saya tidak tahu definisi buzzer yang benar seperti apa tetapi sudah telanjur negatif untuk campaign. Kalau buzzer digunakan hal yang baik ya enggak apa-apa, tetapi kalau untuk merendahkan orang lain itu tidak boleh," tegasnya. (esy/jpnn)
Simak! Video Pilihan Redaksi:
Redaktur & Reporter : Mesya Mohamad