Ketum MUI dan LDII Yakini Kebebasan Beragama Adalah Identitas Bangsa

Jumat, 03 Mei 2024 – 21:58 WIB
Ketua Umum MUI KH Muhammad Anwar Iskandar (kanan) bersama Ketum LDII KH Chriswanto Santoso dalam acara “Silaturahim Syawal dan Tausyiah Kebangsaan” yang dihelat DPW LDII Jawa Timur di Aula Ponpes Sabilurrosyidin Annur, Surabaya. Foto: supplied

jpnn.com, JAKARTA - Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Muhammad Anwar Iskandar menegaskan kebebasan beragama yang diwujudkan dengan menghormati kebebasan beragama dan menghormati keberagaman merupakan wujud ketakwaan kepada Allah SWT.

Pernyataan tersebut dilontarkan Gus War -sapaan akrab KH Muhammad Anwar Iskandar- saat memberi tausyiah kebangsaan dalam acara “Silaturahim Syawal dan Tausyiah Kebangsaan” yang dihelat DPW LDII Jawa Timur di Aula Ponpes Sabilurrosyidin Annur, Surabaya, Jawa Timur, kemarin.

BACA JUGA: LDII Sampaikan 5 Permintaan untuk Presiden dan Wapres Terpilih Prabowo-Gibran

Gus War menyoroti pentingnya cinta kepada sesama, sebagai bagian tak terpisahkan dari keberagaman manusia.

Dia menyatakan cinta kepada sesama menciptakan kebersamaan dalam kebaikan, yang menjadi pangkal keharmonisan.

BACA JUGA: LDII Ajak Masyarakat Bersabar Menunggu Hasil Hitung Resmi KPU

“Kebersamaan dalam kebaikan itu tidak melihat latar belakang agama, suku, atau profesi,” ujar Gus War yang juga Pengasuh Pondok Pesantren Al-Amien dan Pondok Pesantren Assa'idiyah Kota Kediri.

Kebaikan merupakan bagian dari ketakwaan, dan takwa memiliki dimensi universal yang mencakup kedamaian, persatuan, dan saling tolong-menolong.

BACA JUGA: Wanita Dibunuh, Mayat Korban Dimasukkan Koper, Identitas Terungkap

Suasana kebersamaan tersebut menumbuhkan kepedulian terhadap sesama, baik dalam kebahagiaan maupun kesulitan.

“Kebersamaan antara umat beragama dan pemimpin adalah kunci untuk menjaga kedamaian dan membangun kekuatan bangsa,” katanya.

Dalam tausyiahnya, ulama yang lahir di Banyuwangi itu, juga menyoroti pesan kebangsaan dalam ajaran agama. Menurutnya Allah menegaskan pentingnya persatuan dan kesatuan di antara masyarakat yang beragam.

“Sejarah Madinah menjadi contoh nyata bagaimana kesepakatan dan kesatuan antar berbagai kelompok masyarakat memperkuat kedaulatan dan keamanan,” ujar Wakil Rais 'Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama itu.

Dia juga menekankan pentingnya kesejahteraan ekonomi, keadilan sosial, dan keamanan dalam membangun kebangsaan yang kokoh.

“Menurut kami, pembangunan negara harus diawali dengan memenuhi kebutuhan dasar masyarakat dan memberikan perlindungan kepada semua warga negara,” tutur Gus War.

Pada kesempatan itu, dia menekankan pentingnya nilai-nilai toleransi, perdamaian, dan kerja sama antarumat beragama. Kesemuanya itu dapat terwujud bila negara dan seluruh elemen bangsa memberikan kebebasan beragama dan menghormati keberagaman sebagai bagian dari identitas bangsa.

“Kami mengajak seluruh masyarakat untuk menjaga kebersamaan, memperkuat persatuan, dan mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan dalam membangun bangsa yang berdaulat dan sejahtera. Dengan sikap saling menghargai dan bekerja sama, kita dapat mengukir masa depan yang lebih baik bagi generasi mendatang,” katanya.

Sepemikiran dengan Ketum MUI, Ketua Umum DPP LDII KH Chriswanto Santoso mengatakan bangsa Indonesia fitrahnya adalah beragam, lalu menyatukan diri dan mengikrarkan menjadi satu bangsa, bahasa, dan negara.

“Ini bukan hal baru, 1.500 tahun lalu, Rasulullah menjumpai Madinah yang beragam suku bahkan agama, dan berhasil bersatu membentuk Madinah sebagai wilayah yang mengakui persamaan hak dan kewajiban,” ujar KH Chriswanto.

Dalam keberagaman itu, menurut KH Chriswanto, Indonesia beruntung memiliki Pancasila yang di dalamnya terdapat nilai-nilai mengenai persamaan hak dan kewajiban.

“Seluruh elemen bangsa ini memiliki kewajiban merawat Pancasila. Indonesia adalah kapal besar, setiap penumpang di dalamnya berkewajiban menjaga agar kapal selamat sampai tempat tujuan,” tuturnya.

Dia mengingatkan menjaga kapal bernama Indonesia salah satunya dengan menghormati nakhoda yang terpilih.

“Kita memilih nakhoda bangsa dan negara ini setiap lima tahun sekali. Setelah terpilih, siapapun harus mempercayai sang nakhoda. Rencana, kritikan, dan kerja harus didasari Sila ke-4 Pancasila,” paparnya.

Di luar lingkup DPR/MPR, masyarakat boleh memberi masukan kepada para pemimpin, baik melalui saluran formal bahkan melalui media sosial.

Namun, mereka memiliki kewajiban tidak memecah belah persatuan dan kesatuan.

Dia pun mengajak para ulama bekerja sama dengan umara, untuk membawa kemaslahatan bersama.

Pemerintah dengan meningkatkan komunikasi dengan para ulama dan tokoh agama, agar proses pembangunan tidak tersendat akibatnya ketidaksepahaman. (rhs/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Pelaku Pembunuhan Wanita di Bekasi Menggasak Rp 43 Juta, Hubungan Keduanya Terungkap


Redaktur & Reporter : Rah Mahatma Sakti

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler