Keturunan Raja Hutan, Kecil-Kecil Sudah Bertaring

Minggu, 14 Oktober 2012 – 10:35 WIB

Ada yang unik di balik misi khusus Menko Perekonomian Hatta Rajasa saat memimpin rombongan ke dua "Macan Asia" Jepang dan Korea, 8-12 Oktober lalu. Kedua negara ekonomi pesat di kawasan Pasifik itu justru berada di pihak yang mengejar-ngejar kesiapan dalam negeri Indonesia untuk penyaluran investasi mereka. Mereka menganggap Indonesia itu anak macan. Mengapa? 

Ya! Anak harimau, seperti yang digambarkan dalam The Lion King itu, kecil-kecil sudah berkharisma. Kecil-kecil sudah bertaring. Kecil-kecil sudah bersuara kencang dan bisa menjadi raja hutan. Karena itu, dua negeri yang menjadi simbol matahari Asia itu, menempatkan Indonesia sebagai prioritas dalam berinvestasi dan melakukan kerjasama ekonomi. Mereka sudah meneropong jauh, dan menemukan sinyal bahwa potensi ekonomi Indonesia 10-20 tahun ke depan akan semakin menggiurkan

Hatta Rajasa menyebut, Jepang akan merencanakan the third wave investment, atau gelombang ketiga dalam menggelontor investasi ke Indonesia. Setelah era 70-an, dan 90-an, menanamkan modal besar-besaran. Kali ini diperkirakan ada Rp 410 Triliun, atau 3,4 Triliun Yen, sampai dengan 2020, dengan 45 projek prioritas, termasuk 18 fast track projects yang sudah akan berjalan di 2013. Juga 5 projek MPA – Metropolitan Priority Areas for Investment and Industry, di kawasan Jakarta Bogor Depok Tangerang Bekasi (Jabodetabek).

Wow! Angka yang sangat fantastis di Koridor II MP3EI – Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia. Dua negara itulah yang oleh Hatta didatangi dan dipresentasikan 6 koridor membangun Indonesia 2011 sampai 2025. “Khusus dengan Jepang, ini adalah pertemuan ketiga, dari steering committee untuk MPA, yang sudah diawali dari working group di Jakarta secara intensif, untuk memecahkan persoalan mendasar di Jabodetabek,” jelas Menko yang lahir di Palembang, , 18 Desember 1953 itu.

Di Tokyo, 9 Oktober itu, Hatta didampingi Menteri Perindustrian MS Hidayat, Menparekraf Mari Elka Pangestu dan Dubes RI di Jepang M Lutfi. Mereka diterima oleh Minister for Foreign Affairs of Japan, Koichiro Gemba, Minister of Economy, Trade and Industry Yukio Edano, dan Senior Vice Minister of Land, Infrastructure, Transport and Tourism Takeshi Nagayusu.

Sehari sebelumnya, 8 Oktober, Hatta juga diterima langsung oleh Perdana Menteri Jepang Yoshihiko Noda. “Jepang sangat antusias dan serius untuk membantu menata kawasan Jabodetabek agak lebih layak huni dan berkualitas. Ibaratnya, kalau kita siap sekarang, mereka sudah langsung actions,” ungkap bapak empat anak, M. Reza Radjasa, Siti Ruby Aliya Radjasa, Azimah Radjasa, Rasyid Radjasa ini.

:TERKAIT Ibu kota dengan kawasan sub-urban itu memang mendesak ditata. Tetapi Gubernur DKI saja tidak cukup, karena ada Tangerang-Tangsel yang di bawah Provinsi Banteng, dan Bekasi, Depok, Bogor yang masuk wilayah Jawa Barat. Mereka itu harus dibangun secara integrated, dengan visi, misi dan tujuan yang sama. Karena itu, MPA Development Vision yang sedang digagas Hatta itu memiliki 4 goals. “Pertama, better urban environment. Kedua, new growth sub corridor. Ketiga, Multiple gateways. Dan keempat, low carbon energy development. Keempat visi itu ditargetkan sudah tercapai tahun 2030 menjadi The Jakarta Metropolitan Area,” ungkap pria berambut perak ini.

Hatta belajar dari Tokyo dalam memulai menata kawasannya. Dulu, ibu kota Jepang itu juga menghadapi problem yang sama. Macet, crowded, stagnan, tidak tertib, yang berdampak pada angka kejahatan dan kecelakaan yang tinggi. Tingkat kecemasan orang berada di tempat publik itu sangat mencekam. “Jalan-jalan di trotoar yang dirancang untuk pedestrian saja takut diserempet sepeda motor? Bahkan, sudah jalan di tempat pejalan kaki saja, masih dimarahi oleh pengendara sepeda motor atau mobil? Tidak ada perasaan aman, yang ada was-was. Dulu Tokyo juga mengalami suasana seperti ini,” cerita yang sempat jalan kaki menyusuri kawasan Ginza Brand Street, Tokyo.

Penataan Tokyo sukses, setelah Jepang membangun kota Yokohama, yang dilengkapi dengan track kereta cepat. Lalu muncul kota-kota baru, yang menyebar seperti Haneda, Takeshiba, dan lainnya yang membuat distribusi barang dan jasa semakin merata. Masing-masing ditata dengan baik, ada plus minusnya, dan terkoneksi dengan mudah. Beban Tokyo semakin menyebar. “Dulunya juga susah, tetapi ketika dipikirkan teknisnya dengan serius, semua bisa teratasi dengan baik,” ungkap alumnus ITB Bandung angkatan 1973 ini.

Tokyo sebenarnya masuk kategori kota yang super sibuk dengan populasi 8,84 juta orang, persentase pengguna kereta sudah di atas 75%. Singapore dengan jumlah penduduk, 4,74 juta, sudah 35 persen dengan kereta bawah tanah. Seoul Korea, juga sama lebih dari 35 persen menggunakan public transportation. Jakarta, Manila, Ho Chi Minh masih berada dalam satu garis, tidak seimbang. Jakarta, pada puncak macet pagi, kecepatan mobil rata-rata hanya 7-15 km/jam. Dengan 9,6 juta jiwa, pengguna moda kereta listrik di bawa 5 persen. “Karena itu, pekerjaan konstruksi MRT (Mass Rapid Transit, kereta bawah tanah) di DKI masuk dalam 5 projek MPA Flagship,” papar Hatta.

Apa Jakarta bisa? Orang mudah protes? Gampang marah? Dan ketika warga atau yang mengatasnamakan waga berdemo, pemerintah mundur? Pembangunan pending? “Harus tegas, harus diatur dengan baik, harus punya perencanaan yang matang, dan dicari solusi-solusi kreatif. Jakarta dan Bodetabek harus dimulai, menuju kota yang memiliki karakter civilization. Beradap. Ukurannya, tingkat kecemasan turun sampai titik paling rendah. Saya yakin, 1000 persen, kita bisa. Ini untuk kepentingan warga Jakarta dan sekitarnya juga,” jawab mantan Mensesneg, Menhub, dan Menristek ini.

Ke-lima projek itu, selain MRT adalah Development Cilamaya New International Port, expansion and improvement of Soekarno Hatta Airport, Development of New Academic Research Cluster, dan Development of Sewerage System. “Soal Bandara Soekarno Hatta sedang kami bahas detailnya. Swasta menawarkan untuk membangun bandara di atas laut, sistemnya floating, meniru Jepang, diuruk, semacam pulau sendiri, lalu terkoneksi dengan Soekarno Hatta, dan terhubung dengan kereta monorel. Saya sudah lihat konsepnya, bagus sekali,” jelasnya.

Begitupun dengan pelabuhan yang akan dibangun di Cilamaya, Bekasi. Jika ditarik garis lurus dari Tanjung Priok, Cilamaya itu tidak jauh, hanya 7 kilometer, menyeberangi teluk. Tahun 2020, diharapkan sudah terealisasi. “Saya ingin, kawasan itu menjadi smart city, kawasan baru, pemukiman baru, kawasan industry baru, bukan daerah yang selama ini dimanfaatkan untuk pertanian. Ini yang kita jaga iramanya, agar Jepang terus tertarik membangun kawasan tersebut, dengan komposisi 55 persen swasta,” ungkap Hatta yang juga Ketua DPP PAN itu.

Mengapa Jepang begitu tertarik bermitra di bidang ekonomi, perdagangan, infrastruktur, dan teknologi? Sementara, banyak problem internal yang sampai sekarang belum beres? Seperti ketenaga kerjaan, pertanahan, dan tabrakan peraturan yang kerap menyandera projek pembangunan? “Itulah PR kita. Itulah yang harus kita selesaikan dengan cepat. Itu juga muncul dalam pembicaraan tingkat menteri, terutama soal outsourching dan serikat buruh yang beberapa kali sempat mengancam mogok kerja,” ujar Hatta. (dk/bersambung)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Sisi Lain Monas, Ikon Jakarta yang Semakin Tak Aman bagi Pengunjungnya


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler