Khawatir Bocorkan Rahasia, Urung Foto Bareng sang Aktor

Sabtu, 03 Agustus 2013 – 03:15 WIB
Pandu Birantoro, eks asisten director serial film Superman Smallville, saat di temui di international Desaign School Jakarta. Foto: Dian Wahyudi / JAWA POS

jpnn.com - FILM serial televisi Smallville kini sukses menjaring penggemar di banyak negara. Sineas muda asal Indonesia, Pandu Birantoro, beruntung berkesempatan menimba ilmu di produksi serial Superman tersebut sebagai assistant director.  

----------
 DIAN WAHYUDI, Jakarta
----------
 
Raut wajah jajaran produser yang dikomandani Steven S. DeKnight hari itu tak cerah. Jadwal produksi episode Justice di session sembilan secara umum yang telah disusun sangat rapi berpotensi jadi berantakan.

BACA JUGA: Lahirkan 35 Dai, Tiga Qari, Empat Hafidz

Saat itu segmen penting yang menggambarkan pertemuan Clark Kent, tokoh pemeran sisi manusia dari Superman, dengan superhero lainnya yang punya kemampuan berlari supercepat Barry Allen (The Flash) terancam gagal syuting sesuai jadwal. Hujan disertai angin kencang yang mengguyur wilayah sekitar Vancouver, Kanada, sehari sebelumnya menjadi penyebab.

Rencana lokasi take gambar, tempat keduanya di-setting bertemu, ikut basah. Akibatnya, gudang di salah satu bagian rumah Clark yang sebagian besar bangunannya terbuat dari kayu itu tidak mungkin lagi dipaksakan untuk dijadikan lokasi syuting sesi tersebut.

BACA JUGA: Dalam Sekejap Langsung Dapat 80 Klien

Jalan keluar atas kondisi itu lalu dicari. Para asisten produser dan sutradara, termasuk Pandu, kemudian diberi tugas khusus untuk bisa menemukan lokasi pengganti secepatnya. Mereka lantas berpencar.

Berdasar hasil pencarian, tim khusus itu berhasil menginventaris setidaknya delapan titik lokasi yang dianggap punya kemiripan dengan bangunan gudang milik Clark. Tapi, tidak semua anggota tim membawa pulang usulan lokasi."

BACA JUGA: Mengenal Komunitas Blues, Relax, and Kongkow-Kongkow Time (BreakTime)

"Saya termasuk yang ikut menemukan," kisah Pandu Birantoro saat ditemui Jawa Pos di kampus International Design School (IDS), Jakarta, akhir pekan lalu. Pandu adalah salah seorang pengajar di kampus itu.

Mereka yang berhasil pulang dengan membawa usulan lokasi alternatif syuting kemudian wajib mempresentasikan di depan unit director. "Tak disangka, usul saya yang baru beberapa hari gabung di tim produksi Smallville ternyata yang disetujui. Jujur, rasanya bangga banget waktu itu," kata pria kelahiran Jakarta, 16 Maret 1986, tersebut.

Ketika diterima ikut membantu sebagai assistant director, tugas utama Pandu memang lebih pada manajemen lokasi. Selain harus mencari dan menemukan lokasi-lokasi syuting paling tepat dan kemudian mempresentasikannya, anak pertama di antara dua bersaudara itu juga turut mengurus perizinannya.

"Intinya, saya mendapat banyak pelajaran penting ketika terlibat di tim yang beranggota orang-orang hebat di Smallville," katanya.

Salah satunya, ungkap Pandu, pelajaran tentang totalitas menghadirkan suatu karya terbaik. Menurut dia, sudah menjadi sesuatu yang jamak di Amerika Serikat bahwa rentang pengerjaan satu episode sebuah serial televisi bisa memakan waktu cukup lama, sekitar 10-12 hari.

"Bandingkan dengan penggarapan sinetron di Indonesia yang satu episode bisa dituntaskan dalam sehari semalam," ucapnya sambil tersenyum kecut.

Profesionalitas lingkungan kerja industri perfilman Hollywood yang diterapkan dalam produksi serial film Smallville dirasakan dan dialami langsung oleh Pandu. Meski berada di ranah produk berkesenian, industri perfilman di sana sudah tak ubahnya dengan industri yang bergerak di bidang pertambangan. Penghargaan terhadap kru film, mulai honor yang layak hingga jaminan asuransi, sangat diperhatikan.

Tapi, lanjut dia, semua yang didapat kru di kiblat perfilman dunia tersebut tetap sebanding dengan totalitas yang dipersembahkan. "Mematuhi kontrak kerja tertulis itu seperti bukan sekadar kewajiban di sana, tapi sudah menjadi kebutuhan bersama," ujar pemuda yang akrab dengan kacamata dan sisiran rambut ke samping itu.

Tak terkecuali, Pandu terbawa suasana yang menjunjung tinggi profesionalitas tersebut. Misalnya, terkait dengan salah satu isi kontrak bahwa seluruh kru wajib menjaga kerahasiaan isi "dapur" saat produksi berlangsung. Saking pentingnya unsur kerahasiaan itu, setiap kru termasuk aktor tidak pernah mendapat skrip adegan atau cerita secara utuh. Skrip diberikan adegan per adegan.

Begitu pula dalam pengambilan gambar. Baik itu gambar statis maupun gambar gerak wajib diberi serial number yang rigid. Itu dilakukan untuk memudahkan tracking ketika ada gambar yang bocor keluar, misalnya, di internet.

Sebagai anak muda yang sejak kecil hobi baca komik, termasuk Superman, Pandu sempat sangat ingin bisa foto bareng Tom Welling (aktor pemeran Clark Kent/Superman, Red). Namun, sebagaimana kru lainnya, keinginan itu tidak bisa dilakukannya. Dia khawatir keinginannya tersebut bisa dianggap membocorkan kerahasiaan produksi.

"Padahal, kesempatan untuk foto bareng itu beberapa kali saya dapatkan. Tapi, ya itu, tidak kesampaian. Baru terpikir lagi setelah balik ke Indonesia," ucap Pandu sambil tertawa.

Pandu terlibat dalam produksi serial Smallville setelah memutuskan untuk terbang ke Kanada sekitar awal 2004. Demi mengejar impian yang dipendam sejak kecil, selepas lulus SMA, dia bertekad untuk bisa melanjutkan pendidikan di sekolah film. Keinginan awal adalah bisa masuk di salah satu sekolah di Amerika Serikat.

"Tapi, waktu itu agak susah masuk ke sana. Mungkin masih ada fobia peristiwa nine eleven (tragedi Menara Kembar 11 September 2001, Red)," katanya.

Pilihan akhirnya jatuh di Vancouver Film School, Kanada. Setelah mengajukan apply disertai contoh karya film pendek semasa SMA, Pandu mendapatkan fellowship meski tidak penuh untuk sekolah di sana.

Vancouver menjadi pilihan bukan tanpa alasan. Sebab, selama ini, karena biaya pajak yang lebih murah, banyak film Hollywood yang proses syutingnya dilakukan di Kanada. Atas dasar itu pula, Vancouver yang merupakan salah satu pusat film di Kanada kerap disebut sebagai North Hollywood.

Saat-saat akhir menyelesaikan studinya itulah, Pandu mencari peluang untuk bisa mendapat pengalaman kerja. "Saya pikir, sayang kalau tidak dapat pengalaman (kerja) apa-apa di sana (Vancouver, Red). Sebab, hitung-hitungan saya waktu itu, saat studi selesai, visa juga habis," ujar cucu mantan Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Ashadi Tjahjadi tersebut.

Berdasar latar belakang keluarga, Pandu memang lebih banyak dibesarkan di keluarga penerbang. Selain mendiang kakeknya yang mantan orang nomor satu di jajaran TNI-AU, ayahnya seorang pilot, mantan pemilik Sabang Merauke Air Charter (SMAC).

Latar belakang itu pulalah yang menginspirasi impian terbesarnya untuk suatu saat bisa memproduksi film khusus tentang mantan KSAU Omar Dhani. Dia adalah salah seorang tokoh yang selama ini distigma ikut terlibat dalam gerakan 30 September 1965.

"Bagi saya, patriotisme beliau patut dimunculkan agar bisa menjadi inspirasi bagi generasi muda sekarang. Beliau itu sosok yang ada di wrong time dan wrong place," tuturnya.

Saat ini Pandu terhitung aktif berkarya dalam perfilman Indonesia. Berposisi sebagai behind the scene producer, dia menangani beberapa box office film Indonesia. Di antaranya, film Negeri 5 Menara dan film Killers yang dibintangi Luna Maya dan Oka Antara.

Saat ini, di rumah produksi yang didirikannya bersama teman-temannya, Pandu serius mempersiapkan proyek film layar besar perdananya. "Sekitar Januari tahun depan insya Allah sudah aktif syuting. Sekarang masih casting-casting dan lain-lain," ujarnya.

Hasil karya Pandu juga telah memenangi beberapa penghargaan. Misalnya, Piala Maya untuk film Omnibus Sinema Purnama bekerja sama dengan beberapa sineas muda Indonesia. Selain di Indonesia, filmnya, Euphoria, tayang di berbagai negara seperti Prancis dan Kanada. (*/c10/ari)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Pilih Singapura agar Bisa ke Amerika


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler