Khawatir Sultan Dibisiki Setan, Kiai NU Jogja Tolak Sabdaraja

Rabu, 03 Juni 2015 – 23:55 WIB

jpnn.com - JOGJA –  Sabdaraja yang dikeluarkan Sultan Hamengku Bawono Kasepuluh pada 30 April bukan hanya menimbulkan kegelisahan di internal Keraton Jogja. Sebab, keresahan juga melanda dirasakan para kiai  Nahdatul Ulama (NU) di Daerah Istimewa Yogyakarta (DI).

Wakil Ketua Tanfidiyah Pimpinan Wilayah Nahdatul Ulama (PWNU) DIY,  Jadul Maula mengungkapkan, para kiai memersoalkan keputusan Sultan HB Kasepuluh menanggalkan gelar sayidin panatagama khalifatullah. “Ada kesalahan apa kok gelar diubah, dan diganti?” ujar Jadul seperti diberitakan Radar Jogja, Rabu (3/6).

BACA JUGA: Empat Oknum Polisi Terlibat Narkoba, Kriminolog : Itu Tamparan Besar Bagi Polri

Sebelumnya, selar sultan dari  HB I hingga HB IX dilanjutkan HB X adalah Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sul-tan Hamengku Buwono Sena-pati Ing Ngalaga Ngabdurrak-hman Sayidin Panatagama Khalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping Sedasa Ing Ngayogyakarta Hadiningrat. Namun sekarang bertepatan dengan usia 27 tahun HB X naik takhta, diubah menjadi Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Sri Sultan Hamengku Bawono Ingkang Jumeneng Ka-sepuluh Suryaning Mataram Senapati Ing Ngalaga Langgeng Ing Bawono Langgeng, Langgeng Ing Toto Panotogomo.

Menyikapi itu Jadul menegaskan, para kiai tidak terima gelar itu diubah.  Perubahan nama dan gelar yang menurut HB X  didasarkan atas dawuh (perintah) dari  Gusti Allah melalui leluhur, kata Jadul, justru  bisa menyesatkan karena menyimpang dari akidah Islami.

BACA JUGA: Diduga Mencuri Ikan, Dua Kapal Malaysia Ditangkap

“Klaim  itu dikhawatirkan bersifat distortif, mengandung ilusi syaithoniyah, dan sarat kepentingan pribadi,” jelas Pengasuh Ponpes Kali Opak Piyungan, Bantul ini.

BACA JUGA: Gubernur Ini Pasrahkan Nasib Pejabatnya yang Terlibat Trafiking di Meja Hukum

Sultan, lanjut Jadul, bisa saja mendapatkan inspirasi dan aspirasi dari mana saja. Mulai dari orang terdekat, hingga ilham dari Allah atau bahkan mimpi.

Tapi ketika akan memakainya sebagai acuan untuk menetapkan kebijakan, katanyam harus dipikirkan dampaknya. “Kemaslahatan harus menjadi pertimbangan utama, raja harus berhitung cermat baik, dan buruk yang diakibatkan,” terangnya.

Jadul lantas merinci satu per satu gelar untuk Sultan Jogga. Misalnya, gelar ngabdurakhman menunjukkan posisi sultan sebagai raja, tapi tetap hamba Tuhan. Gelar itu membatasi sultan supaya tidak bertindak otoriter.

Sedangkan makna sayidin panatagama berarti tugas menciptakan kehidupan umat beragama supaya tetap harmonis. “Gelar-gelar ini penting untuk menjamin keamanan, ketentera-man, dan keharmonisan. Ada stigmatisasi perubahan gelar terhadap Islam,”  paparnya.

Sedangkan salam penjelasan tertulis PWNU Jogja berjudul “Kontroversi Sabdaraja Sultan HB X”, para kiai berharap agar gelar-gelar yang sebelumnya disandang Raja Jogja tetap dipertahankan. PWNU merasa memiliki kewajiban moral dan sosial untuk mengingatkan hal itu karena punya hubungan historis yang kuat dengan  Keraton Jogja.

Berdirinya Keraton Jogja sebagai penerus dinasti Mataram Islam tidak bisa dilepaskan dari peran para kiai. Jadul mencontohkan keberadaan pondok pesantren di Mlangi, Sleman yang didirikan KH Nuriman atau RM Sandiyo yang tak lain salah satu saudara Pangeran Mangkubumi atau HB I.(jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Jenazah Kernet Truk yang Terjun Bebas Diduga Terjepit di Dasar Waduk


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler