jpnn.com - Pilkada Serentak 2018 tak lama lagi digelar. Provinsi Jawa Timur menjadi salah satu daerah yang menarik diamati, karena pemilihan gubernurnya akan menghadirkan pertarungan sengit antara dua tokoh sentral Nahdatul Ulama (NU), yaitu Saifullah Yusuf versus Khofifah Indar Parawansa.
Gus Ipul -panggilan kondang Saifullah—sebelumnya telah dua periode menjabat wakil gubernur Jatim. Untuk Pilkada 2018, dia berpasangan dengan Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas yang dikenal sebagai sosok muda inovatif.
BACA JUGA: Kemensos Gerak Cepat Tangani Korban Gempa Tasikmalaya
Sementara Khofifah saat ini menjabat sebagai menteri sosial. Untuk mengimbangi Anas sebagai pasangan Gus Ipul, tokoh Muslimat NU itu menggandeng Bupati Trenggalek Emir Dardak yang atraktif.
Sebagai Mensos, Khofifah bukan menteri yang tak punya prestasi. Setidaknya itulah persepsi publik sebagaimana temuan survei Poltracking dan Populi, Oktober 2017.
BACA JUGA: La Nyalla-Anang Bisa Kalahkan Gus Ipul dan Khofifah
Dalam survei itu, responden menempatkan Khofifah sebagai Menteri Terbaik Kedua di Kabinet Kerja Tahun 2017 mengungguli Menteri Keuangan Sri Mulyani. Selain hasil survei tersebut, Khofifah juga berhasil membawa Kemensos meraih peringkat pertama realisasi anggaran (November 2017) sebesar 90,87 persen dibandingkan kementerian/lembaga lainnya. Capaian kinerja keuangan yang positif tersebut menunjukkan bahwa perencanaan anggaran berjalan efektif.
Demikian halnya dengan penggunaan anggaran yang sudah sesuai dengan jadwal penggunaannya. Sejak setahun terakhir Kemensos dipercaya untuk mengelola APBN, khususnya dalam pemberian bantuan sosial.
BACA JUGA: Gerindra Siapkan Langkah jika La Nyalla Gagal Cari Pengusung
Dari sisi jangkauan ke warga miskin, terjadi peningkatan signifikan penerima bantuan Program Keluarga Harapan (PKH) dari 4 juta Keluarga Penerima Manfaat (KPM) menjadi 10 juta KPM. Selain itu terjadi peningkatan pula penerima program Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT) dari 1,28 KPM menjadi 10 KPM.
Atas kinerja APBN yang postif itu, pada alokasi 2018, Kemensos mendapatkan peningkatan anggaran fantastis, yakni sebesar Rp 41,2 triliun atau naik sekitar 58,06 persen dari alokasi tahun 2017.
Passion di Jatim
Dengan track record positif Khofifah di Kemensos seperti itu, banyak kalangan mempertanyakan alasannya yang utama mau kembali turun di Pilkada Jatim. “Kalau di Mensos berprestasi, ngapain ke Pilkada Jawa Timur yang belum tentu menang?”, begitu pikir banyak orang.
Namun, Khofifah tampaknya memiliki alasan sendiri. Dan itu tentunya sah-sah saja dalam demokrasi.
Menurut analisis penulis, Khofifah memiliki passion tersendiri terhadap Jawa Timur. Disinyalir, ketua umum Muslimat NU itu ingin menyelesaikan “misi yang belum tuntas” di sana.
Sejarah mencatat, Khofifah dua kali “kalah” di Pilkada Jatim sebelumnya oleh pasangan yang sama, yakni Sukarwo – Gus Ipul. Kekalahan Khofifah terasa berbeda karena diiringi persaingan ketat dengan Soekarwo hingga detik terakhir.
Dan episode ini berlangsung dua kali, saat Pilkada 2008 dan 2013. Pada Pilkada Jatim 2008, kemenangan Soekarwo bahkan harus melalui tiga putaran dengan hasil akhir 50,20 persen untuk Soekarwo – Gus Ipul dan 49,80 persen untuk Khofifah – Mudjiono.
Dramatisnya, pada hari H pemilihan, semua hasil quick count lembaga survei justru memenangkan Khofifah dengan selisih tipis pula. Menurut hitung cepat Lembaga Survei Indonesia (LSI), Khofifah memperoleh suara sebanyak 50,44 persen, sedangkan Soekarwo 49,56 persen.
Sementara itu versi Lingkaran Survei Nasional, Khofifah mengumpulkan 50,76 persen suara dan Soekarwo 49,24 persen. Perbedaan hasil ini yang membuat profil politik Khofifah naik di mata sejumlah kalangan.
Dia memang kalah di Pilkada 2008. Namun, menteri negara pemberdayaan perempuan di era Presiden Abdurrahman Wahid itu kalah secara terhormat, dengan kepala tegak. Lima tahun berselang pada Pilkada Jatim 2013 Khofifah kembali maju menantang Soekarwo yang notabene patahana.
Menghadapi lawan berat dan banyaknya kandidat, Khofifah tetap bisa memberikan perlawanan sengit meski lagi-lagi berada di urutan dua dengan 37,76 persen suara. Soekarwo kembali menang dengan suara 47,91 persen.
Apa yang bisa kita petik dari perjalanan politik seorang Khofifah?
Pertama, dia profil politisi perempuan dengan stamina politik luar biasa. Bagaimana tidak, jarang sekali politisi mampu terus eksis dan merajut karier politiknya setelah dua kali kekalahan menyakitkan.
Namun, itu tak berlaku bagi Khofifah. Pasca-kalah pada dua Pilkada Jatim, dia tetap berdiri tegak sembari menyangga karier politiknya sendiri. Tak ada kesan baperan atau putus asa.
Dalam skala yang berbeda, mungkin mirip dengan The Iron Lady, Margareth Teacher, Perdana Menteri Inggris yang dikenal sebagai pemimpin perempuan dunia yang keras dan konsisten dengan pendiriannya. Khofifah yang tak mudah tumbang, justru ia tetap istiqomah meniti karier politiknya, jatuh, bangun, bangkit kembali, hingga mencapai kursi Mensos seperti saat ini.
Kedua, Khofifah adalah seorang demokrat sejati. Kala kalah kontroversial di Pilkada Jatim 2008, Khofifah menempuh langkah hukum dan tidak melakukan perlawanan di luar koridor hukum. Itu menunjukkan bahwa ia memaknai demokrasi bukan sekedar prosedur, melainkan nilai-nilai yang menjungjung tinggi etika dan suara (kedaulatan) rakyat.
Begitu pun saat Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengesahkan pasangan Soekarwo – Gus Ipul, tak ada perlawanan berlebihan dari pendukungnya. Padahal di banyak Pilkada di Indonesia, kerap terjadi benturan di lapangan yang dimulai dari kandidat yang tidak puas dengan mekanisme demokrasi yang ada.
Ketiga, politikus dalam demokrasi politisi bisa “mati” berkali-kali. Itu ditunjukkan ketika Khofifah kalah di Pilkada 2008 dan 2013. Ia mundur sebentar dari arena, namun tidak benar-benar hilang.
Sambil berkontemplasi dan evaluasi, pada saat yang sama ia menyusun strategi berikutnya untuk arena pertarungan selanjutnya. Begitulah seharusnya seorang politisi di era demokrasi.
Menyikapi kemenangan dan kekalahan sebagai hal yang biasa saja—karena itulah meture-nya demokrasi. Yang terpenting adalah menyerap dan memegang amanat pendukungnya, untuk dijalankan di medan pengabdian di masa yang akan datang.
Keempat, Khofifah memberi contoh kepada kita tentang bagaimana menjadi negarawan di era modern. Tak perlu banyak pidato untuk menjadi profil yang demikian. Cukup tunjukkan dengan sikap nyata, maka publik akan menilainya. Bukan hanya publik, lawan dan rival juga akan segan bila kita bisa menjadi negarawan.
Itu setidaknya terlihat saat sebuah foto tersebar di dunia maya baru-baru ini, di mana Khofihah berpose dengan Presiden Keenam RI Keenam yang juga Ketua Umum Partai Demokrat (PD) Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Soekarwo di Cikeas. Ternyata saat itu Soekarwo “mengantarkan” Khofifah bertemu SBY sekaligus menerima mandat resmi dari PD untuk Pilkada Jatim 2018.
Tak terbayangkan dua sosok yang dulu bertarung dua kali, sengit dan panas, bisa saling mendukung saat ini. Hanya jiwa kenegarawanan yang bisa menutup amarah, dendam dan sakit hati. Khofifah sedikit banyak memiliki itu.
Kini kita tunggu apakah Khofihah akan benar-benar mundur dari Mensos, posisi yang sebenarnya menempatkan dirinya di confort zone. Ataukah ia akan menjemput takdirnya sebagai politisi, bertarung dan bertarung untuk menuntaskan misi politiknya yang lama tertunda : memimpin dan memperjuangkan terwujudnya kesejahteraan bagi rakyat Jawa Timur.
Tak lama lagi kita akan membaca narasi baru dari seorang Khofifah Indar Parawansa.(***)
*Penulis adalah direktur eksekutif Developing Countries Studies Center (DCSC)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Gerindra Usung La Nyalla di Pilgub Jatim, tapi Pakai Syarat
Redaktur : Tim Redaksi