jpnn.com, JAKARTA - Wakil Presiden terpilih 2019-2024 KH. Ma'ruf Amin diragukan mampu sekuat Jusuf Kalla dalam hal kepemimpinan dan penguasaan ekonomi. Ma'ruf dianggap hanya sebagai penyeimbang dari serangan hoaks kepada Joko Widodo di Pilpres 2019.
Ketua Umum Serikat Media Siber Indonesia (SMSI), Auri Jaya, mengatakan Ma'ruf Amin dipilih Jokowi sebagai wakil presiden hanya sebagai penyeimbang suasana politik pada Pilpres 2019. Kala itu, Jokowi dianggap antiislam dan komunis.
BACA JUGA: KSPSI Minta Keamanan Jelang Pelantikan Jokowi - Maruf Diperketat
"Pak Ma'ruf tampil hanya jadi penyeimbang suasana politik. Tapi di samping itu, Pak Ma'ruf ternyata saat pidato pintar juga," kata Auri dalam diskusi bertajuk Yang Bertahan dan Yang Terbuang di Kantor Pimpinan Pusat Kolektif Kosgoro, di Jakarta Pusat, Jumat (11/10).
Mengenai kepintaran antara JK dengan Ma'ruf, Auri mengaku tidak bisa membandingkannya. Direktur JPNN.com ini justru melihat Jokowi memilih Ma'ruf agar bisa menangkal radikalisme.
BACA JUGA: Istana Bahas Pelantikan Jokowi-Maruf, Relawan Antusias
"Apa se-strong JK yang kuat di ekonomi, kami tidak tahu. Kalau Ma'ruf mungkin kuat di santri. Tetapi yang kita khawatirkan bukan Ma'ruf, melainkan keluarganya yang sudah mulai kasak-kusuk (politik)," kata Auri.
Sementara itu, Direktur Eksekutif SMRC Sirojudin Abbas menilai Ma'ruf tidak akan sekuat JK sebagai wakil presiden. Dia bahkan menilai Jokowi sebenarnya lebih nyaman dengan Mahfud MD.
BACA JUGA: Lembaga Kajian CSTT Evaluasi Kinerja Kabinet Jokowi - JK, Begini Catatannya
"Ma'ruf itu pragmatis, pedagang juga dia. Bahwa dia pedagang kebijakan, pedagang kewenangan, dia politikus," kata dia.
Dia juga menilai Ma'ruf tidak dipandang di kampungnya. Hal itu melihat kekalahan Ma'ruf di tanah kelahirannya, Banten. "Harusnya dihormati, tapi enggak menang," tambah dia.
Di samping itu, Sirojudin menilai Mustasyar PBNU itu merupakan pemain politik. Ma'ruf, menurut dia, selalu tampil bukan ancaman di hadapan semua pihak, tetapi pelobi yang ulung di belakang.
"Dia bisa negoisasi. Problem solver mungkin bisa, tetapi tidak ekonomi. Pemain yang tepat misal dalam isu gelombang radikalisme atau tuntutan ekonomi Islam," jelas dia. (tan/jpnn)
Redaktur & Reporter : Fathan Sinaga