jpnn.com - SUDAH lima tahun berlalu. Tapi, kenangan tentang peristiwa itu masih begitu basah dalam ingatan Bripka Yuli Muji Lestari. ”Hati saya seperti remuk setiap mengingatnya,” katanya akhir pekan lalu.
Laporan Miftakhul F.S, Surabaya
============================
BACA JUGA: Singgahi Khatulistiwa Ujung Timur di Pulau Kawe
Peristiwa tersebut menyangkut perilaku tidak wajar seorang bapak yang tinggal di kawasan Surabaya Barat. Sebagai bapak yang seharusnya mengayomi dan melindungi anak-anaknya, pria itu malah tega menyetubuhi dua anaknya.
Tidak sekali-dua kali. Perbuatan cabul tersebut terjadi bertahun-tahun. Mulai kedua anaknya masih SD hingga mereka berseragam putih abu-abu. Ketika tindakan menyimpang itu terungkap pada 2009, Yuli yang mendapat tanggung jawab menyidiknya.
BACA JUGA: Ikin Sodikin, Kolektor Surat Kabar dan Majalah Tempo Dulu
Berhari-hari perempuan 35 tahun tersebut harus berhadapan dengan bapak bejat bin maksiat itu. Setiap keterangannya digali sekaligus didengarkan Yuli. Mulai motif, cara bapak abnormal tersebut melakukan perbuatannya, sampai adegan demi adegan persetubuhannya.
Kata-kata yang meluncur sebagai keterangan pria itu membuat perasaan Yuli campur aduk. Marah, geram, dongkol, jijik, bahkan ingin memukul serta memaki pria tersebut beradu di dalam hatinya. Tapi, di sisi lain, Yuli harus terus bertanya dan bertanya secara dingin agar mendapat keterangan maksimal untuk kesempurnaan berkas acara penyidikan (BAP).
BACA JUGA: Tidak Peduli meski Ditentang Godfather Psikiatri
Yuli pun hanya bisa memendam gejolak hatinya. Padahal, sekadar melihat wajah pria tersebut, Yuli seakan ingin memuntahkan amarahnya. ”Saya benar-benar tidak habis pikir dengan perbuatannya. Kenapa sampai begitu? Kok begitu teganya dia merusak kehidupan dan masa depan anak-anaknya,” ujar Yuli mengenang kasus yang ditanganinya lima tahun silam tersebut.
Apalagi, menurut perempuan asal Kediri tersebut, dua anak yang menjadi korban itu cantik-cantik dan cerdas. ”Kasus itu yang paling membuat saya trenyuh selama menjadi penyidik di unit PPA. Tidak hanya itu, saya juga sulit melupakannya,” ungkapnya.
Saat menangani kasus tersebut, Yuli tidak saja menempatkan diri sebagai penyidik. Dia juga merasa duduk sebagai korban. ”Sebab, saya juga memiliki dua anak perempuan dan turut merasakan betapa pedihnya hati kedua korban,” sebutnya. Apalagi Yuli beberapa kali berbincang dengan kedua perempuan yang menjadi korban perbuatan menyimpang bapaknya. Ketika berbincang itu, tidak jarang air matanya jatuh.
Namun, cerita itu jelas bukan satu-satunya kisah di balik penyidikan yang dilakukan Yuli. Ada ratusan cerita lain yang pernah dialami istri Bripka Sutrisno tersebut. Sebab, sudah ratusan kasus yang melibatkan anak-anak dan perempuan, baik sebagai korban maupun pelaku, yang ditangani Yuli. Setiap bulan Yuli setidaknya menyidik empat sampai lima kasus. Dua di antaranya kasus pencabulan.
Banyaknya kasus yang ditangani itu seiring lamanya Yuli duduk sebagai penyidik PPA. Perempuan yang dulu bercita-cita menjadi dokter tersebut sudah 13 tahun menjadi penyidik PPA. Yuli menjadi penyidik PPA sejak 2001, tiga tahun setelah dirinya berseragam polisi. Dengan masa waktu tersebut, Yuli tercatat sebagai penyidik terlama di Unit PPA Satreskrim Polrestabes Surabaya.
Cerita lainnya yang juga menguras emosi dan perasaan Yuli terjadi setahun sebelumnya. Ketika itu dia menangani kasus penjualan bayi oleh orang tuanya sendiri. Kasus tersebut menimpa seorang perempuan di daerah Balongsari yang menjual dua bayi kembar laki-lakinya lantaran impitan ekonomi. ”Saat menyidik, saya merasakan sedih, kasihan, dan jengkel sekaligus,” katanya.
Dia sedih karena anak yang dijual tersebut sangat lucu dan imut-imut. Kesedihannya juga disebabkan tidak kuasa mendengar cerita si ibu yang merasa tidak mampu merawat anaknya karena hidup serba pas-pasan. Tapi, di sisi lain, Yuli jengkel karena si ibu tega menjual anak-anaknya yang sejatinya merupakan anugerah itu.
Namun, cerita-cerita yang mampir kepada Yuli selama menjadi penyidik PPA tidak melulu tentang kejengkelan dan rasa geram. Tidak sedikit pula cerita tentang rasa kikuk yang dihadapi Yuli. Cerita tersebut datang ketika tahun pertama dirinya menjadi penyidik. Apalagi saat itu Yuli masih melajang.
Pada awal-awal menjadi penyidik PPA, Yuli berhadapan dengan kasus-kasus pencabulan. Kewajibannya sebagai penyidik tentu menggali keterangan sebanyak-banyaknya dari pelaku dan korban. ”Karena keharusan itu, boleh dibilang saya matang sebelum waktunya,” ujarnya, kemudian diikuti tawa.
Ya, saat statusnya masih lajang, Yuli harus bertanya detail tentang alat kelamin hingga penetrasi yang dilakukan pelaku pencabulan atau pemerkosaan. Adegan demi adegan syur yang dijalankan pelaku juga harus ditanyakan sekaligus disimaknya. Meski sudah coba ditolak, adegan demi adegan tersebut melekat di pikirannya sehingga dirinya tidak jarang terbayang-bayang.
Yuli juga sering kikuk ketika harus menyebut alat kelamin, terutama milik laki-laki. ”Awal-awal saya sering menggunakan nama anu. Tapi, hal itu sering tidak dimengerti,” kenangnya. Hal itu memaksanya untuk berani menyebut nama alat kelamin lawan jenisnya. ”Waktu itu saya merasa malu dan wajah saya memerah saat menyebutkannya,” imbuhnya.
Karena itu, pada masa-masa tersebut, Yuli sering meminta tolong rekan-rekan kerjanya jika harus bertanya tentang itu. Tapi, seiring berjalannya waktu, rekan-rekannya menyarankan untuk lebih berani. Mereka juga tidak segan berbagi pengalaman dalam bentuk tutur kata tentang hubungan suami-istri. Lama-lama Yuli akhirnya tidak lagi kikuk. Bahkan, saat ini dia yang justru menjadi tempat belajar para penyidik lainnya.
Menjadi penyidik PPA, Yuli juga memiliki kebiasaan lain jika dibandingkan dengan penyidik kasus lain. Sering saat menyidik, dia tidak hanya duduk di balik meja. Tetapi, dia juga harus mau duduk lesehan di lantai atau tempat duduk lainnya tanpa harus berhadapan dengan komputer. Tidak hanya itu, Yuli juga harus selalu sedia permen dan cokelat di laci mejanya.
Semua itu dilakukan kalau harus bertanya kepada korban yang masih anak-anak. ”Saat saya harus mengorek keterangan anak-anak, saya harus pandai-pandai membuat siasat. Sering kali saya bertanya sembari bermain atau dengan membagikan permen dan cokelat terlebih dahulu,” terangnya.
Yuli sadar bahwa anak-anak merasa tidak nyaman kalau dihadapi secara formal. Anak-anak juga pasti sulit bicara lancar kalau duduk di depan komputer sembari ditanya. Maka, jalan yang terbaik adalah mengajaknya bermain.
”Selain banyak cerita, menjadi penyidik PPA juga menjadikan saya memiliki banyak pengalaman berarti untuk mengarungi rumah tangga,” akunya. Yuli menyebut keretakan hubungan rumah tangga sering disebabkan kurangnya perhatian. Hal itu pula yang sering memicu anak menjadi pelaku atau korban pelecehan seksual.
”Karena itu, saya selalu berusaha melakukan komunikasi dengan anak-anak dan suami setiap saat. Ini efektif untuk mengontrol diri sendiri dan anggota keluarga lainnya,” paparnya. Yuli pun berpesan agar masyarakat selalu menjaga komunikasi dengan anggota keluarga demi mencegah terjadinya tindak kejahatan seksual terhadap anak. ”Kenapa begitu? Sebab, kasus pencabulan atau kejahatan seksual selalu dilakukan orang-orang dekat atau sekitar kita,” pesannya. (*/c6/dos)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Temukan Virus HIV Baru hingga Monyet Hybrid Sulawesi
Redaktur : Tim Redaksi