King Maker dan Power Broker

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Kamis, 16 Maret 2023 – 18:55 WIB
Pilpres 2024. Ilustrasi. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com - Di setiap perhelatan politik selalu muncul ‘’the king maker’’, orang-orang di balik layar maupun di depan layar yang mempunyai kemampuan untuk menjadikan seseorang menjadi presiden dan wakilnya.

Menjelang Pemilihan Presiden 2024, sudah terlihat siapa saja yang masuk dalam kategori The King Maker ini.

BACA JUGA: Yusril Sebut Hanya Koalisi Gerindra-PKB yang Solid, tetapi Tergantung PDIP

Setidaknya ada empat king maker yang bakal memainkan peran penting untuk memenangkan seorang calon presiden.

Mereka adalah Megawati Soekarnoputri, Airlangga Hartarto, Prabowo Subianto dan Surya Paloh. Keempatnya dalah ketua partai politik yang mempunyai kekuatan dan pengaruh untuk menciptakan seorang raja.

BACA JUGA: Anies Baswedan-AHY Dinilai Pasangan Ideal Pilpres 2024

Dalam sistem politik dua partai yang sederhana seperti di Amerika Serikat, Inggris, maupun Australia, persaingan politik terjadi antara garis demarkasi ideologis yang jelas.

Persaingan lebih clear cut, garis pembatasnya terlihat jelas.

BACA JUGA: Datangi Istana Merdeka, Aktivis Desak Presiden Bersih-Bersih Polri

Di Amerika, persaingan antara Partai Demokrat vs Partai Republik terjadi pada garis perbedaan ideologi.

Demikian juga persaingan antara Partai Buruh vs Partai Konservatif di Inggris.

Partai Republik lebih cenderung konservatif dan lebih dekat dengan kalangan agama, khususnya Protestan, sementara Partai Demokrat lebih liberal dan lebih dekat dengan kelompok kiri dan kalangan sekuler.

Di Inggris, Partai Konservatif lebih dekat dengan kalangan agama dan Partai Buruh lebih sekuler.

Memang ada variasi spektrum politik yang saling overlap.

Misalnya di Amerika, ada sayap Partai Republik yang sangat konservatif dan menyebut dirinya The Tea Party, atau Partai Teh.

Kelompok ini dikenal sangat pro white supremacy dan sangat anti-imigrasi. 

Akan tetapi, ada juga kelompok Rapublik yang lebih moderat dan bergeser ke tengah.

Variasi ideologis ini juga terjadi di kalangan Demokrat, tetapi tidak setajam di Republik yang saling bersaing di antara faksi-faksinya sendiri.

Di Indonesia, sistem politik memakai model presidensial seperti di Amerika. 

Akan tetapi, di Indonesia ada 17 partai politik peserta pemilu dengan ragam ideologi yang bermacam-macam.

Umumnya partai-partai itu tidak punya identitas ideologis yang jelas.

Secara umum ideologi politik di Indonesia dibagi menjadi 3, yaitu nasionalis, religius, dan perpaduan nasionalis-religius.

Di antara 3 varian ideologis itu sering terjadi overlap dan tumpang tindih sehingga pola koalisi sulit diprediksi.

Karena itu, dinamika politik di Indonesia selalu tinggi, dan pencalonan seorang capres dan wakil presiden selalu menjadi spekulasi politik yang sulit diterka.

Pasangan capres dan cawapres sering kali diputuskan pada detik terakhir, seperti kasus Jokowi-Ma’ruf Amin pada Pilpres 2019.

Mahfud MD yang sudah bersiap-siap mengikuti deklarasi sebagai cawapres dan sudah berganti baju seragam, ternyata tidak jadi dideklarasikan dan diganti oleh Ma’ruf Amin.

Peristiwa ini tidak akan terjadi dalam sistem demokrasi yang matang seperti di Amerika.

Dalam sistem Amerika, seorang calon presiden dan wakilnya mengikuti konvensi partai satu tahun sebelum pelaksanaan pilpres, sehingga publik sudah tahu kapasitas dan kapabilitas masing-masing calon.

Kasus Jokowi-Ma’ruf Amin yang unik ini mungkin hanya terjadi satu-satunya di Indonesia.

Kasus ini layak masuk dalam daftar Guiness Book of Records.

Kasus ini sangat mungkin akan terulang lagi pada Pilpres 2024 nanti.

Dalam keadaan yang penuh spakulasi dan ketidakpastian ini muncul para king maker dan power broker, atau makelar kekuasan.

Empat king maker Indonesia itu semuanya adalah pemimpin partai yang punya pengaruh untuk menentukan siapa yang menjadi presiden dan wakilnya. 

Akan tetapi, juga ada power broker yang tidak memegang kekuasaan resmi, tetapi powerful.

Tantangan yang dihadapi oleh para king makers itu sangat besar dan dilematis.

Surya Paloh dengan Partai Nasdem menjadi king maker setelah mendahului start dengan mencalonkan Anies Baswedan sebagai calon presiden.

Surya Paloh sekarang menghadapi dilema antara tetap di koalisi pemerintahan atau keluar dari koalisi.

Di satu sisi, Nasdem mengusung jargon perubahan, tetapi di sisi lain Nasdem masih tetap ingin menjadi anggota koalisi yang mendukung Jokowi sampai 2024.

Nasdem berada di persimpangan jalan untuk menentukan apakah Anies Baswedan akan menjadi penerus Jokowi, ataukah Anies akan menjadi antitesis Jokowi.

Megawati juga menghadapi dilema yang pelik sebagai king maker atau queen maker.

Sampai sekarang putri mahkota Puan Maharani masih stuck di elektabilitas sepatu, tidak beranjak dari satu persen koma sekian.

Di sisi lain elektabilitas Ganjar Pranowo terus melejit sampai lebih dari 25 persen.

Megawati tidak menutupi ambisinya untuk menjadikan sang putri mahkota sebagai capres.

Akan tetapi, PDIP akan melakukan political suicide, bunuh diri politik, kalau memaksakan Puan sebagai capres.

Dilema baru muncul dengan makin kuatnya elektabilitas Prabowo Subianto.

Muncul spekulasi menggandengkan Prabowo dengan Puan.

Kalau ini terjadi maka PDIP sebagai the winning party, partai pemenang, harus ikhlas menjadi partai kelas dua, mengalah kepada Gerindra.

Mega juga pening menghadapi dilema Ganjar Pranowo.

Kalau Ganjar tidak dipakai oleh PDIP, sangat mungkin akan disambar oleh partai lain.

Apalagi Jokowi juga terlihat sangat mengharap Ganjar bisa maju sebagai capres ataupun cawapres.

Kalau Ganjar dipasangkan dengan Prabowo, maka akan terjadi tarik-menarik siapa yang menjadi orang nomor satu dan siapa nomor dua.

Airlangga Hartarto juga menghadapi dilema, karena sebagai pemimpin partai besar elektabilitasnya masih rendah.

Sebagai calon presiden, nama Airlangga tidak mengangkat.

Satu-satunya opsi yang tersedia adalah menjadi calon wapres.

Dilemanya adalah siapa capres yang mau menggandeng Airlangga.

Ada dua kemungkinan, Airlangga digandeng oleh Prabowo, atau bisa saja Airlangga menjadi wapres Anies Baswedan.

Di tengah situasi dilematis ini muncul para power broker yang ingin memainkan perannya sendiri.

Pertemuan Luhut Binsar Panjaitan dengan Surya Paloh (14/3) menjadi indikasi pergerakan para king maker dan power broker yang makin intensif.

Surya Paloh The King Maker menghadapi Luhut The Power Broker yang mewakili kepentingan rezim. 

Spekulasi yang berkembang menyatakan bahwa Luhut ingin membujuk—dan juga menekan—Surya Paloh supaya tetap berada di kubu Jokowi dan melepas Anies.

Tentu saja ada bargaining dalam penawaran ini. Tidak ada barang gratis dalam politik. (**)


Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler