Kiprah SMK Pertanian Al-Madaniyah Melawan Ancaman Kepunahan Petani

Digunjing Tetangga karena Sekolah Bawa Cangkul

Jumat, 24 Februari 2012 – 01:04 WIB
SISWA-siswi SMK Pertanian Al Madaniyah sedang menanam padi dengan sistem mutakhir SRI. Foto : SMK Pertanian Al Madaniyah for Jawa Pos

Jumlah petani terus tergerus zaman. Nah, SMK Pertanian Al-Madaniyah muncul untuk mencetak petani-petani baru. Sekolah di pedalaman Tasikmalaya, Jawa Barat, itu bertekad meneruskan generasi petani yang terancam putus.
 
 M. HILMI SETIAWAN, Tasikmalaya

LOKASI SMK Pertanian Al-Madaniyah cukup tersembunyi. Lokasinya berada di lembah, di antara sejumlah gunung di Kampung Cibuleud, Tasikmalaya. Jarak kampung itu dengan pusat Kabupaten Tasikmalaya sekitar 20 kilometer, melewati jalan setapak yang terjal dan berbatu.
 
Sekolah tersebut jauh dari kesan mewah. SMK Pertanian Al-Madaniyah terdiri atas dua ruang kelas sederhana. Masing-masing ruang berukuran 8 x 9 meter. Ruang pertama digunakan untuk siswa kelas XI. Sedangkan kelas satunya lagi dipakai siswa kelas X. Ruang kelas X disekat menjadi dua. Satu bagian digunakan untuk ruang guru.
 
Meskipun terbatas, Kepala SMK Pertanian Al-Madaniyah Kamal Almartawi mengatakan, pihaknya tidak melupakan ketersediaan laboratorium pertanian. "Laboratoriumnya ya sawah dan kebun di sekitar sekolah," katanya. Total area persawahan dan perkebunan yang dijadikan tempat praktik para siswa sekitar 1 hektare.
 
Kamal sedang mengupayakan untuk bisa menggunakan tanah aset desa yang mangkrak seluas 25 hektare. Pria kelahiran Tasikmalaya, 7 Januari 1980, itu berharap agar tanah aset desa tersebut bisa dipinjam untuk tempat praktik siswa SMK Pertanian Al-Madaniyah.
 
Pengelola sekolah sadar bahwa mereka berada di tengah perkampungan yang didominasi penduduk kurang mampu. Sebagian besar kepala keluarga di kampung itu adalah buruh tani. Dengan kondisi tersebut, Kamal dan pengelola sekolah tidak bisa menarik SPP kepada para siswa. Sekolah akhirnya memutuskan bahwa siswa tidak dipungut biaya sepeser pun.
 
Meskipun begitu, Kamal tidak mau sekolahnya disebut menggratiskan SPP. "Kalau istilahnya gratis, nanti pendidikannya ala kadarnya. Pendidikannya bisa menjadi murahan," tegasnya. Karena itu, mereka memakai istilah investasi. Seluruh siswa wajib berinvestasi.
 
Bentuk investasi itu bukan uang. Tetapi, tenaga dan pikiran. Investasi tenaga digunakan saat para siswa menanam sayuran, pepohonan, buah-buahan, dan padi. Sementara itu, investasi pikiran digunakan saat mereka belajar di ruang kelas yang terbatas tersebut.
 
Kamal menceritakan, para siswa di sekolahnya tidak hanya menerima materi atau teori tentang pertanian di dalam kelas. Mereka justru lebih banyak praktik langsung. Alhasil, para siswa harus rela berlepotan lumpur saat menanam padi. Ikut mencangkul ketika membuat saluran irigasi. Hingga menyemai benih papaya dan pohon sengon.
 
Kamal selalu mengingatkan para siswa bahwa kegiatan praktik adalah salah satu bentuk investasi tenaga. Karena itu, hasilnya akan kembali juga kepada siswa.

Contohnya, ketika benih pohon sengon sudah agak besar dan siap jual, para siswa mendapat jatah untuk menjualnya. Biasanya dijual ke tetangga atau pasar tradisional. Nah, hasil penjualan dibagi dua. Pertama untuk para siswa, sebagian lainnya masuk kas sekolah.
 
Uang hasil panen pepohonan yang masuk ke sekolah digunakan untuk menutup biaya operasi sehari-hari. Dengan demikian, para siswa tidak lagi harus membayar SPP atau pungutan lainnya.
 
Untuk sementara, produksi pohon sengon sedang istirahat. Sebab, Kampung Cibuleud sedang mengalami krisis air. Sedangkan sumber air jauh berada di bawah lokasi sekolah itu. Mereka kekurangan biaya untuk memompa air guna menyiram benih-benih pepohonan.
 
Akhirnya, produksi pertanian beralih di pepaya california made in akademisi IPB (Institut Pertanian Bogor). Saat ini ada sekitar 200 pohon pepaya california. Setiap butir pepaya california berbobot hingga 1,5 kg. "Kata warga, pepaya hasil panen sekolah kami lebih manis daripada yang di pasar," tutur Kamal.
 
Selain itu, mereka mulai mengembangkan bercocok tanam tomat hibrida atau disebut tomat Mio F1, kangkung darat, dan kacang-kacangan. Selain itu, mengembangkan tanaman padi dengan sistem SRI (system of rice intensification) di sawah seluas 100 x 50 meter.
 
Kamal mengungkapkan, menanam padi dengan sistem SRI sedang in. Sistem itu lebih ramah lingkungan ketimbang menanam padi secara konvensional. Padi yang dihasilkan pun lebih berkualitas. "Doakan saja panen perdana nanti menghasilkan padi maksimal," tutur lulusan Institut Agama Islam (IAI) Cipasung tersebut.
 
Tantangan lain sekolah itu adalah sulit mencari siswa baru. Meski SMK Pertanian Al-Madaniyah menjadi sekolah menengah atas pertama dan satu-satunya di Kampung Cibuleud, Kamal mengatakan masih perlu promosi ke warga kampung. Sebab, rata-rata anak yang lulus SMP ogah melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Kamal pun harus rela mengunjungi orang tua calon siswa demi mempromosikan SMK Pertanian Al-Madaniyah.
 
Hasilnya, Kamal justru mendapatkan cibiran. "Orang tuanya sudah menjadi petani. Masak anaknya jadi petani juga," ucap Kamal yang menirukan ejekan tetangganya kala itu.
 
Namun, Kamal tak patah semangat. Dia bertekad bahwa siswa usia SMA di kampungnya harus bersekolah. Jangan sampai putus. Setelah memutar otak, dia memiliki ide promosi baru. Yakni, mengubah nama SMK pertanian menjadi SMK agronomi. Jadilah kemudian SMK Agronomi Al-Madaniyah.
 
"Ternyata benar. Istilah itu lebih keren bagi calon wali murid," tutur Kamal. Dia mengakui, ada sedikit unsur berbohong dalam pola promosi baru tersebut. "Tapi, berbohongnya menjadi jalan menuju surga. Ha ha ha" ucapnya.
 
Perjuangan para siswa tidak mudah. Saat menempuh perjalanan dari rumah ke sekolah dengan memanggul cangkul, mereka digunjing oleh para tetangga dan teman sebaya yang tidak bersekolah. "Kalau mau nyangkul, tidak usah ke sekolah. Buat apa ke sekolah kalau nanti berlepotan lumpur juga," ungkap Kamal yang menirukan gunjingan tersebut.
 
Kamal pun turun tangan. Dia membesarkan hati para siswanya. Dia mengatakan, yang disebut orang hebat itu adalah orang yang berbeda dari orang lain. Berbeda tentu dalam hal yang baik. "Kalian beda karena bisa sekolah. Sedangkan tetangga atau teman kalian tidak," tegas Kamal kepada para siswa.

Sampai saat ini SMK Pertanian Al-Madaniyah baru memiliki dua kelompok belajar. Yaitu, kelas X dan kelas XI. Pendirian sekolah itu merupakan inisiatif dari Ruslan Suparlan, pemuda yang diklaim menjadi sarjana pertama dari Kampung Cibuleud.

Dia mengembangkan SMK dengan berbekal sebidang tanah milik almarhum ayahnya, Suparman. "Sebelum ada SMK, saya mendirikan SMP dulu (SMP Al-Madaniyah)," jelas pria kelahiran Tasikmalaya, 16 Agustus 1978, itu.

SMK yang berdiri di atas tanah seluas 2.800 meter persegi tersebut muncul dari keresahan Ruslan. Saat lepas pisah dengan siswa SMP Al-Madaniyah pada 2006, hanya tiga di antara 37 siswa yang angkat tangan sebagai tanda niat melanjutkan ke SMA atau sederajat. Sisanya diam dan memilih tidak melanjutkan. Alasannya, SMA yang paling dekat berada 10 kilometer dari Kampung Cibuleud.

Ruslan yang juga pengajar di SMK Pertanian Al-Madaniyah berharap agar sekolah itu bisa terus hidup. Dengan demikian, ancaman kepunahan petani di kampungnya bisa dicegah. (*/c10/ca)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pengakuan Syafiil Anam, Pria yang Lolos dari si Pembunuh Berantai Mujianto


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler