Kisah Direktur Akper, Sudah Dua Tahun Berada di Samping Makam Istrinya

Rabu, 12 Juli 2017 – 07:14 WIB
H. Widodo, Direktur Akademi Keperawatan Baitul Hikmah, saat berdoa dihadapan makam istrinya di pemakaman keluarga, Kemiling, Bandarlampung, (11/7). Foto: M. Tegar Mujahid/Radar Lampung/JPNN.com

jpnn.com - Hanya kumandang azan yang bisa membuat Widodo beranjak dari sisi makam sang istri. Bahkan, rapat untuk urusan akper yang dia pimpin pun dihelat di sana. Sudah dua tahun terakhir hal itu dilakukan.

ARI SURYANTO, Bandar Lampung

BACA JUGA: Sudah 2 Bulan Istri Pulang ke Rumah Ortunya, Suami Pengin…Jadinya Begini

TAK ada dinding yang mengelilingi. Cuma terop sebagai pelindung di atas tempat tidur yang terbuat dari kayu.

Di atas tempat tidur itulah Widodo biasa merebahkan diri tiap kali merasa lelah. Bersebelahan dengan sang istri, Hamsi Demas.

BACA JUGA: Ketika Ritual Mengikat Tali di Akar Beringin Makam Loang Baloq, Peziarah Bernazar?

Hanya, belahan jiwa direktur Akademi Keperawatan (Akper) Baitul Hikmah, Kemiling, Bandar Lampung, tersebut tidak beristirahat di tempat tidur yang sama. Tapi 2 meter darinya. Di sebuah makam.

”Sampai hari ini pun anak saya tetap berusaha meminta saya pulang ke rumah. Tapi, bagi saya ini pun rumah saya,” jawab pria 69 tahun itu, lantas terkekeh.

BACA JUGA: Peziarah Kadang Doanya Sedikit Nyeleneh

”Rumah” yang dimaksud Abah Wid, sapaan akrabnya, tersebut sejatinya kawasan makam keluarga berukuran 15 x 20 meter.

Di sanalah pensiunan pegawai negeri sipil itu tinggal selama hampir dua tahun terakhir. Persisnya setelah sang istri tercinta menutup mata untuk selamanya pada 29 Juli 2015.

Tak kenal waktu, Widodo selalu berada di makam sang istri. Meski tak jarang dinginnya udara malam menusuk hingga tulang. Hanya kumandang azan yang bisa membuatnya bergeser dari makam tersebut.

Itu pun tak jauh. Sebab, musala tempat biasa dia menunaikan ibadah salat hanya berjarak sekitar 20 meter dari makam sang istri.

”Dia sudah merupakan bagian diri saya. Dengan berada di sini, saya merasa sempurna dan merasa lebih baik,” kata Abah Wid.

Sang istri yang empat tahun lebih tua darinya itu meninggal karena penyakit paru-paru. Sempat membaik setelah dirawat di Jakarta, kesehatan belahan jiwa yang telah memberi Widodo empat buah hati tersebut merosot lagi. Dan akhirnya sang istri menutup mata selamanya di Bandar Lampung.

Bagi Widodo, kepergian sang pendamping hidup itu benar-benar seperti perginya separo nyawa. Ayah Endah Widia Sari, dr Dian Widia Sari, dr M. Sirojudin, dan dr Yayu Rahmawati tersebut tak kuasa berjauhan darinya. Kendati telah berada di alam yang berbeda.

Karena itulah, Widodo hijrah ke rumah barunya tersebut. Berteman tempat tidur, lemari sederhana yang dibagi dalam empat loker, dan Alquran.

Hari-harinya pun dihabiskan untuk membaca ayat demi ayat berikut terjemahannya dengan nada lirih.

Ada memang televisi. Tapi tanpa disambung ke antena penangkap gelombang siaran. Hanya terkoneksi ke DVD player yang di sampingnya ditumpuki beberapa keping kaset nasyid serta tilawatil Quran.

Tapi, itu tak lantas berarti Abah Wid sudah sepenuhnya terputus dari dunia luar. Sesekali dia tetap berperan mendampingi Sirojudin, sang anak yang bakal ditunjuk menggantikan dirinya sebagai direktur akper.

Masih tetap di bawah tarup itu pula dia sesekali menggelar rapat dengan sejumlah penggerak akper.

Latar belakang Abah Wid memang dunia kesehatan. Alumnus Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia itu sempat menjabat kepala Bina Puskesmas Tingkat I Lampung.

Setelah pensiun, dengan bekal pengetahuan dan pengalaman, Abah Wid lantas mendirikan pondok keperawatan yang saat ini telah menjadi Yayasan Akper Baitul Hikmah. Meski belum resmi serah terima, saat ini sudah banyak perannya sebagai direktur yang dioper ke Sirojudin.

Dunia kesehatan pula yang dulu mempertemukan Abah Wid kali pertama dengan sang istri. Hamsi merupakan gurunya saat menempuh pendidikan di sekolah keperawatan.

”Jadi, memang usia istri saya sedikit di atas saya. Tapi tidak jauh. Hanya selisih empat tahun,” ujar Abah Wid.

Sejak awal pernikahan, Widodo sudah tahu riwayat penyakit asma Hamsi. Namun, kebahagiaan yang membumbui kehidupan mereka seakan sukses menjadi obat mujarab bagi sang istri.

Sehingga sangat jarang penyakit itu muncul mengganggu kesehatan istrinya.

Bagi Widodo, Hamsi adalah perempuan yang cantik luar dalam. Sang istri juga yang turut membantunya meyakinkan sang mertua bahwa dirinya akan sukses dan bisa membahagiakan putri mereka.

”Dulu awal menjadi PNS gaji saya hanya Rp 3.900. Tapi, dia menerima saya apa adanya meski bisa dikatakan penghasilan dia saat itu jauh di atas saya,” ungkapnya.

Widodo juga mengenang bagaimana Hamsi mati-matian berjuang agar ibunda Widodo bisa turut pergi berhaji bersama mereka.

Ketika itu Widodo dihadiahi berhaji gratis oleh salah seorang pejabat. Dia diperbolehkan mengajak sang istri.

Tapi, yang jadi beban pikirannya, ibunda tercinta belum sempat menginjakkan kaki ke Tanah Suci. Padahal, secara finansial, saat itu Widodo tidak berlebihan.

Tanpa ragu, Hamsi memutuskan menggunakan tabungan untuk memberangkatkan sang mertua berhaji bersama.

”Karena kurang, dia juga menjual gelang kesayangannya untuk mencukupi hingga akhirnya ibu saya bisa ikut naik haji. Sungguh, dari situ saya makin tulus dan sayang dengan istri saya,” kenangnya.

Keluhuran budi Hamsi itulah yang membuat Widodo mantap bertahan menjalani hidup bersanding dengan makam sang istri.

Untuk sekadar makan pun, dia demikian enggan beranjak. Akhirnya sang asisten rumah tangga dari rumahnyalah yang membantu mengantarkan.

Anak-anaknya tentu saja menentang dari awal keputusan sang ayah itu. Sampai sekarang pun mereka tetap membujuk Widodo agar mau pulang.

Bukan tanpa alasan anak-anaknya begitu mencemaskannya. Sebab, selain usianya yang sudah sepuh, Abah Wid pun sebenarnya memiliki riwayat darah tinggi.

Penyakit itu bahkan sudah sempat membuatnya terserang stroke yang membuat sebagian tubuhnya sulit digerakkan.

Tapi, Abah Wid bergeming. Sebab, bagi dia, berdampingan dengan makam sang istri tak hanya didasari kesetiaan.

Tapi juga bagian dari caranya untuk lebih mendewasakan para buah hati. Baik itu dalam kehidupan sehari-hari. Maupun dalam menggerakkan Akper Baitul Hikmah.

Sebuah prinsip yang menjadi komitmen bersama istrinya. Yang kini sehari-hari terus dia dampingi. Dari alam yang berbeda. (*/JPG/c9/ttg)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Usai Cekcok dengan Istri, Rakuty Ambil Tali Jemuran, Napas Berhenti


Redaktur & Reporter : Soetomo

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag
Direktur Akper   Makam   Istri  

Terpopuler