Kisah Eks Warga Binaan Lapas Narkotika Yogyakarta: Hidup Seperti di Neraka, Penyiksaan jadi Makanan Sehari-hari

Senin, 14 Maret 2022 – 19:00 WIB
Ilustrasi - Penyiksaan di Lapas Narkotika Yogyakarta. Ilustrator: Sultan Amanda/JPNN.com

jpnn.com, YOGYAKARTA - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) membongkar praktik kekerasan di dalam penjara Indonesia, tepatnya di Lapas Narkotika Kelas II A Yogyakarta. Komnas HAM, Senin (7/3) lalu, merilis temuan dari hasil investigasi atas laporan tentang dugaan praktik penyiksaan di Lapas Narkotika Yogyakarta.

Komnas HAM menyimpulkan memang benar ada serangkaian tindakan kekerasan, penyiksaan, dan penurunan martabat manusia yang dilakukan oleh oknum sipir kepada warga binaan di lapas tersebut. Peristiwa itu bahkan terjadi sejak 2020.

BACA JUGA: Kasus Penyiksaan Napi di Lapas Yogyakarta, Kadiv PAS Minta Maaf

Investigasi Komnas HAM atas kasus tersebut bermula saat beberapa mantan narapidana mengadu ke Ombudsman RI Perwakilan DIY dan Jawa Tengah pada 1 November 2021. Mereka mengaku mengalami tindakan penganiayaan dan pelecehan seksual selama menjadi warga binaan di Lapas Narkotika Kelas II A Yogyakarta.

JPNN Jogja berkesempatan mewawancarai salah seorang eks warga binaan yang mengalami dan menyaksikan sendiri bagaimana praktik-praktik penyiksaan dilakukan di dalam Lapas Narkotika Kelas II A Yogyakarta.

BACA JUGA: Komnas HAM Temukan Aksi Kekerasan dan Penyiksaan di Lapas Yogyakarta

Mas Napi (bukan nama sebenarnya) tak akan pernah melupakan saat-saat pertama kali dia menginjakkan kaki di Lapas Narkotika Kelas II A Yogyakarta. 

Dia harus menjalani hukuman sebagai warga binaan karena terjerat kasus penyalahgunaan obat-obatan terlarang. 

BACA JUGA: Kasus Penganiayaan di Lapas Yogyakarta, 5 Sipir Diperiksa

Mas Napi dengan kawalan petugas tiba di lapas yang beralamat di Jalan Kaliurang KM 17, Kecamatan Pakem, Sleman, itu sekitar pukul 11.00 WIB.

Begitu masuk ke lingkungan lapas, Mas Napi digiring sipir memasuki brandgang blok E. 

Matanya langsung tertuju pada 15 napi lainnya yang telah lebih dahulu menjadi warga binaan lapas itu.

"Mereka semua telanjang, disuruh cukur gundul. Beberapa orang saya lihat badannya penuh lebam," kata Mas Napi kepada JPNN.com, Selasa (8/3).

Petugas lapas tak mau memberi waktu lebih lama bagi Mas Napi untuk tercengang. 

Dia langsung diinterogasi, difoto, ditelanjangi, dan menyusul ke-15 napi lainnya untuk dicukur gundul.

Setelah itu, mereka disuruh berjalan jongkok tanpa alas kaki di aspal. 

Masih dalam kondisi telanjang bulat, Mas Napi dan warga binaan lainnya dijemur selama dua jam.

"Setelah itu langsung masuk ke got. Kami disiram dengan air dari selang," ujar Mas Napi sebagaimana dilansir jogja.jpnn.com

Setelah mandi, Mas Napi pikir penderitaannya akan segera berakhir. 

Namun, saat itu, bertepatan dengan pergantian sif regu petugas lapas.

Kehadiran regu baru yang bertugas menjelang sore, membuat Mas Napi harus menerima siksaan untuk kedua kalinya pada saat yang sama.

Setelah mandi, mereka diminta kembali berjalan jongkok dan sujud di atas aspal yang panas.

"Kepala, lutut, kali, semua harus menempel aspal. Kalau tidak pasti akan dicambuk. Disuruh sujud, lama sekali. Kaki saya sampai bengkak dan kapalan," kenang Mas Napi.

Belakangan, Mas Napi baru tahu bahwa setiap regu yang baru bertugas pasti akan mengulangi apa yang dilakukan oleh regu sebelumnya. 

Setiap hari terjadi tiga kali pergantian sif dengan dua regu berbeda. 

Jika ada warga binaan yang "dihukum" oleh regu pagi, kata dia, dapat dipastikan yang bersangkutan akan menerima hal serupa saat regu sore masuk.

"Kami dijadikan hiburan. Mereka itu tertawa-tawa saat kami disiksa," ucap Mas Napi.

Apa yang dialami Mas Napi pada hari pertamanya adalah sebagian kecil dari serangkaian penyiksaan yang akan dialaminya selama enam bulan ke depan.

Setiap hari, kata Mas Napi, pasti ada saja warga binaan yang menerima tindak kekerasan.

"Kalau enggak digebuki, ya, dengar orang digebuki. Setiap hari seperti itu, pasti ada yang teriak kesakitan," ujar dia.

Berdasarkan cerita warga binaan yang lebih senior, ucap Mas Napi, Lapas Narkotika Kelas II A Yogyakarta menjadi seperti itu sejak 2020, saat ada pergantian kepala lapas. 

Pemimpin yang baru ingin menerapkan disiplin ala-ala militer bagi para warga binaan. 

Kebijakan tersebut seolah menjadi pembenaran bagi sipir untuk memperlakukan warga binaan secara tidak manusiawi, apa lagi sejak pandemi Covid-19 para napi tidak boleh dijenguk langsung oleh keluarga mereka. Selama enam bulan, Mas Napi sama sekali tidak pernah bersua dengan sanak keluarganya.

"Paling sesekali kami diberi kesempatan video call, itu pun dijaga oleh petugas. Kalau kami berbicara yang macam-macam, pasti akan kena gebuk lagi," ucapnya.

Di dalam lapas, kata Mas Napi, warga binaan dipaksa untuk tunduk sepenuhnya kepada sipir. 

Jika ada yang protes atau sekadar bertanya tentang hukumannya, akan digebuk dan dijadikan tontonan bersama warga binaan lainnya.

“Menatap mata sipir pun tidak boleh. Berbicara sama sipir harus menunduk. Kalau kedapatan menatap mata petugas pasti dapat hukuman," ujar dia.

Menurut dia, petugas lapas sangat senang mencari-cari kesalahan warga binaan. 

Kesalahan kecil, misalnya terlambat sedikit dari kegiatan atau ketahuan mencamil makanan di luar jam makan, pasti akan berujung pada penyiksaan.

"Pernah ada yang ketahuan menemukan paku di dalam sel, satu blok dihukum. Padahal, paku itu memang sudah lama berada di dalam sel," tutur Mas Napi.

Dia membenarkan apa yang disampaikan oleh Komnas HAM tentang adanya penyiksaan dan penurunan martabat manusia di Lapas Narkotika Kelas II A Yogyakarta.

Mas Napi mengalami dan menyaksikan sendiri serangkaian tindakan tersebut. Dia pernah diinjak menggunakan sepatu PDL hingga kuku jempol kakinya mengelupas. 

Dia juga sempat dikurung di ruang isolasi selama tiga bulan penuh tanpa pernah melihat matahari.

Mas Napi menyaksikan sendiri kekerasan yang lebih keji menimpa teman-temannya, seperti dicambuk, ditendang yang sudah menjadi makanan sehari-hari.

"Teman saya ada yang disuruh makan pepaya sama daun-daunnya. Kalau muntah saat dihukum, disuruh memakan kembali muntahannya. Ada yang disuruh ona*i dan disaksikan beramai-ramai," kata dia.

Jika dihukum mandi di got, cerita Mas Napi, mereka pasti disuruh telanjang bulat dan disiram menggunakan air dari selang. 

Ironisnya, mereka dipaksa berjoget dan menunjukkan ekspresi bahagia dengan ancaman cambuk jika tak mematuhi instruksi tersebut.

"Koe seneng ora? Lah, nek seneng piye ekspresine?" kata Mas Napi, menirukan ucapan sipir.

Mas Napi senang mengetahui bahwa apa yang terjadi di Lapas Narkotika Kelas II A Yogyakarta kini sudah diketahui publik. 

Dia berharap hal serupa tidak menimpa warga binaan di lapas tersebut untuk ke depannya.

"Kami memang salah dan menerima untuk menjalani hukuman, tetapi apa ya harus seperti itu? Apa hubungannya kesalahan kami dengan meminum air kencing atau memakan muntahan?" kata dia.

Mas Napi mengaku kapok dan bertekad tidak akan pernah kembali lagi ke sana. 

Sampai sekarang dia trauma setiap kali mendengar suara pintu ditendang atau keributan saat malam hari. 

Ingatannya langsung tertuju pada Lapas Narkotika Kelas II A Yogyakarta.

"Benar-benar seperti di neraka. Kalau masuk ke sana, seperti tidak ada harapan untuk keluar hidup-hidup. Pokoknya sudah pasrah," tutup Mas Napi mengakhiri kesaksiannya.

Setelah ketahuan, apa tindakan selanjutnya?

Saat konferensi pers rilis hasil investigasi, Ketua Tim Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM Wahyu Pratama Tamba mengungkapkan sembilan tindakan penyiksaan dan kekerasan fisik terhadap warga binaan di Lapas Narkotika Kelas II A Yogyakarta. 

Wahyu mengatakan telah terjadi praktik pemukulan, baik menggunakan tangan kosong maupun menggunakan alat, seperti selang, kabel, alat kelamin sapi, dan kayu. "Pencambukan menggunakan alat pecut dan penggaris, ditendang, dan diinjak-injak dengan menggunakan sepatu PDL," kata Wahyu Pratama.

Selain itu, lanjut dia, Komnas HAM juga mencatat delapan tindakan perlakuan buruk yang merendahkan martabat manusia, mulai dari memakan muntahan makanan, meminum dan mencuci muka menggunakan air seni, serta pencukuran atau penggundulan rambut dalam posisi telanjang.

Tindakan itu, kata dia, setidaknya terjadi di 16 titik lokasi, antara lain di brandgang (tempat pemeriksaan pertama saat warga baru masuk lapas), blok isolasi pada kegiatan masa pengenalan lingkungan (mapenaling), lapangan, setiap blok-blok tahanan warga binaan, aula bimbingan kerja (bimker), kolam ikan lele, serta ruang P2U dan lorong-lorong blok.

"Waktu terjadinya penyiksaan pada saat warga baru masuk dalam lapas dalam kurun waktu 1-2 hari, masa pengenalan lingkungan dan saat melakukan pelanggaran," kata dia.

Atas temuan itu, Koordinator Bidang Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM Endang Sri Melani menyatakan pihaknya merekomendasikan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Hamonangan Laoly agar segera melakukan pemeriksaan terhadap siapa pun yang melakukan atau mengetahui tindakan penyiksaan namun tidak mengambil langkah untuk mencegah.

Sejumlah pihak yang direkomendasikan untuk diperiksa, antara lain sipir lapas, penjaga pintu utama, maupun eks kepala KPLP periode 2020, serta pihak-pihak terkait lainnya. "Jika ditemukan adanya pelanggaran hukum, ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku," katanya.

Direktur Pusat Studi Universitas Islam Indonesia (Pusham UII) Yogyakarta Eko Riyadi angkat bicara terkait penemuan Komnas HAM tersebut. Eko memastikan apa yang dialami oleh warga binaan di Lapas Narkotika Yogyakarta, tidak bisa dibenarkan dengan alasan apa pun.

Dia menegaskan bahwa Indonesia telah meratifikasi konvensi menentang penyiksaan di lapas dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1998. "Pemerintah harus segera bergerak memerintahkan kepada aparatur penegak hukum untuk melarang tindakan penyiksaan dalam seluruh sistem kerjanya," ujarnya kepada JPNN Jogja pada Selasa (8/3).

Menurut Eko, apabila yang dilaporkan Komnas HAM benar, tindakan yang dilakukan oknum petugas tersebut mengarah pada tindak pidana. "Selain pemindahan petugas, proses pidana juga harus dilakukan untuk mempertanggungjawabkan perbuatan yang dilakukan," katanya.

Terkait adanya praktik penyiksaan di Lapas Narkotika Kelas II A Yogyakarta tersebut, Kepala Divisi Pemasyarakatan Kanwil Kemenkumham DIY Gusti Ayu Putu Suwardani memastikan bahwa pihaknya akan menindaklanjuti temuan Komnas HAM. 

"Mohon maaf atas kelalaian yang diduga telah dilakukan oleh beberapa oknum petugas terhadap beberapa warga binaa Lapas Narkotika Yogyakarta," kata Ayu, Senin (7/3).

Dia mengatakan Kanwil Kemenkumham DIY telah terlebih dahulu melakukan langkah yang direkomendasikan Komnas HAM, antara lain memeriksa beberapa oknum petugas yang diduga terlibat.

"Memindahkan lima oknum petugas yang disinyalir melakukan kekerasan ke kantor wilayah, menetapkan pejabat sementara dan merotasi beberapa petugas untuk menetralisasi situasi dan kondisi," katanya.

Inspektur Jenderal Kemenkumham Razilu mengatakan bahwa dalam waktu dekat pihaknya akan mengumumkan sanksi apa yang akan dijatuhkan terhadap oknum sipir tersebut. 

"Pasti semua pelanggaran akan kami teliti sedemikian rupa. Sudah melakukan pemeriksaan dan dalam waktu dekat akan kami keluarkan semacam hukuman disiplin," kata Razilu saat mengunjungi Lapas Kelas IIA Wirogunan Yogyakarta, Kamis (10/3). (mar3/jpnn) 

Pada Senin lalu (7/3), Komnas HAM merilis temuannya dari hasil investigasi atas laporan tentang praktik penyiksaan di Lapas Narkotika Yogyakarta.

Artikel ini telah tayang di jogja.jpnn.com dengan judul: 
Kesaksian Eks Warga Binaan Lapas Narkotika Yogyakarta: Berbulan-bulan Hidup Seperti di Neraka


Redaktur & Reporter : Boy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler