jpnn.com - Endang, salah seorang penggugat Undang-Undang (UU) Perkawinan, menceritakan pengalaman kelamnya kepada Jawa Pos, Sabtu (15/12). Dia dipaksa menikah saat berusia 14 tahun. Kini dia dan korban lain berharap peraturan pengganti UU Perkawinan segera disusun dan disahkan.
Endang ingat betul saat usianya menginjak 14 tahun. Waktu itu dia masih kelas I SMP. Perempuan asli Indramayu itu dipaksa orang tuanya menikah. Padahal, dia tidak kenal dengan calon suaminya. ”Saya takut. Tidak kenal kok jadi suami saya,” ungkap Endang yang kini berusia 36 tahun itu.
BACA JUGA: Begini Repons Menag soal Batas Minimal Usia Pernikahan
Tidak seperti pengantin pada umumnya, tak ada rasa bahagia saat hari pernikahan tiba. Yang Endang rasakan hanya ketakutan dan rasa marah. Dia masih ingin belajar. Endang ingin bermain seperti teman-temannya yang lain. ”Tapi, saya tidak bisa menolak. Tidak bisa protes,” ucapnya.
Saat menikah, usia Endang dituakan menjadi 18 tahun. Hal tersebut dilakukan untuk memperlancar urusan administrasi. UU Perkawinan memang mensyaratkan usia mempelai perempuan minimal 16 tahun.
BACA JUGA: Ini Alasan MK Tidak Tetapkan Batas Minimal Usia Pernikahan
Yang mengatur penambahan umur Endang adalah keluarga calon suami dan perangkat desa setempat. ”Saya heran kenapa penghulu juga mau-mau saja,” cetusnya.
Kala itu suami Endang adalah duda yang memiliki satu anak. Usianya sudah 37 tahun. Sebenarnya suaminya lebih pantas menjadi pamannya. Pernikahan yang digelar keluarga Endang mulanya disebabkan situasi ekonomi.
BACA JUGA: MUI Tegas Tolak Revisi UU Perkawinan
Keluarganya termasuk golongan kurang berada. Sedangkan suaminya adalah pengusaha es.
Hari-hari pascapernikahan tidak membuatnya bahagia. Selain putus sekolah, Endang harus mengasuh anak tirinya. Endang tak bisa bermain lagi dengan teman-temannya. Untuk kebutuhan sehari-hari, dia per hari diberi uang Rp 20 ribu.
Untuk anak usia 14 tahun, tentu organ reproduksinya masih belum siap. Namun, dia harus tetap melayani suaminya. Itu menjadi pengalaman buruk bagi Endang. ”Akhirnya ibu saya pun menyesal telah menikahkan saya,” ungkapnya.
Endang tak ingin nasib buruk tersebut menimpa anak-anak lainnya. Ketika mengikuti seminar di desanya, dia terketuk untuk membantu. Dia dengan sukarela menjadi pihak yang menggugat UU Perkawinan. Ada dua orang lain selain Endang. ”Ini harus dihentikan,” tegasnya.
Putusan MK memang membawa angin segar. Sayang, waktu yang diberikan MK kepada DPR untuk mengubah UU Perkawinan terlalu lama, tiga tahun. Apalagi, kini sedang musim pemilu. Dia khawatir penguasa tak menghiraukan putusan MK.
”Kami juga menyusun (draf rancangan, Red) perppu yang sudah diserahkan ke presiden. Tapi belum mendapatkan respons,” bebernya.
Program Manager Plan International Indonesia James Ballo mengatakan, pernikahan dini merupakan salah satu pintu kekerasan terhadap anak. Bahkan, risiko eksploitasi seksual komersial juga menghantui mereka.
Anak yang menikah dapat dipastikan putus sekolah. Sehingga untuk mendapatkan kebutuhan hidup yang layak pun sulit. ”Akibatnya bisa masuk ke prostitusi,” ujarnya.
Deputi Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Sri Danti Anwa mengungkapkan hal senada. Dia menyatakan, pernikahan anak berbahaya secara fisik. Sebab, organ reproduksi anak belum siap.
Selain itu, secara psikis pun anak belum siap sehingga rawan perceraian dan kekerasan. ”Anak juga harus berhenti sekolah,” katanya. (lyn/c9/oni)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Putusan PTUN Terkait Gugatan OSO Mengoreksi Pertimbangan MK
Redaktur & Reporter : Soetomo