jpnn.com, JAKARTA - Jenderal TNI (Purn) Dr H Moeldoko mendapat julukan sebagai anak dusun yang berkarier cemerlang.
Selain melejit dikarirnya sebagai Panglima TNI, pria kelahiran Kediri, Jawa Timur, 8 Juli 1957 itu belakangan tengah fokus untuk mengembangkan sektor pertanian di Indonesia.
BACA JUGA: Moeldoko: Mahasiswa Menumpuk di Jawa dan Sumatra
Dunia pertanian bukan hal asing baginya karena Moeldoko merupakan anak seorang petani.
Kisah Moeldoko ini tertuang dalam buku yang berjudul "Panglima TANI Moeldoko: Anak Dusun Yang Jadi Negarawan".
BACA JUGA: Oso: Moeldoko Sibuk, Konsentrasinya Pecah     Â
Kesuksesan Moeldoko dikarirnya saat ini, tidak instan begitu saja didapatnya. Moeldoko lahir dari keluarga miskin sehingga sejak kecil terbiasa kerja keras dan berjuang. Dulu, orang tuanya serba kekurangan untuk membiayai anak-anaknya yang cukup banyak.
"Sering saya ambil ubi dari kebon sebelah (rumah) dulu," ceritanya dalam buku tersebut.
BACA JUGA: Moeldoko Ingatkan Guru Jangan jadi Provokator
Sebagai anak langgar, dalam hidup yang serba prihatin, Moeldoko menghadapinya dengan lebih banyak mendekatkan diri kepada yang maha kuasa.
Dia sering bertirakat dengan melaksanakan puasa sunah setiap Senin dan Kamis. Hal itu terus dilakukannya secara rutin walau pun sambil membantu kakaknya mengangkat batu dan mengangkut pasir dari sungai. Meski serba kekurangan, orang tuanya berharap anak-anaknya jadi orang berguna.
Moeldoko tak pernah berhenti belajar. Selain sering mengikuti pendidikan kemiliteran di lingkungan TNI termasuk Lemhannas, Moeldoko juga terus menimba ilmu di dunia pendidikan umum. Itulah yang mengantarnya meraih gelar doktor ilmu administrasi pemerintahan dari Universitas Indonesia.
Sejak itu pada namanya selalu disematkan gelar Dr Moeldoko. Ayahnya mendidik Moeldoko dengan keras. Sementara ibunya membimbingnya dengan penuh kasih sayang dan kelembutan. Karena itu dia bisa tegas namun juga dapat memiliki empati pada lingkungannya.
Moeldoko termasuk melejit dalam karirnya.
Sejak kecil dirinya sudah bercita-cita menjadi tentara. Maka ketika lulus SMA ia kemudian masuk Akabri. Setelah lulus kariernya melejit sejak menjabat Kasdam Jaya (2008).
Pada 2010, dia mengalami tiga kali rotasi jabatan dan kenaikan pangkat mulai dari Pangdiv 1/Kostrad (Juni-Juli 2010), menjadi Pangdam XII/Tanjungpura (Juli-Oktober 2010) dan Pangdam III/Siliwangi (Oktober 2010-Agustus 2011).
Tak sampai dua bulan berikutnya, Moeldoko naik pangkat menjadi Letnan Jenderal dengan jabatan Wakil Gubernur Lemhannas.
Kemudian pada Februari 2013 Moeldoko menjadi Wakasad dan naik lagi jadi Kasad pada 22 Mei 2013 dengan pangkat bintang empat (jenderal). Lalu, tiga bulan berikutnya setelah menjabat Kasad, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menetapkannya sebagai calon tunggal Panglima TNI.
“Sikap saya sangat jelas, tegas, dan tidak kenal kompromi dalam menjaga kedaulatan NKRI. Saya Jenderal TNI Moeldoko siap memimpin TNI," ujarnya kala itu saat fit and propertest.
Saat pensiun dari TNI, Moeldoko ditunjuk menjabat sebagai ketua umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) periode 2017 hingga 2020.
Selama menjabat sebagai ketua, Moeldoko berharap HKTI bisa menjadi mitra strategis dan positif pemerintah dalam hal ketahanan pangan bagi rakyat dan pemerintah Indonesia.
Karena dinilai kredibel dan berpengalaman, setelah sekitar tiga tahun pensiun dari TNI, Moeldoko dilantik oleh Presiden Joko Widodo sebagai Kepala Staf Presiden (KSP) menggantikan Teten Masduki pada 17 Januari 2018 lalu.
Salah satu filosofi hidupnya yang ia pegang teguh adalah “Urip iku urup”. Hidup itu harus menghidupi. Intinya, hidup harus memberikan manfaat bagi orang lain, baik itu berupa hal-hal kecil maupun hal besar. Filosofi Jawa tersebut menjadi pegangan hidup Moeldoko.
Jenderal bintang empat ini beprinsip, hidup harus bermanfaat bagi orang lain.
“Setiap hari harus memberikan manfaat,” ucapnya.(chi/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Moeldoko Pengin Lengser dari Wakil Ketua Wanbin Hanura
Redaktur & Reporter : Yessy