Kisah Kecerdasan dan Kenekatan ala Anak Medan

Senin, 28 Mei 2012 – 02:26 WIB
Foto: Soetomo Samsu/JPNN

ORANG Batak sukses bukan hal yang menarik untuk diceritakan. Kesuksesan orang Batak yang diraih dari nol, dari hidup kere, juga sudah biasa, dialami banyak orang. Tapi sukses yang diawali dari perlawanan pola didik orang tua keras dan kaku, dari keluarga berada dan terhormat, rasanya jarang.
------------------
Soetomo Samsu-Jakarta
------------------
Cum Laude Gunung Salak, adalah sebuah buku kisah biografi Prof.Ir.H.Lutfi Ibrahim Nasoetion, Msc.,PH.D. Pria kelahiran Padang Sidempuan, 3 Mei 1947, yang pernah menjabat sebagai Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) pada 2001.

Dia satu-satunya anak laki-laki Haji Djohan Nasoetion, mantan Kepala Jawatan Karet Rakyat untuk Provinsi Sumut, di era kekuasaan Belanda. Dalam buku yang ditulis wartawan senior IzHarry Agusjaya Moenzir, ada sekelumit sejarah marga Nasution, kaitannya dengan marga Rangkuti.

Cerit-cerita ringan semasa masih remaja, saat di Medan, juga diselipkan sebagai bagian kisah sukses pria yang SD hingga SMA-nya di Medan ini. Dia alumni SMAN 4 Medan tahun 1965.

"Jika malas ke Lapangan Merdeka, di tengah perjalanan pulang saya suka mampir di pakter tuak dekat kuburan Jalan Sei Wampu. Di sana ada penyanyi yang saya kagumi. Namanya Nuhun Situmorang. Jika sudah minum empat gelas, dia langsung angkat suara, menyanyi lantang dengan gitarnya seperti troubadour. Tak ada capeknya, bisa sampai dua-tiga jam dia bersenandung. Saya merasa sendu mendengar alunan suaranya dalam lagu Na Sonang Do Hita Na Dua dan Dung Di Tonga Borngin. Untuk menyanyi lagu Pulau Samosir biasanya dia naik ke atas meja. Saya yang duduk jauh di bawah pohon, menonton melalui jendela, juga ikut bertepuk tangan. Karena jika saya masuk ke pakter, saya sudah pasti diusir. Ini tempat orang dewasa, bukan buat anak-anak."

Begitu kalimat gaya bertutur yang tertulis di buku yang kemarin (27/5) siang dilaunching di sebuah hotel mewah di Jakarta. Dengan enteng, pria yang juga pernah menjabat Wakil Kepala BPN ini juga bercerita tengang kisah asmaranya.

Buku ini juga sangat cocok dibaca para alumni SMA, yang baru saja lulus UN tahun ini. Kemauan keras Lutfi, yang sudah bertekad meninggalkan Medan untuk merantau menuntut ilmu ke Jawa, menjadi hal menarik dan sangat inspiratif. Keinginan ibunya yang menghendaki agar Lutfi menjadi dokter, dengan kuliah di Fakultas Kedokteran di USU, diturutinya dengan ikut tes seleksi. Namun, dia sengaja tidak menjawab soal-soal tes.

"Tanpa antusias saya buka kerja ujian. Saya baca dengan hampa. Tidak ada semangat menjawabnya meski soal-soal yang diajukan itu terlihat sederhana. Saya bisa menjawabnya. Cuma jika saya jawab dengan benar, saya pasti akan lulus tes ini, saya pasti akan kuliah di Kedokteran. Itu artinya saya tidak bisa ke Jawa dan selamanya akan menjadi penjaga Sungai Deli di Kampung Keling. Halaahh! Maka sesuai rencana sejak lama, saya tidak mau menjawab tes itu. Saya tak mau mengisinya dengan benar. Biarkan saja saya salah." Begitulah Lutfi cerita dalam bukunya itu.

Singkat cerita, dia kuliah di Institut Pertanian Bogor. Kecerdasannya pun dipuji mantan dosen pembimbing skripsinya di IPB, Prof Dr Ir Oetit Koswara. Oetit yang sudah sepuh itu, memberikan testimoni, bahwa skripsi Lufti ditulis dalam bahasa Inggris. "Dia mendapat predikat cum laude dan skripsinya ditulis dalam bahasa Inggris, tanpa saya minta. Dia hebat," ujar Oetit yang kemarin hadir di acara launching buku itu.

Pujian kepada mantan Ketua Jurusan Tanah Fakultas Pertanian IPB itu juga disampaikan Jenderal (Purn) Luhut Panjaitan. Luhut mengaku sering mendapat undangan hadir di acara peluncuran buku biografi tokoh. Namun dia mengaku sangat jarang hadir karena menurutnya banyak tokoh yang tak jelas, tidak konsisten. "Tapi begitu ini undangan dari Pak Lutfi, saya hadir. Karena orang ini hebat, orang jujur," puji Luhut, lugas dari atas mimbar.

Penulis buku, IzHarry Agusjaya Moenzir, yang juga anak Medan, mengatakan, buku biografi Lutfi ini sangat bergaya Medan. Baik dari gaya bahasannya yang khas, maupun tutur kata spontanitasnya. "Bahkan kekasarannya pun masih natural. Banyak sekali dialek gaya Medan di buku ini," ujar Bang Iz, panggilan akrabnya. Saat menulis, dia dibantu Iman Mulia Rosidi, yang juga seorang jurnalis senior.

Sejumlah tokoh antara lain mantan Ketua BPK Anwar Nasution, termasuk para pengajar di IPB, juga hadir di acara peluncuran buku.

"Siapa pun tak bisa memutuskan dengan masa lalu. Dia paling hanya bisa mengatakan, "selamat tinggal"," ujar Lutfi, saat didaulat naik podium. ***


BACA ARTIKEL LAINNYA... Menyaksikan Pameran Serba-Bali di Mal-Mal Swiss


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler