Sebagai jujukan wisata internasional, Bali tak asing bagi warga asing. Tak heran bila pameran tentang budaya dan produk Bali di Swiss menarik perhatian. Wartawan Jawa Pos SUPRIANTO yang sedang melawat ke Eropa melihat antusiasme warga setempat dalam mengunjungi pameran itu.
= = = = = = = = = = = = =
SUARA gamelan khas Bali lamat-lamat terdengar dari pusat perbelanjaan elite di Bern, ibu kota Swiss, akhir pekan lalu. Irama berbagai tetabuhan yang menyuguhkan harmoni musik tradisional Bali itu diikuti gerakan tiga penari yang membawakan tari pendet.
Keluarga Nyoman Rutzer yang menabuh gamelan pun tampak semringah. Mereka makin bersemangat begitu melihat para pengunjung memperhatikan dengan saksama pentas tari di Globus, salah satu stan terbesar di mal Westside, itu.
"Sesuai tema, semua harus serba-Bali. Tidak hanya barang yang kami pamerkan, kesenian yang ditampilkan juga harus bernuansa Bali," ujar Nancy Oberholzer, manajer Globus Westside.
"Bali sudah tidak hanya milik orang Indonesia, tapi milik semua. Milik mereka yang menyukai keindahan alam dan kultural," tambah Nancy.
Sejak 26 April lalu hingga Juni nanti, di beberapa pusat perbelanjaan di Swiss memang digelar pameran tentang Bali. Penyelenggaranya toko serbaada (toserba) Globus.
Tidak main-main, kali ini Globus menyelenggarakan pameran semacam secara serentak di 15 gerainya. Selain di Bern, juga di Basel, Zurich, dan Jenewa. Di Bern, pameran dilangsungkan di dua gerai Globus, yakni di Westside dan Spitalgasse yang berlokasi di dekat kota tua (old town).
Bagi pusat perbelanjaan yang berdiri sejak 1892 itu, Bali merupakan komoditas ekonomi yang layak jual. Hal tersebut dibuktikan dengan terus bertambah besarnya transaksi perdagangan sejumlah produk khas Pulau Dewata itu di Swiss.
Manajemen Globus memang bertekad membuat nuansa Bali secara total di gerainya. Misalnya yang terlihat di Globus Westside. Di pintu masuk pusat perbelanjaan empat lantai itu, tersaji berbagai ornamen khas Bali. Antara lain, payung, hiasan janur, dan aroma dupa yang biasa digunakan untuk peranti persembahyangan umat Hindu. Dua perempuan yang berdandan tradisi Bali menyambut tamu di depan pintu.
Tidak hanya dipajang, payung-payung cantik itu dijual dengan banderol bervariasi, sesuai dengan ukuran dan tingkat kerumitan membuatnya. Ada juga patung, taplak meja, sarung bantal, manik-manik, kelambu, sangkar burung, dan berbagai barang khas Bali lain.
Aneka perlengkapan rumah tangga, misalnya keramik, lesung, meja, hingga peralatan makan dan minum, juga dijual. Harganya mulai CHF 10 (franc Swiss) hingga CHF 300 (sekitar Rp 3 juta dengan kurs CHF 1 = Rp 10.000). "Selain memamerkan produk khas Bali, kami juga berjualan," jelas Nancy.
Pengunjung pun tampak antusias mengagumi barang-barang yang dipamerkan. Yang paling menarik perhatian justru sandal karya Ni Luh Djelantik. Sebab, sandal rancangan desainer muda Indonesia itu beberapa kali dipakai artis Julia Roberts. Bintang Hollywood tersebut kerap memakai sandal Ni Luh Djelantik saat syuting film Eat Pray Love yang berlatar di Bali pada 2009.
Berapa harga sandal "Julia Roberts" itu? Ternyata, lumayan mahal. Globus mematok harga CHF 120 atau sekitar Rp 1,2 juta. Selain Julia Roberts, sandal itu dipakai top model dunia Gisele Bundchen.
Nancy mengatakan, faktor Julia Roberts dan Gisele Bundchen-lah yang membuat sandal itu menarik perhatian pengunjung. Apalagi, cover brosur yang dibuat Globus memuat foto Gisele Bundchen dalam ukuran setengah badan sembari mengenakan baju khas Bali.
Keterangan di dalam brosur juga menyebutkan bahwa Julia Roberts dan Gisele Bundchen mengenakan sandal karya Ni Luh Djelantik itu. "Desain sandalnya memang sangat bagus dan artistik," terang dia.
Dinginnya cuaca di Swiss tak menghalangi niat orang untuk "menyerbu" sandal-sandal Ni Luh. Buktinya, selama tiga minggu pameran digelar, sandal "Julia Roberts" sudah laku lebih dari 40 pasang.
"Terus terang, saya belum pernah ke Bali. Tapi, lihat barang-barangnya, saya jadi tertarik untuk pergi ke sana," ujar Adeliz, salah seorang pengunjung yang membeli sandal yang dipakai pasangan Richard Gere dalam film Pretty Woman tersebut.
Selain sandal, yang tak kalah menarik adalah baju-baju perempuan rancangan Anja Sun Suko. Anja adalah desainer dari Swiss yang cukup lama tinggal di Bali. Pantaslah kalau dia paham mengenai kultur Bali. Termasuk dalam urusan mode.
Apalagi, perempuan bule yang bersuami pria Bali itu juga paham mengenai produk yang diinginkan konsumen Globus. Itu terlihat dari bahan-bahan yang dia gunakan. Misalnya, bahan untuk gaun panjang model kemben yang dikenakan banyak turis asing saat menikmati suasana pantai di Bali. Untuk pengunjung chain department store
terbesar di Swiss itu, Anja memakai bahan chiffon crepe yang lembut melayang dengan warna-warna khas Bali. Selain sifon, dia menggunakan bahan-bahan katun yang tak kalah lembut.
Pameran itu juga memajang tampah (yang biasa digunakan para perempuan di pedesaan untuk mengayak beras). Hanya, tampah yang dipamerkan sudah dimodifikasi. Ada juga wadah beras dan wadah bumbu-bumbu dapur yang terbuat dari rotan serta wadah dari seng yang motifnya dibuat dengan cara ditatah sehingga mirip dengan barang cetakan yang di-emboss timbul.
Ada pemeo yang menyebut, belum ke Bali kalau belum membeli patung dan barang-barang ukir-ukiran. Pemeo itu tak diabaikan manajemen Globus. Buktinya, di situ ada juga patung-patung khas Bali. Mulai dipan (ranjang kayu) berukir, kursi, hiasan dinding, hingga patung.
Khusus untuk patung, Globus tidak menjual patung yang dipelitur cokelat seperti yang umum kita temui di Bali, melainkan yang permukaannya agak keputihan, mirip dengan motif kayu yang digunakan para pelukis di sana sebagai frame. Bentuk patungnya pun tidak seperti aslinya di Bali, tetapi sudah kontemporer.
Sebagai pelengkap, Globus juga menampilkan menu kuliner Bali. Yang menarik, yang memasak bukan orang Bali, melainkan warga Swiss yang sudah cukup lama (sejak 1990) menetap di Bali. Yakni, Heinz Von Holzen. Heinz adalah chef terkenal di Restoran Bumbu Bali.
Menu-menu yang dipamerkan, antara lain, nasi goreng Bali yang per porsi dibanderol CHF 25 (Rp 250 ribu). Ada pula nasi kuning dengan harga CHF 4 per 100 gram, sambal udang yang dibanderol CHF 10 per 100 gram, lawar Bali yang dihargai CHF 9 per 100 gram, dan berbagai menu lain. Ada juga es cendol serta buah-buahan khas tropis. Antara lain, pepaya, jambu, salak, dan mangga.
Hadirnya kuliner Bali di mal Westside tidak cuma menarik perhatian pengunjung yang mayoritas warga Swiss. Beberapa di antara mereka juga sempat mencicipinya meski dalam porsi kecil. Sejumlah warga Indonesia yang tinggal dan sedang pergi ke Swiss pun memanfaatkan event itu untuk melepas rindu dengan kuliner Bali.
"Saya tahu ada pameran ini karena sering belanja di Westside. Kebetulan, saya sudah sangat lama tidak makan sate ayam. Karena itu, sekalian cari makan di sini," ujar Adriawan, orang Indonesia yang sudah dua tahun bekerja di Swiss.
Selain menikmati menu sate ayam, dia membeli T-shirt bercorak Bali dengan tulisan "Balifornia Dreaming". Harganya CHF 200 atau sekitar Rp 200 ribu.
Beberapa snack khas Bali juga ikut dipamerkan. Di antaranya, kacang Bali, lapis legit, kerupuk, dan beberapa jenis bumbu dapur. Termasuk, beras punel merek Ratu. Gerobak bakso yang langsung didatangkan dari Indonesia juga ikut dipamerkan dan dijual seharga CHF 1.300 atau sekitar Rp 13 juta.
"Rombong bakso ini sudah laku. Pembelinya orang Swiss sendiri. Dia mengaku membeli rombong bakso bukan untuk berjualan bakso, tapi hanya untuk pajangan," ujar Budiman Wiriakusumah, staf KBRI Bern.
Dalam pameran tentang Bali kali ini, foto-foto tentang Bali, baik tentang gambar panorama alam Pulau Dewata maupun bangunan arsitektur Bali, ikut ditampilkan. Hasil jepretan yang dinamai Bali Living itu pun diharapkan menjadi guidence bagi warga asing yang ingin tahu tentang seluk-beluk tempat wisata paling eksotis di Indonesia tersebut.
Duta Besar RI untuk Swiss Djoko Susilo mengaku senang dengan adanya pameran besar tentang Bali itu. Menurut dia, di antara sekian produk Indonesia yang mempunyai pasar di Swiss, produk dari Bali termasuk salah satu favorit. Bahkan, dari tahun ke tahun, jumlah ekspor barang Indonesia ke Swiss terus meningkat.
"Pameran ini sangat penting untuk lebih mengenalkan produk dan kultur Indonesia. Apalagi, Bali yang hampir pasti sudah tidak asing lagi bagi warga Swiss," kata Djoko.
"Maka, KBRI men-support penuh dan kami fasilitasi untuk mendatangkan produk-produk asal Bali itu. Kami berharap, ke depan ada pameran dengan tema lain, tidak hanya Bali," ucap dia. (*/c11/ari)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pernah Main di Piala Dunia, Tak Merasa Jadi Pemain Spesial
Redaktur : Tim Redaksi