Dalam usianya yang baru 16 tahun, Tanzil Alil Umam tak lebih dari seorang remaja, yang menangis menahan nyeri. Dia kini terbaring di rumah sakit, setelah menderita luka bakar akibat ledakan pabrik kembang api di Kosambi, Tangerang, akhir Oktober 2017.

Saudaranya duduk di sampingnya, sesekali menyeka air mata yang terus mengalir membasahi pipi Tanzil.

BACA JUGA: Promosi Anti Vaksin Di Situs Pemkot Sydney Dipertanyakan

Ketika jurnalis ABC tiba di Rumah Sakit Umum Kabupaten Tangerang, pakn lalu, Tanzil baru saja selesai menjalani operasi keenam pada luka bakar yang dideritanya.

Tanzil bisa dibilang beruntung karena selamat dari kebakaran yang menewaskan lebih dari 50 pekerja yang kebanyakan wanita.

BACA JUGA: Meme Terbaru Tentang Ketua DPR Setnov Ramai Beredar di Medsos

Tanzil sejauh ini telah menjalani enam kali operasi.

ABC News: Phil Hemingway

Luka bakar yang diderita Tanzil sangat parah - kepala, lengan dan punggungnya - dan sampai saat ini dia berjuang keras menahan rasa sakitnya itu.

BACA JUGA: Perusahaan Ukraina Ungkap Kebocoran Data Yang Dialami Media ABC

Rumah Sakit Umum Kabupaten Tangerang tidaklah memiliki unit khusus bagi pasien luka bakar, sehingga hanya menyediakan perawatan mendasar. Kebakaran pabrik menunjukkan kurangnya perlindungan pada pekerja di Indonesia.

ABC News: Phil Hemingway

Tanzil, pekerja remaja yang gajinya cuma setara $ 6 per hari, bersama 12 korban lainnya dibawa ke RS ini. Empat di antaranya sudah meninggal dunia.

"Baju, punggung dan rambut saya terbakar. Punggung dan tanganku yang saya gunakan memanjat pilar yang paling parah," ucapnya.

Tangis Tanzil terdengar di bangsal RS itu saat ABC menemui para korban selamat. RSU Tangerang hanya bisa menyediakan pengobatan mendasar bagi korban kebakaran.

ABC News: Phil Hemingway

Kebakaran di pabrik kembang api itu kembali menunjukkan masih kurangnya perlindungan keselamatan bagi para pekerja di negara ini. Begitu pula dengan perundang-undangan keselamatan kerja yang masih di bawah standar.

Dan perawatan para korban selamat ini pun menunjukkan sistem kesehatan yang kurang memadai."Bajuku terbakar tapi saya tetap lari"

Korban lainnya bernama Anggi Aji Pangestu. Luka-lukanya bocor ke perban yang melilit sebagian besar tubuhnya.

Hampir tidak ada bagian tubuh anak muda berusia 18 tahun ini yang luput.

"Api, api... mereka berteriak," ujarnya. Pabrik petasan tersebut hanya memiliki satu pintu untuk masuk dan keluar saat terjadinya kebakaran.

ABC News: Phil Hemingway

Dia juga bekerja di perusahaan kembang api miliki PT Panca Buana Cahaya Sukses itu dengan bayaran sekitar $ 6 per hari.

"Kebanyakan yang lari ke dalam gudang. Saya lari keluar. Jika saya lari ke dalam, tidak ada jalan untuk keluar," kata Anggi.

Pabrik itu ternyata hanya memiliki satu pintu masuk dan keluar yang terletak di bagian depan. Dan di situlah api diperkirakan mulai menyala. Para pekerja yang lari ke bagian belakang pun terjebak.

Menurut keterangan polisi, kebanyakan mayat yang ditemukan tertumpuk di bagian belakang di dalam pabrik itu. Anggi mengaku terpaksa menerobos kobaran api karena itulah satu-satunya cara menyelamatkan diri.

ABC News: Phil Hemingway

Anggi menceritakan, dia saat itu berpikir jika ikut ke bagian belakangi, dia akan mati. Makanya, dia pun terpaksa menerobos kobaran api.

"Saya berlari dengan naluri, berlari, bajuku terbakar tapi saya tetap berlari," katanya. Ibu Anggi menatap anaknya yang dirawat di RS. Anaknya yang lain, saudara Anggi, meninggal dalam kejadian itu.

ABC News: Phil Hemingway

Saudara Anggi yang juga bekerja di situ merupakana salah satu di antara korban meninggal. Bagi Anggi sendiri, luka yang dialaminya sangat parah sehingga sulit membayangkan bagaimana dia akan pulih sepenuhnya, jika melihat perawatan yang diterimanya sejauh ini.

Api, yang awalnya diperkirakan dari hubungan arus pendek, belakangan dipastikan disebabkan oleh percikan api dari las. Luka bakar yang dialami Anggi sangat parah sehingga sulit dibayangkan bagaimana dia akan pulih sepenuhnya.

ABC News: Phil Hemingway Di kawasan miskin

Tangerang adalah kota satelit di pinggiran Jakarta. Pabrik kembang api di sana baru beroperasi beberapa bulan, di kawasan miskin dimana pekerjanya dibayar murah dan anak-anak mudah dieksploitasi.

Kebanyakan korban adalah kaum wanita dan remaja perempuan. Widya Puspa Dewi mengingat kembali kengerian saat api mulai membakar pabrik itu.

ABC News: Phil Hemingway

Korban selamat lainnya, Widya (20), sedang mengepak saat kebakaran mulai terjadi. Dia mengingat kembali kengerian ketika orang-orang mulai menjerit minta tolong.

"Begitu panas terasa di tangan, kaki dan punggungku," katanya.

"Ada orang melemparkan tangga dari luar. (Dengan tangga itu) Saya langsung memanjat dinding," tambahnya. Widya Pupsa Dewi selamat dari kebakaran itu setelah mendapat bantuan tangga dari warga yang datang menolong.

ABC News: Phil Hemingway

Tanpa adanya pintu alternatif di pabrik itu, beberapa pekerja lainnya beruntung bisa diselamatkan warga setenpat dengan merobohkan dinding pabrik. Korban lainnya, seperti Tanzil, selamat dengan cara memanjat ke atap. Wahyu (suami Widya) menunggui istrinya yang dirawat di RS.

ABC News: Phil Hemingway

Apakah pemilik pabrik itu benar-benar akan bertanggung jawab atas kejadian ini, masih perlu ditunggu. Namun tampaknya, peristiwa ini tidak akan membuat tempat-tempat kerja lainnya di Indonesia langsung meningkatkan kondisi keselamatan kerja pegawainya.

Liputan media tentang peristiwa itu pun cuma berlangsung beberapa hari. Namun bagi para korban selamat, penderitaan mereka bisa berlangsung seumur hidup. Kebanyakan korban kebarakan pabrik petasan adalah kaum wanita dan remaja perempuan.

ABC News: Phil Hemingway

Diterbitkan oleh Farid M. Ibrahim dari artikel berbahasa Inggris di sini.

BACA ARTIKEL LAINNYA... Wimar Witoelar Ajak Indonesia Rawat Keragaman

Berita Terkait