Kisah Madonna, Sarjana Mengajar 7 Mata Pelajaran di SMK

Senin, 28 Agustus 2017 – 00:05 WIB
Meski berlatar sarjana pendidikan bahasa Inggris, Madonna sanggup mengampu tujuh mapel sekaligus. Foto: R BAGUS RAHADI/Radar Madiun

jpnn.com - Madonna Susida Ramayanti merupakan peserta program sarjana mendidik di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal (SM3T).

Sudah setahu dia bertugas di Desa Sri Nanti, Kecamatan Sei Menggaris, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara. Sarjana pendidikan bahasa Inggris itu dituntut mengampu tujuh mata pelajaran (mapel) sekaligus.

BACA JUGA: Mbak Puan: Lulusan SMK Harus Siap Kerja

CHOIRUN NAFIA - Madiun

Telunjuk Madonna Susida Ramayanti terus menggeser layar smartphone miliknya. Dengan semangat dia menunjukkan koleksi foto-foto semasa bertugas ke salah satu dari empat desa di Kecamatan Sei Menggaris.

BACA JUGA: Pendaftaran PPG, Minat jadi Guru Produktif SMK Rendah

Baru dua hari kemarin gadis 23 tahun itu kembali ke kampung halamannya di Kelurahan Tawangrejo, Kartoharjo, Kota Madiun. ‘’Setahun ngajar di sana,’’ tuturnya.

Jaket bertuliskan SM3T hitam pun masih dikenakannya. Semangatnya begitu menggebu saat menceritakan pengalamannya mengajar di daerah yang kebanyakan ditinggali transmigran.

BACA JUGA: Segera Buka Sekolah Menengah Terbuka

Sedih saat harus berpisah dengan murid-muridnya di SMKN 1 Sei Menggaris. ‘’Kondisi di sana sangat berbeda 180 derajat dengan di sini,’’ ungkap alumnus Universitas PGRI (Unipma) Madiun itu.

Cuaca, misalnya, di sana sangat panas. Untuk mencapai ke sekolah tempatnya mengajar, Madonna dan enam temannya harus menembus hutan untuk menghindari teriknya matahari.

Maklum, di daerah khatulistiwa matahari memang terasa begitu membakar kulit. Namun, melewati hutan bukan berarti tanpa halangan.

Sepanjang jalan mereka dihantui kemunculan ular. ‘’Takut kalau dipatok,’’ ujar sulung tiga bersaudara itu.

Bila hujan, jalanan yang dilewati pastilah becek. Tanah di sana merupakan tanah merah yang jika terkena air berubah menjadi licin.

Sepatu bot adalah peranti wajib. Sampai ke sekolah harus membersihkan diri terlebih dahulu sebelum mengajar. Murid-murid pun melakukan hal serupa.

Hujan di sana sering disertai badai. Jika sudah begitu, siswa pasti malas sekolah. ‘’Seperti tradisi, jika hujan badai sekolah libur dengan sendirinya,’’ terangnya.

Jika sudah badai, satu sekolah tak lebih dari 20 siswa yang masuk. Itu pun mereka ogah-ogahan belajar. Menumbuhkan semangat belajar siswa jelas bukan perkara mudah. Setiap hari Madonna harus memberikan motivasi.

Sekalipun hujan harus tetap masuk sekolah. Dia tidak mempersoalkan siswa yang datang telat lantaran terhadang hujan.

‘’Sekarang mereka tetap masuk meski hujan. Kendati sampai sekolah pukul 10.00 WITA,’’ jelas putri pasangan Susilo Wratsongko dan Raidta Martiyani itu.

Mengajar di daerah yang didominasi transmigran memang tidak mudah. Utamanya terkendala oleh bahasa.

Siswa menggunakan bahasa Melayu dan tidak paham dengan bahasa Indonesia yang mereka sebut bahasa Jakarta. Menghadapi problem komunikasi seperti itu jelas butuh waktu untuk beradaptasi.

Kemampuan bahasa Inggris siswa pun nol besar sehingga harus mengajari dari awal. ‘’Anak-anak kalau ada soal sulit jadi malas mengerjakan. Kalau sudah bisa, ketagihan minta soal lagi,’’ cetusnya.

Meski berlatar pendidikan bahasa Inggris, Madonna harus mengajar tujuh mapel sekaligus di SMKN 1 Sei Menggaris itu.

Meliputi bahasa Inggris, sejarah, ilmu pengetahuan sosial (IPS), computer, kewirausahaan, bimbingan konseling (BK), sertadan kesehatan dan keselamatan kerja dan lingkungan hidup (K3LH).

‘’Seperti menjadi guru SD versi SMK (mengajar beberapa mata pelajaran, red). Untungnya bisa browsing internet, meski lemot,’’ ungkapnya.

Selain mengajar, Madonna juga merangkap ‘’orang tua’’ bagi siswanya. Kesibukan orang tua yang bekerja di pertambangan batu bara, emas, dan kelapa sawit membuat anak-anak di sana tinggal sendirian di rumah.

Orang tua lebih memilih tinggal di mes tempat mereka bekerja. Jika ada apa-apa dengan anak-anak, dialah yang dihubungi.

‘’Pergaulan di sana relatif bebas karena anak-anak jauh dari orang tua. Kamilah yang bertanggung jawab,’’ terangnya.

Berada di luar Jawa membuat Madonna harus ekstra berhemat. Taraf hidup di sana sangat tinggi. Sampo yang biasa dijual Rp 12 ribu harus ditebusnya dua kali lipat. Semua barang di sana memang produksi Malaysia.

Beruntung di sekitar tempat tinggalnya banyak warung. Sementara untuk mencapai Kabupaten Nunukan harus naik speed boat selama satu setengah jam melewati sungai yang dipenuhi buaya.

Gaji sebulan yang hanya Rp 2,5 juta harus diatur sehemat mungkin agar tak habis sampai tiba gajian di bulan berikutnya. ‘’Semua (harga, Red) bisa dua kali lipat,’’ imbuhnya.

Bahkan, harga sebuah wortel bisa mencapai Rp 7 ribu. Kubis kecil saja seharga Rp 12 ribu. Agar pengeluaran tidak membengkak, Madonna sengaja menanam sayur mayur di pekarangan rumah.

Sayang, setelah tanaman itu mulai tumbuh subur, sapi warga justru memakannya. Di sana sapi memang dibiarkan bebas berkeliaran.

Cabai yang mulai berbuah pun ludes jika tidak dipagari. ‘’Akhirnya dibatasi pagar kayu,’’ jelasnya.

Di rumah panggung yang ditempati itu pun sering gelap gulita. Listrik hanya menyala mulai pukul 18.00 sampai 22.00 WITA. Air PDAM tak setiap hari mengalir.

Dalam sebulan bahkan hanya mengalir sekali. Jangan tanya kondisi airnya. Aromanya amis seperti bau ikan. Tak ayal jika digunakan untuk mencuci baju justru menimbulkan aroma tidak sedap.

‘’Pernah empat hari tidak mandi. Karena tidak ada air sama sekali,’’ bebernya.

Setahun di sana membuat Madonna kangen keluarga. Apalagi dengan kedua adiknya, Nikita Lia Megawati dan Rama Dewa Kusuma.

Karena sulit sinyal, mereka hanya bisa berkomunikasi saat di sekolah. Meski begitu, kualitas suaranya tetap saja buruk. ‘’Nggak jelas, sering diulang-ulang dan harus teriak-teriak,’’ ungkapnya.

Madonna mengikuti seleksi SM3T pada tahun lalu. Untuk bisa lolos, dia harus menyisihkan 20.000 peserta lain. Tentunya dari berbagai universitas terkemuka.

Semangatnya sempat drop saat menjalani tes wawancara. Penampilannya yang santai dan terlihat seperti orang Jepang itu dianggap tidak pantas menjadi guru. ‘’Pantas atau tidak, itu bukan pada apa yang kita pakai. Tapi kualitas,’’ tekannya.

Madonna tidak menyangka jika bakal ditempatkan di Kabupaten Nunukan. Harapannya bisa mengajar di Papua. Baru tahun ini Kabupaten Nunukan menjadi salah satu tujuan SM3T.

Sebelum berangkat Madonna menjalani pelatihan fisik di Bumi Moro Surabaya. Dia pun tak kaget lagi jika harus berjalan kaki selama berjam-jam di tempatnya mengajar.

‘’Cukup beruntung. Karena tahun ini SM3T terakhir. Tahun depan sudah tidak ada lagi,’’ pungkasnya. ***(fin)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Binter Kembali Meraih Juara


Redaktur & Reporter : Soetomo

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler