jpnn.com - Kemiskinan belum enyah dari wajah Kota Mataram. Kota sedang yang sedang mekar-mekanya.
Investasi tumbuh pesat. Mal-mal dan pusat perbelanjaan menjamur. Tapi mereka yang tidak punya modal pendidikan dan skill, hidup sebagai kaum miskin dengan segala kesusahannya. Seperti Amaq Jamirah.
BACA JUGA: Gara-Gara Burung, Ridwan Kamil Ikut Sindir Si Duta Cubit
SIRTUPILLAILI, Mataram
Uang Rp 1 juta di tangan tidak membuat Amaq Jamirah tenang. Padahal recehan itu dikumpulkannya selama berbulan-bulan, sebagian ngutang di tetangga.
BACA JUGA: Objek Wisata di Kuningan Ramai Sejak Hari H
Tapi belum cukup untuk membeli seragam sekolah anaknya. Jika dipakai, mestinya bisa untuk makan-makan, membeli opor ayam dan ketupat saat lebaran nanti.
Tapi tidak. Amaq Jamirah tidak berani menyentuh uang itu sepeserpun. Sekali pakai, akan habis semua simpanannya.
BACA JUGA: Hadapi Arus Balik, Pelni Siapkan 3 Kapal
Tidak akan ada lagi uang untuk biaya sekolah tiga orang anaknya. Disimpannya baik-baik uang itu, takut habis di tengah jalan. Ia tahan godaan membelanjakan untuk keperluan dapur. Ia hanya ingin menggunakannya untuk sekolah anak-anak.
Tapi belum cukup, butuh satu juta lagi. Kalau tidak, M Masrah, anak pertamnya terancam tidak bisa melanjutkan pendidikan ke SMP. Sekarang ia sedang bingung dimana harus mendapatkan uang tambahan.
Seharian ia hanya bisa duduk termangu di atas tikar pandang. Sesekali ia keluar masuk kandang ayam, jarak beberapa meter masuk ke dalam gubuk reot yang jadi tempat tinggalnya bersama istri dan tiga orang anaknya.
Meski reot, tapi gubuk itu juga bukan miliknya, ia bangun di atas lahan orang lain di RT 01 Lingkungan Irigasi, Kelurahan Taman Sari.
Amaq Jamirah yang sudah berusia 60 tahun semakin sadar, di bumi ini ia hanya numpang tinggal. Sepetak tanah pun tidak dimilikinya.
”Pindah-pindah dulu di sana, ke situ ke sini,” katanya sambil melihat gubuk berdinding papan triplek itu.
Di usia yang tidak muda lagi, ia dituntut tetap bekerja dan memiliki penghasilan cukup. Sayang, tidak banyak yang bisa dikerjakannya dengan beban tiga orang anak. Pendidikan tidak punya, keahlian pun terbatas.
Satu-satunya pekerjaan yang bisa dilakukan adalah memulung. Mengumpulkan barang-barang bekas di antara tumpukan sampah.
Hasil memulung tidak seberapa, seminggu ia hanya bisa mendapatkan Rp 30 ribu. Setiap 1 kg plastik dihargai Rp 1.500, dengan penghasilan ini Amaq Jamirah semakin sulit memenuhi tuntutan hidup yang semakin mahal.
”Untuk makan dan belanja anak-anak, ibu mereka (istri) yang beri,” katanya.
Beruntung Muniri, sang istri membantu bekerja sebagai buruh tani. Sepanjang hari bekerja di sawah orang dengan upah Rp 50 ribu — Rp 100 ribu tiap kali kerja.
Memasuki tahun ajaran baru, beban Amaq Jamirah semakin bertambah. Belum juga bisa ia lunasi hutang Rp 400 ribu untuk menyekolahkan dua anaknya yang masih SD, kini ia harus membayar Rp 1,9 juta untuk M Masrah, anak sulungnya akan masuk SMP.
Jalan pintas pun ditempuh, selama puasa ia berkeliling dari rumah ke rumah untuk meminta uang hol. Uang yang biasa dibagi-bagikan jelang lebaran.
Memanfaatkan kemurahan hati umat Islam selama Ramadan, Amaq Jamirah rela menanggung malu harus mendatangi setiap pintu rumah.
Bahkan salah seorang anaknya juga ikut bersamanya mencari hol selama Ramadan. Semua itu dilakukan demi biaya sekolah anak-anaknya.
”Saya hanya ingin lihat anak saya maju jadi pegawai, jangan seperti saya sudah tua begini kerja kasar terus,” harapnya.
Amaq Jamirah sebenarnya sudah memiliki cucu dari anak di istri pertamanya di Kekalik Jaya. Tapi semua anaknya sudah besar dan memiliki keluarga sendiri-sendiri.
Kehidupan keluarga anak-anaknya juga tidak jauh beda. ”Di sana (kekalik) saya juga numpang,” ujarnya.(JPG/lombok post/fri/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Gara-gara Ini, Kapolda Turun Pantau Situasi
Redaktur : Tim Redaksi